Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Tidak Sekadar untuk Selembar Ijazah

30 September 2020   10:59 Diperbarui: 30 September 2020   11:32 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan tidak sekedar untuk selembar ijazah | Foto : Kompas.com

"Ngapain gue sekolahin lu tinggi-tinggi, Doel, sampe jual tanah berhektar-hektar, kalo lu malah jadi budak orang?! Gue mau lu jangan jadi orang susah kayak Babe Nyak lu!", cuplikan kalimat dari Babe Benyamin dalam sinetron Si Doel, Anak Sekolahan I. 

Tentu Anda penggemar Si Doel Anak Sekolahan ingat betul adegan betapa sang Babe sangat getol supaya anaknya jadi sarjana dan dapat kerja di gedongan, supaya bisa menjadi orang besar yang bisa membangun Betawi, karena Doel, anak Betawi asli.

Stigma "kelar sarjana harus dapat kerja kantoran dengan gaji besar" sepertinya sudah tertanam dalam kepala kita. Saya pun juga begitu dulunya. Lulus sekolah, ingin buru-buru dapat kerja. Ketika mau naik gaji, terpaksa lah saya kuliah demi selembar ijazah.

Setelah ijazah saya dapatkan, dan mendapatkan kenaikan gaji. Lalu??? 

Katanya supaya mendapatkan gaji lebih lagi, kita haruslah lulus S2. Tapi ada pengalaman teman yang lulus S2, sayangnya pengalaman kerjanya belum memenuhi syarat, maka sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan. Bisa itu gajinya terlalu rendah untuk lulusan S2, atau bisa juga perusahaan merasa terlalu tinggi menggaji karyawan sudah lulus S2, tapi pengalaman kerjanya sangat minim.

Saya merasa ironi sekali rasanya, kita sekolah tinggi-tinggi hanya demi mencari nafkah lebih, serta mendapatkan gengsi ketika mendapatkan jabatan tinggi. Tapi ujung-ujungnya, yaa, kita tetap bawahan orang. Apakah itu tujuan pendidikan? Hanya untuk mendapatkan kenyamanan hidup berupa uang?

Berbekal rasa cinta saya pada Batik dan sejarah, akhirnya saya terseret untuk menyukai seni budaya. Maudy Koesnaedi adalah salah satu publik figur yang membuat saya tertarik untuk menonton teater. Ya, saya sangat mengagumi beliau.

Dari teater yang diperankan Mpok Mod inilah akhirnya pikiran saya semakin terbuka, bahwa pendidikan tidak sekedar untuk selembar ijazah ataupun tiket untuk mendapatkan pekerjaan.

Izinkan saya menceritakan Teater Ronggeng Kulawu, yang diadakan pada Agustus 2018. Saya menontonnya di YouTube Indonesia Kaya.

Maesaroh merupakan gadis lugu dari dusun Kulawu. Mae panggilannya. Penari Ronggeng pekerjaannya. Pendidikannya terbatas, hanya bisa membaca dan menulis saja. Kata Abahnya (sapaan Ayah dalam Basa Sunda), tidak perlulah wanita sekolah tinggi-tinggi.

Karena keterbatasan pendidikannya, Mae sama sekali tidak marah ketika membaca papan tulisan "Inlander (sebutan ejekan Belanda untuk penduduk Indonesia) dan anjing dilarang masuk". Bukan karena Mae tidak peduli, tapi ia tidak memahami makna kalimat tersebut. Ia mengartikan kalimat dalam papan tersebut lurus-lurus saja sesuai dengan yang tertulis.

Pada bagian ini, saya baru memahami bahwa dengan pendidikan, kita bisa menganalisis dan menelaah kalimat yang tertulis ataupun terucap. Kita tidak mudah menelan bulat-bulat apa yang disampaikan oleh orang lain, tapi dengan pendidikan, otak kita akan diajak untuk memahami atau meneliti terlebih dahulu berita ataupun kalimat yang kita terima.

Begitu juga ketika ada hoax yang beredar. Kalau kita benar terdidik dan tidak asal belajar, kita akan terbiasa untuk mencari kebenarannya terlebih dahulu, karena kita terbiasa untuk mencari data sebelum memutuskan data yang kita kumpulkan ini benar valid atau tidak.

Mae memiliki kekasih hati bernama Kang Uja. Ketika Kang Uja berkata dengan geram bahwa bangsa kita telah dijajah oleh Belanda dan kekayaan alam kita dikeruk seperti sapi oleh Belanda, Mae hanya tersenyum saja. Bukan karena ia memahaminya, sebaliknya ia tidak memahami maksud Kang Uja. Pikiran yang terlintas dikepalanya adalah raut wajah Kang Uja yang lucu saat sedang marah seperti itu. 

Untuknya, selama ia masih bisa bekerja dan kebutuhan sehari-hari terpenuhi, berarti bangsanya aman-aman saja, karena toh dirinya dan lingkungan sekitarnya aman-aman saja. 

Juga, didekatnya ada seorang Belanda yang sangat baik hati, sering bertanya mengenai Ronggeng Kulawu dan tidak segan membawa dirinya atau teman-temannya ke dokter kalau ada yang sakit. Untuk Mae, bangsanya tidak dijajah, tapi memang ada orang yang jahat dan baik.

Adegan ini memberikan gambaran pada saya, ketika kita benar-benar membuka wawasan melalui pendidikan, mata kita akan lebih terbuka untuk memahami situasi yang sedang terjadi pada bangsa kita. Dengan memahami situasi, otak kita yang sudah terlatih untuk berpikir dan menganalisis, kita akan terpacu untuk membuat strategi agar membuat solusi dari permasalahan. 

Kita bakal memahami sikap apa yang harus ditempuh saat mengatasi permasalahan, apakah kita memilih untuk saling bekerja sama dengan saudara sebangsa untuk memajukan bangsa, atau saling menjatuhkan satu sama lain untuk terlihat pintar dan keren? Tapi tidak membuat perubahan apapun?

Mae baru menyadari adanya penjajahan ketika dirinya diseret dan dilempar ke dalam truk bersama para gadis lainnya. Ia dibawa paksa ke rumah bordil oleh tentara Jepang. Abahnya sangat berusaha mencegah tentara Jepang untuk membawa putri kesayangannya, namun ditendang dan diinjak oleh tentara Jepang. Mae hanya bisa melolong memohon ampun supaya Abahnya jangan dipukul lagi. Ia pasrah dibawa ke rumah bordil.

Adegan ini sangat menyentuh hati saya, dan tidak sadar saya menitikkan air mata. Andai dulu, kita sudah mengenal namanya pendidikan, nenek moyang kita mungkin bisa membuat taktik jangan sampai putrinya dibawa paksa oleh tentara Jepang untuk dijadikan, maaf, pelacur. Saya yakin hati Abahnya pasti sakit sekali melihat putri kesayangannya ditarik paksa dan dijadikan pelacur seperti itu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena keterbatasan tenaga, ekonomi dan ilmu pengetahuan.

Andai saat itu banyak orang yang telah mengenyam pendidikan seperti Sultan Hamengku Buwono IX, pastinya mereka akan bertindak seperti sang Sultan yang dapat menyelamatkan rakyat Yogya dari kerja paksa. Beliau bisa berdalih kepada Belanda bahwa masyarakatnya harus membuat Selokan Mataram supaya Yogyakarta bisa memberikan hasil panen lebih untuk pemerintah kolonial Belanda. Padahal, hasil panen yang sebenarnya tidak semuanya diberikan pada Belanda, melainkan dinikmati oleh warga Yogya sendiri. 

Sesampainya di rumah bordil, Mae diharuskan untuk melayani nafsu birahi para tentara Jepang dalam jumlah puluhan orang. Tidak dirinya saja yang mengalami seperti itu, para gadis Indonesia lainnya yang ditarik paksa oleh tentara Jepang, juga mengalami hal yang serupa. Bahkan dalam keadaan hamil saja, gadis-gadis tersebut juga harus melayani tentara Jepang. Sedangkan, gadis yang terkena penyakit kelamin, dibuang begitu saja.

Dalam kesehariannya, tentara Jepang mengatakan pada para gadis-gadis tersebut, bahwa tugas merekalah yang harus membuat para tentara Jepang merasa puas agar mereka bisa bersemangat perang.

Para gadis yang ditangkap itu benar-benar tidak dianggap manusia, melainkan objek pemuas nafsu belaka. Andai gadis-gadis ini dulunya mendapatkan pendidikan seperti yang kita enyam sekarang. Dalam kemelut penderitaan, kita akan bisa menyusun taktik dan bekerja sama supaya segera keluar dari kubangan duka. Sikap yang kita ambil tentunya tidak sekedar hanya bisa menelan tangis dan rasa malu, tapi kita bisa mengambil sikap. 

Suatu hari Mae diajak pergi oleh Sersan Hiroshi, ia tidak tahu akan dibawa kemana. Dalam perjalanannya, ia melihat banyak warga Indonesia yang berbisik-bisik, "Pelacur, gundik Jepang". Mae hanya bisa menelan tangis, hatinya begitu perih ketika mengetahui saudara sebangsanya tidak melihatnya sebagai korban, melainkan orang yang menjajakan diri ke tentara Jepang. Warga yang berbisik-bisik itu hanya tahu Mae mendapatkan pakaian yang layak dan makan makanan yang enak, sementara mereka menderita kelaparan.

Warga yang menonton itu saya rasa sama seperti Mae. Mereka bisa membaca dan menulis, tapi tidak bisa memahami situasinya. Penarikan dan penyeretan para gadis Indonesia ke dalam truk, saya rasa tidak mungkin dilakukan secara diam-diam, melainkan dengan sangat terbuka sehingga semua orang mengetahuinya, bahwa banyak dari gadis-gadis tersebut yang dipaksa jadi pelacur.

Andai dulu pendidikan sudah ada, warga yang menonton itu akan memahami situasi  bahwa gadis-gadis tersebut dipaksa menjadi pelacur. Bukan keinginan mereka untuk melayani para tentara Jepang.

Mae saat ini sudah menjadi gundik Kapten Kazuo Ito. Suatu hari, Mae minta izin pulang kampung. Kapten pun mengizinkannya dan menyuruhnya membawa makanan untuk keluarganya. Mae pun membawakan beras dan ikan asin.

Setibanya Mae dikampungnya, Mae dan Abahnya saling berpeluk rindu dan menangis sendu. Hati Mae begitu pilu ketika tahu Abah dan kekasih hatinya, Kang Uja sudah lama tidak makan nasi, karena hasil panennya dirampas oleh tentara Jepang. Bahkan hatinya lebih tersayat lagi ketika Abahnya berterima kasih menerima makanan dari orang yang menjadikan putrinya seorang gundik. 

Mae bilang kalau dalam keadaan normal, Mae yakin Abahnya akan membuang makanan itu dan mencabik-cabik orang yang menjadikan putrinya seorang gundik. Karena situasi berkata lain, Abahnya malah menghaturkan rasa terima kasih, demi bisa hidup, demi putrinya bisa bertahan hidup. 

Ironi sekali ketika nyawa kita semua bukan lagi ditangan Tuhan, tapi ditangan manusia yang saat itu sepertinya minim empati.

Hati Mae semakin pilu dan dendamnya semakin berkobar ketika mendapatkan kabar Kang Uja digantung karena terlibat dalam gerakan pemberontakan melawan penjajah. Mae juga mendapat kabar burung bahwa Kang Uja digantung karena Kapten Kazuo Ito cemburu. "PERSETAN!", teriaknya sambil menangis pilu. 

Mae mulai terbuka matanya melihat situasi bahwa ada pergerakan melawan penjajahan. Apalagi ia mendengar Hiroshima dan Nagasaki telah dibom. Mae pun memasok makanan yang ia miliki dirumahnya secara diam-diam kepada pejuang dan pahlawan kemerdekaan.

Namun karena keterbatasan pendidikan, ia tidak sadar kalau dirinya sudah dipantau oleh Sersan Hiroshi. Penjaga warung, tempat Mae menempatkan pasokan makanan, dibunuh dengan cara dicekok sayur-sayur. Mae pun dipermalukan habis-habisan dengan kebayanya dirobek didepan umum dan dicambuk dengan tali pinggang Sersan Hiroshi.

Andai Mae sudah mengenyam pendidikan, saya yakin ia pasti akan menyusun taktik untuk memasok makanan supaya jangan sampai ketahuan, dan jangan sampai ada korban dalam gerakan senyapnya membantu para pejuang dan pahlawan dalam melawan penjajah.

Sayang, pendidikan Mae hanya terbatas pada bisa menulis dan membaca saja. Ia baru bisa memahami situasinya setelah mengalaminya sendiri dan orang-orang disekitarnya sangat merana. 

Dari teater Ronggeng Kulawu ini, mata saya seperti dibuat terbuka, pendidikan bukan sekedar untuk mendapatkan selembar ijazah ataupun tiket mendapatkan pekerjaan. Pendidikan untuk membuka wawasan kita dalam menganalisis dan memahami situasi, serta membuat strategi sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan. Serta, cara kita berpikir bisa memikirkan jauh-jauh ke depan, tidak hanya untuk saat ini saja.

Pendidikan juga bukan untuk menunjukkan siapa paling sukses atau siapa yang paling pintar dengan mempermalukan kredibilitas orang lain, tapi saya rasa pendidikan dimaksudkan untuk saling membangun personal supaya sama-sama berwawasan dan cerdas. 

Oleh karena itu, stigma pendidikan hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, seharusnya diganti supaya kita bisa bertumbuh menjadi pribadi yang lebih berwawasan luas dan bisa berinovasi dengan segala pengetahuan yang kita miliki. Kita pun akan lebih bisa menerima keberagaman dan perbedaan pendapat. 

Jadi mari kita menempuh pendidikan tinggi untuk memberikan nutrisi pada akal budi kita yang sudah diciptakan Tuhan, bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan.

Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa menonton Teater Ronggeng Kulawu di YouTube Indonesia Kaya. Mungkin Anda akan menangkap lebih banyak pesan moral lagi setelah menonton Teater yang sangat inspiratif ini.

Salam hangat :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun