Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pulang ke Indonesia, TKI Bukan Hanya Menjadi Pahlawan Devisa Lagi

10 November 2019   15:37 Diperbarui: 11 November 2019   00:59 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau dulu saya beranggapan TKI adalah pahlawan devisa, kini tidak lagi.

Heni Sri Sundani menjadi sosok yang membuka pikiran saya bahwa TKI tidak hanya bisa menjadi pahlawan devisa saja, tapi ketika sekembalinya ke kampung halaman, TKI bisa menjadi pahlawan pendidikan bagi anak-anak dikampungnya, sehingga pendidikan di Indonesia tidak lagi jomplang antara  perkotaan maju dengan daerah pelosok. 

Kalau biasanya ada pemikiran seharusnya pemerintah lah yang bertanggung jawab pada pemerataan pendidikan di Indonesia, Heni Sri Sundani berpikiran lain, beliau berinisiatif membuka Gerakan Anak Petani Cerdas dan AgroEdu Jampang. Mungkin, menurut pemikiran saya, kalau menunggu pemerintah bisa memeratakan pendidikan, keburu kiamat duluan.

Untuk Gerakan Anak Petani Cerdas, komunitas sosial ini beliau dan suaminya dedikasikan untuk membantu anak-anak petani yang miskin dalam mengenyam pendidikan. Pendidikan yang beliau berikan ada beberapa aspek, yakni kemampuan linguistik, berbahasa asing, kemampuan literasi, kemampuan logika dan kemampuan teknologi/komputer.

Komunitas AgroEdu Jampang, beliau dedikasikan untuk para petani dan keluarganya dalam memberikan edukasi, pelatihan kemandirian, akses layanan kesehatan dan sosial masyarakat.

Selain itu, kedua komunitas ini juga diajarkan pertanian, peternakan, perkebunan dan bahasa daerah.

Hebat dan salute! Itulah yang ada dalam pikiran saya. Heni bukan berasal dari orang kaya, justru karena berasal dari anak yang tidak mampu, dan rasanya akses mau sekolah saja susah lah, membuatnya bertekad untuk membantu anak-anak petani miskin yang memiliki semangat belajar yang tinggi, namun terbentur oleh biaya dan situasi lingkungan.

Jangan sampai masa depan mereka terhambat karena kurangnya pendidikan dan mudah menyerah pada nasib karena kurangnya wawasan. Padahal mereka sebenarnya bisa mengubah nasib mereka menjadi lebih baik.

Uang boleh terbatas, tapi impian Heni terus menggelora. Walau harus menempuh jarak tempuh yang jauh dari kampung ke kota untuk mengenyam pendidikan, beliau tetap menjalaninya sampai lulus SMK. Saat SMK ada salah satu gurunya yang bercerita kalau sebelum mengajar disana, gurunya tersebut menjadi TKI di Korea, kemudian baru melanjutkan pendidikan di Indonesia. 

Terinspirasi dari cerita guru SMK-nya, Heni pun ingin sekali melanjutkan pendidikan sarjana, pas sekali ibu dan neneknya memang tersendat biaya, maka Heni membujuk ibu dan neneknya agar mengizinkannya menjadi TKI di Hongkong. Dengan hati yang berat, ibu dan neneknya pun menyetujuinya agar impian Heni menjadi sarjana terwujud.

Enam tahun Heni bekerja sebagai Baby Sitter, sekaligus mengenyam pendidikan. Heni lulus D3 Teknologi dan Informasi dengan nilai yang terbaik, tidak berhenti disitu, beliau pun lulus cum laude jurusan Enterpreneural Management. Jujur saja, ini membuat saya terhenyak, seseorang yang bisa dikatakan tidak memiliki tokoh atau sosok yang menginspirasi di kampungnya untuk menjadi sarjana, tapi ia bisa berpikiran lebih maju dan membuka dirinya agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Dalam wawancaranya di CNN, Heni mengatakan bahwa beliau tidak takut kuliah di Hongkong, yang bisa dikatakan lingkungannya sangat asing baginya. Bahasa asing bisa dipelajari asal kita mau belajar, dan orang-orang asing pun juga akan mau bergaul dengan kita, asalkan kita mau membuka diri. 

Hal yang paling membuat beliau takut adalah kembali ke kampungnya, dan sama sekali tidak bisa merubah nasib menjadi lebih baik, karena terbentur dengan pola pikir masyarakat yang masih sederhana dan keadaan ekonomi di kampungnya yang sepertinya cukup sulit untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Seperti perempuan berusia dini sudah harus menikah, kemudian bisa ada makanan sehari-hari saja sudah bersyukur.

Saya jadi berpikir, berarti dulu hidup saya masih kurang susah, karena menemui kesulitan sedikit saja tentang tugas ataupun ujian sekolah, saya sudah langsung mencak-mencak, bukannya bersyukur saya masih bisa sekolah, dan ada keluarga yang sangat mendukung pendidikan tinggi.

Gelar sarjananya Heni tidak diperuntukkan untuk dirinya sendiri dalam mencari nafkah. Pulang ke Indonesia, beliau dan suaminya malah mendirikan Gerakan Anak Petani Cerdas dan AgroEdu Jampang. Beliau berdua benar-benar mendedikasikan diri untuk memberi kesempatan anak-anak petani miskin agar bisa mengenyam pendidikan dan agar kelak bisa memperbaiki nasibnya menjadi lebih baik, dari pengetahuan dan wawasan yang ditimbanya selama bersekolah.

Heni dan suaminya tidak sendirian, ada mahasiswa tingkat akhir dan teman-teman Heni lainnya yang juga pernah berprofesi menjadi TKI yang membantu gerakan mencerdaskan anak petani ini. 

Teman-teman Heni yang pernah berprofesi sebagai TKI memberikan pendidikan bahasa asing pada para anak petani, misal ada yang pernah bekerja di Arab, kemudian mengajarkan anak-anak didik mereka bahasa Arab, apabila ada yang pernah bekerja di Taiwan, maka mengajarkan anak-anak bahasa Mandari, dan seterusnya.

Tahun 2016 lalu, nama Heni sudah masuk daftar Forbes yang bertajuk 30 Under 30 Asia kategori social enterpreneur. Saat itu anak didiknya sudah berjumlah sekitar 2000an. Tahun 2019, anak didik Heni dan teman-temannya sudah berjumlah 7.000 orang, yang tersebar di Jampang, sekitar Bogor dan Lombok. 

Ada keinginan Heni untuk memperluas gerakan ini ke seluruh pelosok Indonesia, namun sekarang ini masih tersendat dengan tenaga pendidik untuk anak-anak. Namun tidak menutup kemungkinan jumlah tenaga pendidik untuk anak-anak yang miskin dan sangat bersemangat belajar ini, akan bertambah jumlahnya, sehingga pendidikan di Indonesia bisa merata, sambil menunggu peran pemerintah dalam memeratakan pendidikan di Indonesia.

Pahlawan di Indonesia tidak lagi semata yang berperang sampai meneteskan titik darah penghabisan saja, kini pahlawan di Indonesia sudah hadir dalam berbagai bidang profesi. Menurut saya, Heni adalah salah satu pahlawan generasi milenial di Indonesia karena memiliki keinginan untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan melalui Gerakan Anak Petani Cerdas dan AgroEdu Jampang. 

Jadi TKI sekarang tidak hanya bisa menjadi pahlawan devisa, tetapi sudah menjadi pahlawan pendidikan tanpa tanda jasa. 

Selamat hari Pahlawan!

Indonesia tidak pernah kekurangan pahlawan. Semangat terus Indonesia!

Referensi:

  1. CNN | Mimpi mantan TKI untuk Pendidikan Anak Negeri
  2. VIVA | Profil Heni Sri Sundani
  3. Jatilarasati, Agestia. 18 November 2017. Heni Sri Sundani, Mantan TKI yang Mendunia Berkat Gerakan Anak Petani Cerdas. Diakses dari Tabloid Bintang, tanggal 10 November 2019. 
  4. Kabibi, Ikhwanul. 26 Februari 2016. Heni Sri Sundani, Mantan TKW yang Mendunia karena Peduli Pada Anak Petani. Diakses dari Detiknews.com tanggal 10 November 2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun