Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudahkah Anda Menikmati Waktu Bersama Orangtua Anda?

27 Juni 2019   12:43 Diperbarui: 27 Juni 2019   13:00 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Bangkitmedia.com

Artikel ini terinspirasi dari satu rumah sakit. Beberapa waktu lalu, saya menjenguk teman saya yang terserang penyakit DBD. Hari sebelumnya, teman saya bercerita bahwa dia sekamar dengan seorang kakek. Teman saya bertanya pada suster, kakeknya sakit apa, karena terlihat sehat-sehat saja. Susternya hanya tersenyum. Esokan harinya setelah si kakek keluar dari rumah sakit, suster yang kemarin ditanya teman saya, sembari memeriksa tekanan darah dan mengganti infus, menjelaskan bahwa setiap Lebaran, memang banyak orang tua yang dititipkan di rumah sakit ini, karena keluarganya mau berlibur.

Mendengar hal itu, membuat saya berpikir, apakah saya akan melakukan hal tersebut kalau saya sudah memiliki anak?

Saya memiliki seorang ibu dan nenek. Ayah dan kakek saya sudah meninggal.

Ibu saya saat ini terkadang suka tidak konsentrasi pada jawaban saya. Beliau bisa bertanya dua sampai tiga kali. Terkadang rasa kesal pasti ada, tetapi saya selalu diajarkan untuk tidak kurang ajar. Nenek saya sendiri sudah memasuki masa kembali menjadi "anak kecil", harus dibimbing, harus diberitahu pelan-pelan, bahkan terkadang nada kami (sekeluarga) harus sedikit menyentak, agar beliau mau memperhatikan apa yang kami bicarakan.

Greget... itu yang saya rasakan.

Jadi, sebenarnya saya tidak menyalahkan anak-anak yang meninggalkan orang tuanya sementara di rumah sakit tersebut untuk berlibur. Tentu ketika berlibur, pasti jadwal perjalanan agak padat agar bisa mengunjungi berbagai tempat. Apabila orang tua ikut, pasti tempat yang dikunjungi menjadi terbatas, belum lagi kalau orang tua bertingkah mengesalkan, seperti banyak mengatur, marah-marah sendiri, dan sebagainya.

Akan tetapi, sempat melintas tidak dalam pikiran, berapa lama lagi kita bisa menikmati waktu berkumpul dengan orang tua?

Orang yang benar-benar mendukung kita dari kecil, mendidik kita, berkorban untuk kita dari kecil dengan bekerja keras supaya kita sekolah, makan, punya rumah. Rela berantem dengan orang lain, supaya kebutuhan dan kepentingan kita sebagai anak terpenuhi. Orang yang dengan makian kasarnya, membuat kita kuat menghadapi gelombang kehidupan. Kalau kita sedang sedih, mereka pasti membujuk dengan caranya sendiri. Saat terpuruk, kita pasti kembali ke orang tua untuk meminta dukungan. Walaupun kita dibaweli, tapi tetap orang tua turun tangan membantu. 

Apakah hal tersebut bisa ditemukan pada orang lain? Bahkan pasangan kita sendiri, saya rasa, belum tentu sedemikian berkorbannya untuk kita.

Saya bisa berpikir seperti ini, karena rasa kehilangan waktu ayah dan kakek saya meninggal.

Dulu saya tipe orang yang sangat cuek dan lebih senang sibuk dengan dunia sendiri. Ketika ayah ingin mengobrol dengan saya, saya pasti tidak akan menggubrisnya. Kalau ayah menelepon, saya pasti ogah-ogahan sekali menyahutnya. Kebetulan saat itu, hubungan ayah dan ibu saya merenggang, dan saya menyalahkan ayah atas keadaan tersebut, terlebih lagi karena banyak kasak-kusuk dari orang sekitar tentang ayah, yang membuat saya percaya karena saya tidak pernah dekat dengannya. Padahal ada penjelasan dibalik gosip-gosip tentang ayah saya.

Sampai suatu hari, mungkin karena sikap saya sudah terlalu keterlaluan cueknya, saya dijelaskan panjang kali lebar kali tinggi oleh ibu dan teman ibu yang mengenal kedua orang tua saya. Perlu waktu lama, saya baru menyadari bahwa ayah saya itu sayang sama saya, dan semua perbuatan yang dilakukan karena efek lingkungan sekitar dan masalah keluarganya, yang tidak pernah saya pahami. Ketika saya memutuskan untuk minta maaf pada ayah, ayah saya diberitakan sudah meninggal karena serangan jantung. Saya tidak pernah sempat mengatakan maaf pada beliau secara langsung.

Kemudian kakek saya, orang yang sepenuhnya membiayai hidup saya dari bayi sampai saya kuliah secara tidak langsung. Tanpa dukungan beliau, belum tentu saya dan keluarga masih bisa hidup. Bahkan menulis seperti ini saja, sudah pasti tidak bisa. Bukan lebay, tapi itu kenyataannya. Ketika kakek saya sakit komplikasi antara jantung dan paru-paru, saya tidak terlalu memperhatikannya. Saya lebih memilih sibuk dengan pekerjaan, karena saya pikir sudah ada ibu, nenek dan adik saya yang merawatnya. 

Saya hanya merawatnya ketika sedang tidak ada orang di rumah. Suatu hari kakek saya mau makan, saya tidak tahu kalau beliau ternyata sudah tidak bisa lagi pegang sendok dan mangkuk dengan sempurna. Setiap suapannya, makanan selalu jatuh ke mana-mana, tapi kalau ditawari untuk disuapi, beliau sama sekali tidak mau. Mungkin karena belum terima kalau dirinya sedang sakit. Disitu saya mau menangis, tapi berusaha menahannya. Sebelum sakit, kakek saya benar-benar orang yang sangat gagah, mandiri dan cenderung otoriter, namun karena sakit yang dideritanya, kesan gagah, mandiri dan otoriter benar-benar tidak ada, kecuali seorang yang tua renta dan butuh dilindungi. 

Setelah peristiwa itu, saya menjadi lebih sedikit sering menemani beliau. Sedikit saja, karena saya malas mengobrol terlalu lama, saya lebih senang sibuk dengan dunia saya sendiri. Kami sering ngobrol ngalor-ngidul, dan saya tidak menyangka kalau kakek ternyata sangat memperhatikan saya. Beliau ingat tanggal lahir saya, beliau ingat umur berapa saya pertama kali bekerja, beliau ingat sudah berapa lama saya tinggal disana bersamanya, beliau pun ingat laptop pertama yang saya beli dengan jerih payah saya sendiri itu tanggal berapa. Bahkan pengeluaran untuk saya selama hidup saja, juga masih ada... hehe... Dicatat semua ternyata.

Ketika hati saya semakin terketuk untuk mengobrol lebih lama dengan beliau, karena ternyata beliau orang yang enak diajak ngobrol dan bertukar pikiran. Kakek saya menghembuskan nafas terakhir.

Mengembalikan masa dimana ayah dan kakek masih hidup tentu tidak mungkin. Menyesal pun sudah tiada guna.

Disini saya hanya ingin mengajak bapak ibu yang masih memiliki orang tua, walau orang tua sudah mulai menyebalkan, bahkan kembali ke masa "anak kecil" lagi, dan tampang mereka sudah tua renta. Video dan himbauan berupa status untuk lebih memperhatikan sudah banyak beredar dan lebih lengkap menggambarkan perasaan orang tua kepada anak. Saya juga sudah melihatnya dulu, tapi saya tidak menggubrisnya, sampai saya merasakan sendiri akibat tidak mau menikmati kebersamaan dengan orang tua. 

Nikmatilah kebersamaan kita bersama orang tua selama masih bisa. Toh ke depannya, kita juga akan bisa menikmati waktu yang lebih lama dengan pasangan dan anak kita. 

Ada saatnya nanti, hal-hal yang kita merasa ada orang tua malah menghambat, bisa terealisasi. Masa depan kita bersama anak dan pasangan jauh lebih panjang. Sedangkan kebersamaan kita dengan orang tua, hanya Tuhan yang tahu sampai kapan. Lagipula, kita pasti tidak mau juga kan kalau anak sampai tidak mempedulikan diri kita sebagai orang tua?

Jangan sampai ada penyesalan. Ketika orang tua sudah tiada, kita baru menyesal karena kurangnya kebersamaan kita dengannya.

Orang yang selalu bersama kita saat kita terpuruk. Karena anak cenderung datang kembali ke orang tua kalau sudah terpuruk atau ada permasalahan, bukan?

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun