Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Berkunjung dan Menikmati Keindahan Gereja Ganjuran yang Memikat

7 Desember 2019   12:43 Diperbarui: 8 Desember 2019   17:07 1220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi untuk berdoa, didalamnya ada Patung Yesus yang diukir seperti Raja Jawa | Dokumentasi pribadi

Sewaktu kecil, kalau masa-masa Natal, saya seringkali melihat program TV yang menayangkan Misa di Gereja Katolik yang membawa unsur Jawa, bahasa yang mengiringinya pun bahasa Jawa. 

Saya tidak memahaminya, namun senang melihatnya. Terkadang gerakan menyembah kedua telapak tangan disatukan dan diletakkan pada kening, juga sering saya ikuti. 

Bunyi gamelan yang mengiringi puji-pujian kepada Tuhan memberikan kedamaian di hati.

Saat ke Yogyakarta kemarin, ibu saya mengajak ke Gereja Ganjuran untuk melihatnya. Kata beliau suasana disana sangat tenang dan adem. Saya pun mendatanginya, siapa tahu saya juga bisa melihat langsung Misa dari luar secara live. 

Pendopo yang memasang banner isinya mengajak untuk bertoleransi antar umat beragama | Dokumentasi pribadi
Pendopo yang memasang banner isinya mengajak untuk bertoleransi antar umat beragama | Dokumentasi pribadi
Ketika sampai di depan Gereja, kita akan melihat Gapura terlebih dahulu, dan ada tulisan "Berkah Dalem". 

Kemudian didalamnya ada pendopo yang memiliki banner "Anti Intoleransi dan Menjaga Toleransi Antar Umat Beragama", pesan damainya tidak sekadar di banner saja. 

Akan tetapi saya lihat ada beberapa orang yang beragama Islam (terlihat dari pakaiannya), memang duduk di pendopo tersebut dan ada juga yang menemani keluarganya berdoa.

Menurut kuncen yang saya temui di Makam Raja Mataram di Kotagede, beliau (beragama Islam) juga seringkali ke Gereja Ganjuran saat menemani mertuanya yang beragama Nasrani untuk berdoa. 

Hal serupa juga disampaikan oleh orang setempat yang saya ajak ngobrol, di sekitar Gereja, rata-rata penduduknya beragama Islam dan tidak ada yang mempermasalahkan perbedaan agama. 

Indah sekali ya ketika antar umat beragama saling menghargai dan bertoleransi. Benar-benar merepresentasikan semboyan negara Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu.

Saya benar-benar menikmati kedamaian hati ketika menginjakkan kaki disana, selain itu, saya juga menikmati keindahan desain bangunan Gereja, yang sama sekali tidak meninggalkan budaya aslinya, Jawa.

Gereja Ganjuran yang termasuk Gereja tertua di Bantul, pernah hancur pada tahun 2006, kemudian dibangun lagi dengan gaya Jawa. Hoho. Mantap. 

Beginilah seharusnya negara kita, mengadaptasi budaya luar dengan budaya sendiri, sehingga keotentikan negara kita terus terjaga. Dengan begitu kita tidak terlihat seperti followers.

Lapangan yang luas dalam Gereja | Dokumentasi pribadi
Lapangan yang luas dalam Gereja | Dokumentasi pribadi
Kemudian, masuk ke dalam lagi, saya melihat lapangan yang sangat luas sekali. Oh ternyata itu biasa dipakai untuk berdoa ataupun sekadar istirahat. Saya melihat banyak orang yang duduk-duduk disana, ada yang sekadar duduk, sepertinya melepas lelah. 

Ada juga yang mengobrol, tapi menggunakan level nada suara yang rendah, sopan sekali dan sangat menghargai orang lain yang membutuhkan ketenangan dalam rumah ibadah. 

Ada juga yang khusuk berdoa, ada yang memakai Rosario, ada juga yang berdoa biasa.

Hal ini sangatlah menunjukkan etika yang baik, dimana orang yang satu dengan yang lain benar-benar menghargai kehadiran dan kepentingan orang lain. Kita manusia, kan, tidak hidup sendiri. 

Saya merasa salut, karena pernah ada pengalaman dimana almarhum kakek saya sedang didoakan, banyak orang yang melayat. 

Ada yang sopan dan menghormati, tapi tidak sedikit orang yang malah tertawa terbahak-bahak dan bersuara kencang, sudah seperti kami, keluarga yang saat itu bersedih, sedang mengadakan pesta. 

Padahal selama hidupnya, kakek saya tidak pernah memperlakukan mereka secara tidak sopan. Ketika ditegur, mereka hanya diam sebentar, kemudian melakukan hal yang sama lagi. Macam orang yang tidak pernah diajari sopan santun.

Pendopo yang berisi patung Bunda Maria dan Yesus Kecil | Dokumentasi pribadi
Pendopo yang berisi patung Bunda Maria dan Yesus Kecil | Dokumentasi pribadi

Lanjut tentang Gereja, berjalan masuk lagi, saya melihat pendopo yang ada patung Bunda Maria yang sedang memangku Yesus kecil. 

Patung tersebut tidak diukir seperti patung Bunda Maria dan Yesus seperti biasanya, tapi diukir dengan gaya Jawa. Ukirannya pun bernuansa motif Batik. Patung Bunda Maria dan Yesus ini melambangkan penguasa dan guru Jawa.

Lantai pendopo tersebut juga sangat adem sekali, membuat orang semakin tenang dan betah berdoa di sana. 

Di depan patung sang Bunda dan Yesus juga ada banyak bunga dan ada dupa, membuat pendopo tersebut semakin harum, dan sepertinya membuat orang berdoa semakin konsentrasi dan menghayati doanya, walau di ruang terbuka. 

Relief Jalan Salib Yesus | Dokumentasi pribadi
Relief Jalan Salib Yesus | Dokumentasi pribadi
Selanjutnya ketika berjalan ke samping pendopo, ada relief yang menggambarkan jalan Salib Yesus menuju Bukit Golgota (tempat Yesus di Salib). 

Reliefnya benar-benar menggambarkan perjalanan Salib Yesus, yang dibingkai dengan batu yang diukir dengan nuansa Jawa. 

Nah, relief ini ternyata bisa terbuat karena adanya sumbangan dari masyarakat. Rancangan reliefnya sendiri dibuat oleh pendiri Gereja Bantulan, Joseph dan Julius Schmutzer, orang berkebangsaan Belanda.

Bercerita sedikit tentang pendirinya, beliau berdua adalah pemilik pabrik gula yang memiliki perhatian pada hak buruh. 

Tidak hanya Gereja yang mereka dirikan pada tahun 1924, supaya meningkatkan kualitas kehidupan para buruh yang merupakan orang Indonesia, mereka mendirikan sekolah dan rumah sakit St. Elisabeth di Ganjuran. Selain itu Schmutzer bersaudara juga mendirikan Rumah Sakit Panti Rapih. 

Dengan begitu kualitas kehidupan para buruh dari segi pendidikan dan kesehatan bisa lebih baik, dan tidak diperlakukan semena-mena oleh penjajah yang hanya mementingkan keuntungannya sendiri kala itu.

8 keran air yang ada disamping Candi untuk membasuh wajah, tangan dan kaki sebelum masuk ke Candi | Dokumentasi pribadi
8 keran air yang ada disamping Candi untuk membasuh wajah, tangan dan kaki sebelum masuk ke Candi | Dokumentasi pribadi
Berjalan lebih ke dalam, di samping kiri, akan ada 8 keran air. Saya melihat banyak orang yang mencuci wajah, tangan, dan kaki secara berurutan di 8 keran tersebut, kemudian baru berdoa menuju Candi. 

Urutan pencuciannya sendiri, saya kurang memperhatikan, tapi rasa-rasanya ada urutannya. 

Air pada 8 keran tersebut tidak sembarang air, air tersebut diberi nama Air Perwitasari, dipercaya bisa memberikan mukzizat dan memberikan penyembuhan bagi yang sakit. 

Awal mula munculnya air ini setelah adanya penelitian air dibawah Candi Ganjuran di laboratorium. Hasil penelitiannya, ternyata air ini mengandung mineral yang tinggi yang tentu akan sangat bermanfaat bagi orang yang menggunakannya. Oleh karena itu air tersebut dialirkan melalui 8 keran, samping Candi. 

Orang yang pertama kali memakai air tersebut adalah Pak Perwita yang kebetulan sedang sakit. Karena imannya yang percaya pada rahmat Tuhan melalui air yang mengandung mineral yang tinggi, tidak lama Pak Perwita pun sembuh. Itu sebabnya air tersebut dinamakan Air Perwita.

Tapi air tersebut hanya media ya, semuanya kembali pada iman kita ke Tuhan dan Air Perwita ini sama sekali tidak digunakan untuk melakukan yang "aneh-aneh".    

Candi untuk berdoa, didalamnya ada Patung Yesus yang diukir seperti Raja Jawa | Dokumentasi pribadi
Candi untuk berdoa, didalamnya ada Patung Yesus yang diukir seperti Raja Jawa | Dokumentasi pribadi
Di serong depannya, ada Candi Tyas Dalem atau lebih dikenal dengan sebutan Candi Ganjuran. Nah, kalau sudah membasuh wajah, tangan dan kaki, Anda bisa ke Candi tersebut tanpa alas kaki. 

Kata ibu saya, didalamnya ada patung Yesus yang ukirannya pun tidak meninggalkan budaya Jawa sama sekali. Disini, para umat menyebutnya Gusti Yesus. 

Saat menaiki tangga, kita harus melepas alas kaki dan kalau mau turun tidak boleh membelakangi patung, tapi tetap menghadap ke arah Gusti Yesus, sambil pelan-pelan turun ke bawah, sebagai tanda menghormati Yesus.

Di sini saya mau menjelaskan sedikit, dalam agama Katolik, umat tidak ada yang menyembah patung, semuanya menyembah Yang Kuasa. Patung hanya lah sebagai media untuk berdoa. 

Bunda Maria juga tidak berkedudukan sebagai Tuhan, namun dipercaya sebagai pendamping atau pembimbing para umat agar hati dan pikiran, serta tingkah laku para umat manusia selalu menuju pada Yang Mahakuasa.

Kembali pada candi, Candi Ganjuran ini memiliki desain bangunan corak Hindu Buddha, yang mirip dengan Candi Prambanan. Candi ini diresmikan tahun 1930. 

Candi Ganjuran menghadap ke arah selatan dan lapangan luas yang fotonya ada diatas itu menghadap ke arah utara. Nah, maknanya hadap utara dan selatan adalah kepercayaan orang Jawa pada harmoni utara dan selatan.

Berjalan ke samping kiri Candi, ada pendopo lagi dan didalamnya ada ruang pengakuan dosa. Diseberangnya ada tempat berjualan milik sebuah panti, yang saya lupa namanya. 

Disana ada jualan minuman, makanan kecil, alat-alat doa, dan sebagainya. Akan tetapi di dalam wilayah Gereja tidak diperkenankan makan dan minum. Jadi fungsi tempat ibadah tetap dijaga, bukan untuk berpiknik.

Ruang untuk Misa | Dokumentasi pribadi
Ruang untuk Misa | Dokumentasi pribadi
Disamping pendopo pengakuan dosa, ada ruang Gerejanya. Desain interior dan altarnya benar-benar tidak meninggalkan budaya Jawa sama sekali.

Gedung Gereja Bantulan ini berhiaskan nanas dari kayu dan memiliki ukiran bentuk jajar genjang, yang disebut dengan wajikan. Nah gaya bangunannya ini terinspirasi dari gaya Joglo. Altarnya sendiri dihiasi malaikat yang terukir seperti tokoh wayang.

Kagum sekaligus hormat, itulah yang saya rasakan. Walaupun zaman sudah modern, cara berpikir pun sudah pasti modern juga, tapi budaya setempat sama sekali tidak ditinggalkan. 

Bahkan pengaruh dari luar diadaptasi dengan budaya setempat, menjadikan jati diri budaya sendiri tidak hilang, tanpa harus ketinggalan zaman. 

Bangunan-bangunannya pun terlihat sekali dirawat dan dijaga kebersihannya, terlihat sekali menghormati warisan budaya yang tidak dimiliki negara lain.

Ini berlaku untuk tempat-tempat budaya yang saya kunjungi kemarin, Pemakaman Raja, Mesjid, dan Gereja di Yogyakarta.

Duh, kalau mengingat lagi, saya ingin sekali tinggal di sana. Hehe. 

Referensi :

  1. Mudika Ganjuran. 3 April 2007. 'Air Perwitasari' Candi Ganjuran. Diakses dari Mudikaganjuran.wordpress.com tanggal 7 Desember 2019
  2. Wikipedia. Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran. Diakes dari Wikipedia.org tanggal 7 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun