Saat saya menulis ini, saya sebenarnya baru membaca 63 halaman buku "Hidup Minimalis Ala Orang Jepang". Penulisnya bernama Fumio Sasaki.
Saya membeli buku ini karena saya merasa semua barang saya menumpuk, baik itu di ruang kerja, di rumah maupun di kamar. Dibereskan seperti apapun, paling hanya bertahan seminggu rapi, kemudian akan bertambah lagi barang, menumpuk, kemudian berantakan.Â
Lama-kelamaan, saya merasa malas sekali membereskannya. Tapi pusing sekali melihat keadaan berantakan seperti itu. Saya pikir buku ini mungkin akan memberikan petunjuk cara membereskan dan peletakkan barang-barang yang kita miliki dengan baik dan benar, serta tidak terkesan kumuh.
Ternyata saya salah...
Buku ini tidak menjelaskan cara peletakkan dan membereskan barang, melainkan efek positif yang akan terjadi dalam diri kita bila kita menerapkan prinsip hidup minimalis. Sotoy saya ketika membeli buku ini. Saat saya lihat kalimat buku ini enak dibaca, saya langsung begitu saja membelinya. Kebetulan baru gajian. Hehe...
Kembali ke topik, nah, dalam buku ini, Sasaki menjelaskan bahwa sejak zaman batu, alat digunakan hanya untuk mempermudah hidup kita, bukan untuk menguasai kita. Seperti ada keinginan membeli banyak buku, supaya terlihat diri kita memiliki pengetahuan yang luas, padahal membacanya saja belum tentu memiliki waktu.Â
Membeli jaket kulit, dress yang indah dan sebagainya, dengan harapan suatu hari mungkin akan dipakai, padahal tidak memiliki waktu traveling ataupun bersosialisasi. Dengan kita membeli banyak barang hanya untuk memenuhi gengsi kita, kita artinya sudah dikuasai alat.
Ketika kita dikuasai oleh alat ataupun benda, kita akan memiliki kecenderungan untuk membandingkan diri dengan orang lain yang memiliki baju, mobil, rumah dan sebagainya yang kualitasnya jauh lebih bagus dari kita.Â
Faktor inilah yang akan memberikan efek negatif dalam diri kita, menjadi kurang bersemangat, kurang bersyukur, rendah diri, dan sebagainya.
Supaya kita tidak berkubang dalam kesedihan seperti itu, maka ada baiknya menerapkan prinsip hidup minimalis.
Prinsip minimalis ini ternyata bisa mengurangi rasa stres, lebih berkonsentrasi, lebih menjaga kesehatan, merasa lebih segar, dan yang utama merasa lebih bahagia. Hal ini adalah dampak yang dirasakan sang penulis, Fumio Sasaki, karena sebelum ia mempraktikkan prinsip minimalis ini, ruangan kamarnya sangat berantakan, banyak barang bertumpuk, stres, rendah diri dan jenuh terhadap pekerjaannya, padahal pekerjaannya itu adalah pekerjaan yang ia idamkan.
Hampir seluruh alasan si penulis terjadi dalam diri saya saat ini. Terutama, rasa stres dan jenuh pada pekerjaan. Rasanya pekerjaan saya terlalu monoton dan rutin sekali, belum lagi tim kerja suka membuat saya ingin meledak rasanya.Â
"Semua barang di ruang kerja yang tidak lagi saya gunakan, termasuk kertas-kertas dan amplop bekas yang tidak lagi terpakai --tapi saya pikir dulu siapa tahu bisa digunakan suatu hari nanti-- saya buang semuanya."
Pekerjaan yang tidak terlalu memberikan efek pada perusahaan, pasti akan saya tumpuk, sampai saya rasa sudah banyak. Dengan maksud agar merasa tertantang dan bisa kembali bersemangat untuk melakukan rutinitas pekerjaan.Â
Sayangnya, bukan rasa tertantang yang saya dapat, melainkan semakin malas. Tekanan pada pekerjaan juga tidak membuat saya tertantang, malah rasanya merepotkan. Jadi ketika saya pulang kerja, bukan rasa lelah karena tantangan pekerjaan, melainkan lelah karena terlalu jenuh.
Penasaran terhadap efek positif dari minimalis yang dikatakan Fumio Sasaki, saya mempraktikkannya tadi pagi. Semua barang di ruang kerja yang tidak lagi saya gunakan, termasuk kertas-kertas dan amplop bekas yang tidak lagi terpakai, tapi saya pikir dulu siapa tahu bisa digunakan suatu hari nanti, saya buang semuanya.Â
Ekstrim sih, padahal di buku itu tidak menyebutkan tindakan ekstrim seperti yang saya lakukan, hanya saja sepertinya lega sekali melihat ruangan kerja saya plong. Saya seperti masuk ke tempat kerja yang baru. Dari kegiatan beres-berberes, saya baru melihat ada beberapa pekerjaan yang saya tunda dari bulan lalu, ada yang belum saya kerjakan.Â
Alhasil, saya merasa ada semangat baru ketika mengerjakan pekerjaan saya. Konsentrasi dan fokus bekerja juga saya rasakan, saya hanya paling sesekali mengalihkan perhatian saya untuk mengistirahatkan sebentar otak saya. Kemudian, saya kembali konsentrasi dan fokus pada pekerjaan lagi. Mungkin ini baru hari pertama efek dari membuang barang.
Harapan saya, prinsip hidup minimalis ini benar memberikan efek yang sama dengan sang penulis dalam diri saya, setidaknya ruangan saya lebih rapi dan teratur, memberikan kesan nyaman ketika memasuki ruangan.
Setelah saya membaca keseluruhan buku ini dan mempraktikkannya dalam hidup saya, serta merasakan efek positifnya, saya akan kembali berbagi. Siapa tahu bisa bermanfaat untuk para kompasianer.
Atau adakah para kompasianer yang sudah melaksanakan prinsip hidup minimalis ini? Mungkin bisa bantu sharing, sehingga pengetahuan saya tentang prinsip hidup minimalis ini tidak terlalu sempit.Â
Terima kasih sebelumnya, salam hangat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H