Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membuka Jendela Toleransi dan Wawasan melalui Kompasiana

23 Oktober 2020   13:01 Diperbarui: 23 Oktober 2020   13:04 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompasiana.com | Foto diambil dari Kompasianer Abdul Azis

# Melihat kejadian dari berbagai sudut pandang

Menyambung dari rasa toleransi, saya pun akhirnya mulai bisa menerima tulisan ketika ada kritik tentang kebijakan pemerintah. Saya baru memahami bahwa setiap lingkungan dan daerah memiliki permasalahan yang berbeda-beda. Saya tidak lagi menganggap bahwa yang mengkritik pemerintahan itu adalah kelompok, maaf, kadrun, ataupun membelah kelompok masyarakat menjadi cebong ataupun kampret.

Dari sana mata saya mulai terbuka ketika mengagumi suatu tokoh politik akan ada baiknya kita bisa bersikap objektif juga. dengan begitu tokoh politik tersebut bisa menjalankan tugasnya dengan baik juga untuk negara ini supaya bisa tercipta keadilan sosial. Sama halnya ketika kita menyayangi anak dan pasangan kita, tentu tidak mungkin kita terus membenarkan perihal yang dilakukan anak dan pasangan, ada kritik dan saran juga supaya mereka menjadi pribadi yang lebih baik. 

Sejak berada di Kompasiana, saya pun seperti dibiasakan untuk menerima informasi tidak hanya dari satu artikel saja, tapi dari artikel lain yang berkaitan, kemudian baru membuat kesimpulan. Dan hal tersebut terbawa dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mencegah saya untuk tidak mudah terbawa arus informasi yang datang.

Contoh seperti selebgram, Revina VT yang cuitannya di Twitter tentang polusi visual menuai banyak protes dari semua kalangan. Ketika saya membaca cuitannya, saya memang merasa cuitannya tersebut kasar juga. Namun, saya pernah follow Instagramnya waktu dirinya berseteru dengan Deddy Susanto karena adanya pelecehan seksual. Menurut saya, Revina termasuk selebgram yang cukup concern dengan masalah perempuan. 

Karena terbiasa membaca tulisan teman-teman Kompasianer yang memiliki beraneka ragam sudut pandang dalam satu kejadian, maka saya pun langsung mengecek ke Instagram Revina untuk mengetahui maksud dibalik polusi visual.

Oh, ternyata maksud Revina baik, memang wanita itu pada dasarnya semua cantik, dan bentuk tubuh apapun sebenarnya memang lebih baik percaya diri. Namun bukan berarti dengan percaya diri, lantas tidak memperhatikan kesehatan tubuh. Contoh, bila kita memiliki teman yang bertubuh obesitas, bukan berarti kita harus mendukung pola hidup dan pola makannya yang membuat tubuhnya obesitas. Mungkin saat sekarang kita dikatakan sebagai teman yang baik, namun akibat dari pola hidup dan pola makannya yang kurang baik, sama saja kita menjerumuskan teman kita itu kedalam bahaya penyakit. Dan tentu hal tersebut bukanlah bentuk dukungan kita antar perempuan, melainkan dukungan yang menyesatkan.

Nah, cuitan polusi visualnya Revina sebenarnya ingin mengatakan kalau kita, antar perempuan, memang saling mendukung, akan lebih baik kita saling memberikan dukungan yang menyehatkan, bukan yang menjerumuskan. Hanya saja cuitan Revina VT kala itu tidak dibarengi penjelasan yang lebih panjang seperti story yang dia upload pada akun Instagramnya, sehingga membuat emosi karena terlihat merendahkan sesama perempuan.

Begitupula dengan kebijakan tentang Omni Bus Law. 

Bila saya melihat sudut pandang sebagai karyawan, saya akan merasa peraturan tersebut sangat memberatkan. Tapi kalau saya melihat dari sudut pandang sebagai pengusaha ataupun investor, saya akan cukup berani untuk berinvestasi membuka lapangan pekerjaan di Indonesia. Karena kalau dihitung-hitung, beban pengeluaran yang ditanggung pengusaha benar-benar sangat besar, seperti tidak sebanding dengan angka penghasilan. Profit belum tentu didapat, kerugian besar sudah pasti didepan mata.

Tapi menurut hemat saya, langkah kebijakan Omni Bus Law sepertinya belum menjadi solusi yang tepat agar para pengusaha ataupun investor mau berinvestasi di Indonesia, karena ada permasalahan lain yang sama daruratnya untuk dibuat peraturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun