Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Antara Ketidakpedulian Warga dan Inovasi Aturan para Gubernur

27 Agustus 2019   23:08 Diperbarui: 27 Agustus 2019   23:31 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta nantinya tidak lagi menjadi ibukota. Ada yang setuju, ada juga yang sangat keberatan tentang pemindahan ibukota ini.

Saya sendiri termasuk bagian yang pro, ibukota akan lebih baik pindah. Karena menurut saya, ibukota seharusnya menjadi pusat pemerintahan yang tenang dan warganya bisa menjadi contoh warga kota-kota lainnya. 

Jakarta tidak lagi menjadi kota yang mengagumkan seperti beberapa tahun silam, mungkin yang saya bisa beritakan kekaguman saya dari Jakarta adalah kemacetannya, hiruk pikuknya, dan wilayahnya yang semakin lama semakin sempit, karena bangunan properti terus-menerus, tanpa penghijauan. Akibatnya, Jakarta termasuk kota yang penuh dengan polusi. 

Salahkah pemerintah karena membuat Jakarta seperti itu?

Saya rasa ada peran pemerintah daerah yang salah karena pemerintah daerah sudah dari tahun ke tahun tidak menetapkan regulasi untuk mengadakan penghijauan. Pembangunan properti yang modern seperti menjadi tujuan utama. 

Mungkin tadinya supaya terlihat modern layaknya di negara barat sana. Tapi iklim kita dengan iklim di negara barat, sangat berbeda jauh. Selain itu, tidak ada lagi pemandangan yang negara barat miliki, selain gedung-gedung bertingkat yang mewah. Berbeda dengan negara kita yang kaya akan pemandangan alam yang sangat indah.

Tidak sepatutnya daerah kita yang indah dihabisi dengan banyak gedung-gedung modern supaya sama seperti negara barat.  Pembangunan mall-mall modern yang semakin banyak juga turut serta membuat lahan penghijauan kita tersingkir, belum lagi padatnya rumah-rumah, malah membuat ibukota ini rasanya sangat gersang sekali.

Selain pemerintah, warga sendiri, termasuk saya, juga seperti kurang memperhatikan lingkungan kita. Kita jauh lebih memperhatikan kebutuhan hidup dan kenyamanan kita tinggal. Kita tidak lagi terlalu ambil pusing dengan membuang sampah pada tempatnya, membeli kendaraan secara kredit selagi ada uang, dan supaya efesien, rumah diplur semen semua. Jarang sekali rumah berpenghuni yang mau memelihara taman saat ini.

Mengatasi Kemacetan, selalu menjadi agenda program para calon gubernur. Gubernur bergonta-ganti berapa kali belum ada yang benar-benar bisa menuntaskan masalah kemacetan ini. Inovasi dengan aturan ganjil-genap di wilayah A B C, juga saya rasa tidak mengurangi dampak kemacetan, malah dititik-titik tertentu malah jadi lebih macet.

Bahkan banyak orang yang memiliki uang atau kelebihan saldo kredit, membeli mobil lain lagi untuk melengkapi plat ganjil genap. Tidak hanya itu, yang ekonominya pas-pasan pun memaksakan diri membeli mobil lagi supaya bisa dipakai di rute jalan yang sama pada tanggal ganjil dan genap. Tentu hal ini tidak menyelesaikan masalah kan?

Pemerintah memang berupaya sedemikian rupa, tapi warga Jakarta sendiri sepertinya juga tidak peduli biang macetnya itu karena apa. Bukan hanya karena jumlah kendaraan pribadi saja yang banyak, tapi attitude dalam berkendara juga tidak diperhatikan lagi. Saling serobot dan tidak mau mengalah menyebabkan kemacetan semakin parah, apalagi kalau sudah waktunya pulang kerja, saking lelahnya, orang yang berkendara tidak lagi memiliki tenaga untuk mengalah memberikan jalan, tancap terus agar segera sampai ditujuan. 

Kemudian, penghijauan. Saya rasa masalah penghijauan di Jakarta, bukan dikarenakan satu atau dua gubernur saja yang menjabat, namun sudah bertahun-tahun yang lalu penghijauan memang seperti ditinggalkan begitu saja. 

Mungkin karena keinginan untuk membuat Jakarta menjadi kota yang sangat modern, idealisme dan gambaran modern menjadikan pemerintah tidak memperhitungkan iklim kita yang tropis dan lapisan ozon kita yang bisa semakin menipis. Sehingga pemerintah mempersilahkan saja pembangunan properti yang menanduskan pepohonan yang ada sebagian besar wilayah Jakarta.

Apakah itu karena kebijakan pemerintah saja yang membuat wilayah penghijauan kita berkurang? Saya rasa tidak, kita sebagai warga pun juga turut andil dalam masalah ini.

Banyak pendatang yang datang ke Jakarta, dan lebih tepatnya berbondong-bondong untuk mendapatkan tingkat perekonomian keluarga yang lebih baik. Tentu para pendatang ini membutuhkan rumah untuk tinggal. Maka, tidak salah para pebisnis yang memiliki naluri bisnis yang kuat melihat hal ini sebagai peluang, maka sengaja dibangunlah banyak rumah dan apartemen untuk menunjang para warganya untuk tinggal dengan layak dan nyaman. 

Sekitar tahun 2000-an, gaungan untuk berinvestasi properti semakin kuat, Jakarta menjadi wilayah yang nilai propertinya cukup menjanjikan untuk pundi-pundi tabungan. Maka para pebisnis properti pun langsung membangun lebih banyak lagi properti, tanpa memikirkan lagi penghijauan. Para calon investor pun lebih mementingkan masa depan pribadi dibandingkan memikirkan kalau properti terus dibangun dan tidak ada penghijauan, bukankah membuat polusi udara semakin tidak tertahankan??

Selain itu, konsep rumah modern semakin memangkas keribetan dalam bercocok tanam ataupun berkebun di rumah sendiri. Apalagi saat ini banyak pemilik rumah yang lebih banyak menghabiskan waktu di kantor sehingga tidak sempat lagi untuk banyak memperhatikan rumahnya sendiri.

Karena hal ini, banyak rumah yang tidak lagi memakai desain yang ada tamannya, kecuali memang rumah yang memiliki asisten rumah tangga, biasanya masih ada tanaman yang ditanam di pot besar, tapi untuk area taman yang luas, sudah sangat jarang. 

Bangunan-bangunan yang dibangun sebagai tempat usaha dan didesain sedemikian rupa demi bisa menyediakan tempat nongkrong yang bagus untuk kita semua. Satu sisi perekonomian kita semakin bagus karena menyediakan banyak lapangan kerja, kita pun juga memiliki hiburan. Namun di sisi lain, lingkungan kita benar-benar tergerus dari penghijauan. 

Kita bisa lihat sendiri berapa taman dan penghijauan yang ada di Jakarta? Pelajaran IPA yang dulu saya dapatkan tentang reboisasi sepertinya hanya ada dalam bentuk teori belaka.

Sampah jarang dibuang pada tempatnya, dan lebih sering membuang sampah sembarangan. Seakan-akan Jakarta bukan lagi tempat kita tinggal. Kita seperti tamu di rumah sendiri. Harus orang lain yang membersihkan dan harus orang lain yang membuangnya. Prinsip yang kebanyakan dari kita pakai adalah kan sudah ada yang bertugas, ngapain lagi kita repot-repot buang sampah. 

Akibatnya setiap tahun kita pasti akan terjadi banjir, dan polusi udara akan semakin pekat akibat asap kendaraan yang jumlahnya semakin banyak, penghijauan sangat berkurang jauh, terlalu banyak tempat nongkrong, dan masih banyak lagi. Hal ini saya rasa bukan lagi salah pemerintah saja, gubernur berinovasi apapun dalam segala kebijakan dan aturannya, selama kita sebagai warga tidak peduli dan lebih senang menunjuk orang lain, Jakarta tidak akan pernah bisa beres.

Tentu hal ini tidak bisa dibanggakan kepada dunia luar. Apalagi ketika ada tamu negara luar datang, dan memperlihatkan ibukota kita seperti ini, hmmm.. bagaimana ya antara malu, tapi kenyataan.

Akan tetapi tidak mungkin juga kita menjelek-jelekkan ibukota sendiri, walaupun banyak juga negara luar yang ibukotanya pun sama parahnya seperti kita, bahkan mungkin ada yang lebih parah. Bila kita bisa memperlihatkan yang terbaik kepada tamu negara kita, kenapa tidak?

Dengan berpindahnya ibukota, mungkin akan menjadi lebih baik. Dan ada baiknya orang-orang dalam pemerintah sendiri juga memikirkan dengan baik apa saja kekurangan selama ini yang ada di Jakarta, sehingga kemerawutan Jakarta yang sudah terjadi, tidak dibawa oleh pemerintah yang bekerja sama dengan para pengusaha membangun prospek bisnis baru, yang akhirnya membuat ibukota baru nantinya sama semerawutnya dengan yang sekarang. Bila hal itu terjadi, bisa percuma saja pindah ibukota.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun