Selain untuk pekerjaan, daya nalar dan analisis yang kuat dan tajam dibutuhkan ketika membuat skripsi dan sidangnya. Kita tentu harus memiliki data dan informasi, dan bukti konkret langsung dari lapangan, kemudian kita analisis dan kita olah datanya dalam bentuk tulisan ilmiah.Â
Apabila kita tidak memakai daya nalar dan analisis ketika mengolah data, informasi dan buktinya, bisa dikatakan kita kurang kompeten, karena kurang bisa menarik kesimpulan dalam pembuktian bahwa penelitian kita itu memiliki data, informasi dan bukti konkret yang valid. Dan dijamin, anda akan benar-benar kesulitan saat membuat skripsi karena otak anda tidak pernah dilatih untuk bernalar dan menganalisis.
Sebagai ilustrasi, saya menonton di YouTube Channel Mata Najwa, yang menghadirkan Presiden Mahasiswa atau Ketua BEM dari UI, Trisakti, IPB, UGM dan ITB, judulnya adalah Kartu Kuning Jokowi. Disana juga hadir Adian Napitupulu, Desmon Mahesa, Ahmad Yohan sebagai mantan aktivis mahasiswa tahun 98 dan legislator, bersama dengan Pak Muldoko, Kepala Staff Kepresidenan, dan Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi.
 Acara ini membahas tentang kartu kuning yang diajukan oleh Ketua BEM UI, dan pendapat mahasiswa dari universitas lainnya tentang kinerja pemerintah saat ini, mengenai suku asmat salah satunya.Â
Presiden Mahasiswa atau Ketua BEM dari UI, Trisakti, IPB dan ITB memberikan pendapat dan analisisnya yang mereka dapat dari data dan informasi media yang mereka baca. Namun, sangat disayangkan pendapat dan analisisnya itu bisa dikatakan tidak valid, karena mereka sama sekali belum tahu keadaan disana secara nyata dan dilihat sendiri oleh mereka.Â
Hal ini seperti menunjukkan skripsi yang datanya tidak valid, karena belum ada bukti nyata yang menyertainya. Adian Napitupulu dan Moeldoko menyarankan agar di waktu berikutnya, mahasiswa seharusnya memiliki data yang valid terlebih dahulu baru kemudian mengajukan kritik dan saran, tidak hanya kepada pemerintah, tapi terhadap siapapun.Â
Adanya data dan informasi yang sudah ada, kemudian ada bukti konkretnya, barulah mahasiswa bisa bernalar dan menganalisis dengan tepat letak permasalahan yang sebenarnya secara konkret.
Namun anehnya, seorang pengamat politik, yang juga seorang dosen, malah membenarkan mahasiswa tersebut, menurutnya, tugas mereka hanya fokus untuk belajar bagi masa depan mereka.Â
Jadi data dan informasi yang dikumpulkan dari media saja sudah cukup. Bukankah itu berarti mengajarkan mahasiswa untuk berpendapat secara tong kosong, layaknya menyajikan lauk pauk dan nasi tanpa dimasak sama sekali?Â
Hal seperti ini tentu tidak akan didengar oleh pemerintah, karena mahasiswa sama sekali tidak bisa memberikan contoh konkretnya, kecuali memaparkan apa yang sedang diimajinasikannya, itu sama saja dengan kualitas anak kecil yang sedang mengungkapkan cita-citanya kepada orangtuanya.
Berbeda dengan Obet Kresna Widyapratista, presiden mahasiswa UGM. Ia memiliki data yang valid. Data dan informasi telah dimilikinya, kemudian ia bersama teman-temannya, telah langsung terjun ke lapangan untuk membuktikan data dan informasi yang didapat benar atau tidak.Â