Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Guru, Profesi Penuh Tuntutan, tapi Minim Penghargaan

27 November 2020   10:15 Diperbarui: 27 November 2020   10:16 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selamat Hari Guru !! Mohon maaf terlambat meng-upload tulisannya.

Teringat ketika saya masih berperan sebagai murid. Tidak mudah bagi saya untuk benar-benar menghormati guru, apalagi kalau yang sangat galak. Pastinya kata makian dibelakangnya terucap. Kemudian juga ada guru yang saya dan teman-teman olok-olok karena merasa orang tersebut tidak pantas disebut sebagai guru. Saat SMA, dimasa sedang bandel-bandelnya, guru pun berani kami lawan, bahkan ada senior yang menantang salah satu guru berkelahi. Ketika guru tersebut tidak datang, kami menyebutnya, "Pengecut!".

Ahh, kalau diingat-ingat rasanya menyesal sekali pernah mengolok-ngolok dan memaki guru. Seperti karma, profesi yang pertama kali saya jalani malah menjadi guru les, kemudian guru TK, dan terakhir mengajar, saya dipercaya menjadi asisten dosen. Dan, yap, saya mengalami yang namanya diolok-olok oleh murid, belum lagi disalah-salahkan orang tua apabila anaknya saya marahi, dan ketika mengajar, sama sekali tidak didengarkan.

Sempat ada rasa salah pilih profesi, karena saya anggap profesi guru itu sangat gampang sekali. Tinggal lihat buku, salin pelajarannya, mengajari anak sesuai dengan rencana, dan selesai sudah, akhir bulan tinggal terima gaji. Hehe. 

Tapi ternyata saya salah, ketika saya mengajari anak dengan hanya membacakan, meminta mereka mencatat, ataupun hanya menjelaskan sesuai dengan buku, murid-murid akan memandang saya. Ya, hanya memandang dan mengerjakan apa yang saya minta, tapi tidak ada pelajaran yang menyerap ke otaknya. Bisa jadi saat bersama saya, murid bisa menghafal atau memahami pelajaran yang saya berikan, namun ketika jam pelajaran usai, seluruh materi yang saya berikan menguap begitu saja dari pikiran mereka.

Beruntung saya memiliki rekan kerja dan pimpinan yang bersedia memberikan arahan dan masukan agar murid-murid tertarik dan bisa benar-benar memahami materi yang diajarkan. Perlu waktu satu minggu lebih, terkadang sampai lembur hanya untuk menyiapkan sebuah materi. Terkadang, saya juga mengeluarkan kocek sendiri untuk menyiapkan properti mengajar. Itu tidak dilakukan saya saja, tapi rekan kerja dan pimpinan juga melakukan hal yang sama.

Eh, sudah berusaha seperti itu, ternyata tetap saja ada murid yang mengolok, mengatakan bahwa cara mengajar kami membosankan, dan seterusnya. Mau nangis rasanya! Belum lagi, ketika ada orang tua yang tidak terima kalau anaknya ditegur karena melakukan kesalahan, tetapi menuntut ketika anak sampai di rumah, anak tersebut harus menjadi anak yang baik dan rajin belajar, serta pintar. Grrr.. Lelah!

Rasanya kalau ada pekerjaan lain, saya ingin segera resign dari profesi guru. Eh, tapi ujung-ujungnya malah jadi guru lagi, saat itu. Hehe.

Sampai suatu hari, mungkin karena sudah lama memegang murid-murid yang sama, mulai tumbuh dihati saya rasa cinta dengan menganggap mereka seperti adik dan anak sendiri.

Dengan adanya perasaan tersebut, ketika saya harus menyiapkan materi dengan waktu yang lama ataupun harus lembur, saya tidak merasa keberatan. Saya malah menikmatinya, ada rasa ingin memberikan yang terbaik bagi murid-murid saya. Ketika masih ada murid yang mengolok atau diam-diam memaki saya, sakit hati sih, tapi saya berusaha menjadikannya bahan intropeksi.

Ketika ada orangtua yang menegur saya ketika anaknya ditegur, saya tidak pernah ragu mengatakan ini untuk kebaikan anak mereka. Saya pun bersedia menjelaskan panjang lebar mengapa saya mendisiplinkan anak mereka. Padahal selama ini saya merasa menjelaskan panjang lebar itu melelahkan, karena orang tua mana yang mau terima kalau anaknya ditegur.

Pernah saya, waktu sebagai murid, mengatakan, "Duh, macem-macem banget ni guru nyuruh-nyuruhnya, dia masih bisa kerja disini kan karena kita bayar uang sekolah!". Setelah menjadi guru, saya baru memahami uang sebesar apapun tidak akan bisa menggantikan usaha dan rasa para guru kepada murid-muridnya.

Sikap galak dan sikap disiplin yang diterapkan oleh para guru untuk murid-muridnya, bukan semata-mata karena ingin menunjukkan bahwa guru lebih berkuasa, akan tetapi agar murid bisa melihat batasan norma, menjadi pribadi yang mandiri dan memiliki sikap sopan santun.

Banyaknya tugas dan pelajaran yang diberikan para guru, bukan semata ingin memperlihatkan pada orang-orang kalau sekolah itu kompeten, melainkan untuk melatih kesabaran dan usaha murid-murid. Mereka harus berlatih untuk menghargai setiap prosesnya, agar saat mereka terjun ke masyarakat, mereka tidak lagi menganggap dunia terlalu menuntut mereka, dan kemudian malah rasa tertekan dan stres. Akan tetapi, dengan mereka terlatih mengerjakan banyak tugas, mereka akan merasa siap untuk menghadapinya.

Contoh perbandingan, teman saya bersekolah di salah satu sekolah favorit se-Tangerang. Ia terbiasa untuk mengerjakan banyak tugas, ketika ia kuliah dan bekerja, ia bisa menyusun tugasnya dengan sistematis. Ada keluhan, tapi terselesaikan tepat waktu. Saat ia sudah menikah, ia memiliki banyak peran, ya harus menjadi ibu rumah tangga, wanita karier sekaligus mendampingi usaha suaminya, dan ia menikmatinya karena terbiasa dengan banyaknya tugas.

Berbeda dengan saya yang sekolahnya yang penting mengerjakan tugas. Ketika tugas se-abrek banyaknya, saya akan menyalin pekerjaan teman, atau sama sekali tidak mengerjakan, palingan hanya dihukum lari saja, itu gampang. Eh, tapi ketika saya bersekolah ditempat yang temannya sulit berbagi contekan dan gurunya tidak segan memberikan banyak tugas, rasanya ingin sekali keluar dari sekolah tersebut. Mau muntah rasanya.... 

Saat itu saya baru memahami mengapa guru-guru saya dulu cukup menyebalkan, ternyata itu untuk kebaikan murid-muridnya nanti dimasa depan.

Mungkin guru akan senang ketika mendapatkan hadiah dari murid, naik gaji ataupun mendapatkan penghargaan, tapi yang saya rasakan itu hanya simbol semata, karena sebenarnya guru merasa terbayar ketika melihat murid-muridnya bisa mencapai prestasi yang mereka inginkan, atau minimal ilmu pengetahuan yang disampaikan bisa dipahami oleh para murid. Adalah sebuah bonus kebanggaan yang sangat besar, ketika murid-murid juga menyayangi para guru.

Saat-saat yang membanggakan saya saat berprofesi sebagai guru, ketika ada orang tua yang tadinya kurang memperhatikan perkembangan sekolah anaknya karena dianggap masih TK, akhirnya sangat memperhatikan dan mendukung bakat anaknya, hingga anaknya menjadi pribadi yang teratur, manis dan anggun.

Kemudian, rasa bangga membuncah ketika mendengar murid-murid teriak bahagia saat performance mereka disambut hangat oleh orangtuanya. Bangga juga, ketika ada pujian dari guru lain bahwa murid les sudah bisa memahami apa saja yang harus dipelajari hari itu untuk persiapan ulangan, padahal sebelumnya murid tersebut sangat cuek pada jadwalnya.

Foto bersama mahasiswa disalah satu universitas | Dokpri
Foto bersama mahasiswa disalah satu universitas | Dokpri

Sangat senang juga, ketika mahasiswa mendengarkan dengan penuh minat, dan mereka memahami apa yang saya sampaikan. Bahkan tidak segan untuk bertanya apa yang mereka tidak mengerti, karena itu artinya mereka menyimak apa yang saya katakan.

Bisa jadi mereka semua sudah lupa dengan saya, tapi saya pastinya selalu ingat mereka. Hehe. Saya rasa itulah yang dirasakan oleh para guru  lainnya juga.

Sejak itu saya sangat menghargai profesi guru. Kalau dikatakan guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa, saya baru memahaminya. Guru dituntut layaknya orang tua mendidik anak-anaknya, tapi ketika berlaku sebagai orangtua, karena membentak atau menegur sang anak (misalnya), maka sang guru akan dituntut tanpa ditanya dulu duduk permasalahannya. Kemudian bisa jadi guru sudah ngapain aja belum tentu kebaikannya diingat, sikap jeleknya sih sudah pasti diingat. Hehe.

Sebagai penutup saya ingin mengucapkan, "Semangat selalu, Ibu Bapak Guru!".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun