Mohon tunggu...
Nabilah FJ
Nabilah FJ Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Manusia yang suka jalan-jalan. Suka sejarah, sosial, dan budaya. Sekarang sedang mengejar impian di departemen humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kampung Peneleh, Surganya Heritage di Surabaya

3 Juni 2024   11:14 Diperbarui: 6 Juni 2024   15:00 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Pribadi (in frame: Bintang)

"Bintang, besok tanggal merah... kita ngetrip, yuk!"

Pagi itu cuacanya sangat cerah. Aku dan temanku, Bintang, berencana untuk jalan-jalan "menelusuri tempat-tempat heritage di Surabaya". Seperti biasa walaupun hari masih pagi, matahari Kota Surabaya bersinar cukup terik. Namun hal itu tidak membuat kami mengurungkan niat untuk memulai heritage trip.

Tujuan hari itu adalah Kampung Peneleh. Sama halnya seperti Kampung Heritage Kayutangan di Malang, Peneleh juga kaya akan peninggalan-peninggalan dari masa kolonial bahkan peninggalan era Majapahit.

Museum HOS Tjokroaminoto

"Destinasi pertama kita ke museum HOS Tjokro, ya!", ujarku kepada Bintang.

Museum ini merupakan bekas rumah HOS Tjokroaminoto yang masih berdiri tegak hingga saat ini. Kondisi rumah cukup terawat, usut punya usut, rumah ini sempat dipegang oleh salah satu ahli waris HOS Tjokroaminoto. Kemudian pemerintah Kota Surabaya meresmikannya sebagai bangunan cagar budaya.

Museum ini menyimpan barang-barang milik HOS Tjokroaminoto. Selain itu, dinding-dinding museum dihiasi foto-foto dan tulisan-tulisan yang memuat informasi perjalanan hidup HOS Tjokroaminoto.

Salah satu hal yang menarik adalah fakta bahwa rumah ini dulunya merupakan kost-kostan Bung Karno dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka nge-kos di loteng rumah HOS Tjokroaminoto sambil menimba ilmu kepadanya.

Dok. Pribadi (in frame: Bintang - loteng kost)
Dok. Pribadi (in frame: Bintang - loteng kost)

Rumah Lahir Bung Karno

Destinasi selanjutnya adalah "Rumah Lahir Bung Karno" di Jl Pandean IV. Dari Museum HOS Tjokroaminoto, kami berkendara ke arah Jl Makam Peneleh dan memarkirkan motor di samping Lodji Besar.

Kami berjalan menyusuri gang-gang di Kampung Peneleh sambil mendokumentasikan lingkungan sekitar. Sesampainya disana, kami melihat-lihat sejenak kondisi bekas rumah Bung Karno dulu.

"Ibunya Bung Karno itu aslinya orang Bali. Panggilannya, Ibu Srimben", Bintang mendengarkan penjelasanku sambil manggut-manggut.

"Ayah Bung Karno dulu pernah mengajar di daerah Bubutan. Beliau mengajar di SDN Sulung", sambungku. Yah, tidak ada salahnya jadi tour guide tipis-tipis, kan? hihihi.

Dok. Pribadi (in frame: Bintang)
Dok. Pribadi (in frame: Bintang)

Langgar Dukur

Kami kembali menyusuri Kampung Peneleh menuju destinasi ketiga yaitu Langgar Dukur. 

"Wah, ini keren sekali", seruku dengan takjub.

Sebuah langgar kayu dua lantai berdiri menahan tubuhnya yang sudah renta dimakan usia. Kayu-kayu langgar nampak rapuh dibalik cat putih yang menyelimutinya.

Menurut papan informasi, Langgar Dukur dibangun abad 19, tepatnya pada tahun 1893. Sebuah Alquran kuno berlogo pemerintahan Belanda ditemukan di langgar ini. Selain itu, ditemukan pula tombak setinggi kurang lebih 2 meter di atap langgar.

Dok. Pribadi (in frame: Bintang)
Dok. Pribadi (in frame: Bintang)

Sumur Jobong Peneleh

Di tengah gemerlapnya Kota Surabaya, ada sebuah sumur yang dinilai mirip dengan situs Jobong yang ada di Trowulan, Mojokerto, yang sudah ada sejak zaman Majapahit. Sumur ini ditemukan secara tidak sengaja pada 2018 lalu.

Sumur Jobong berada di tengah gang-gang Peneleh yang padat. Di lokasi yang sama, terdapat dua kotak kaca berisi beberapa artefak seperti tulang, pecahan keramik, gerabah, dan batu bata kuno yang ditemukan saat penggalian Sumur Jobong.

Kami tidak dapat melihat rupa dalam Sumur Jobong karena sumur dalam keadaan tertutup. Kemungkinan hanya boleh dibuka dengan petugas seperti halnya Langgar Dukur yang boleh dinaiki jika bersama petugas.

Dok. Pribadi (artefak dari sumur jobong)
Dok. Pribadi (artefak dari sumur jobong)

Makam Eropa Peneleh

Setelah blusukan ke kampung Peneleh, kami kembali ke Jl Makam Peneleh, kemudian menuju ke De Begraafplaats Peneleh atau yang juga dikenal dengan Makam Belanda Peneleh. Setelah mengisi buku tamu, kami bergegas masuk untuk "nyekar".

"Hier Rust..... apa sih artinya?", tanya Bintang. Aku menjawab, "kayaknya semacam rest in peace dalam bahasa Belanda". Lalu, aku mengambil ponsel dan mulai mengoperasikan google translate.

Menurut papan informasi, Pemakaman Eropa Peneleh dibuka oleh Dr. W. R. van Hovell pada tahun 1847. Area pemakaman ini luasnya sekitar 5,4 hektar.

Bentuk makamnya bermacam-macam, sepertinya sesuai dengan kelas sosial. Makam-makam yang mewah mestilah milik kaum borjuis maupun rohaniawan, sementara lainnya milik rakyat biasa. Kami mendapati beberapa makam yang sudah rusak bahkan berlubang. Sedangkan kondisi makam-makam mewah relatif utuh.

Makam-makam yang nampak raya itu seperti makam Pastor Van Den Elzen dan makam para suster Ordo Ursulin. Dilansir dari begandring.com, para suster Ursulin ini dikuburkan secara kolektif. Selain Pastor dan para suster, terdapat makam mewah lainnya milik P.J.B. De Perez, seorang pejabat Dewan Pemerintah Hindia.

Dok. Pribadi (in frame: Bintang)
Dok. Pribadi (in frame: Bintang)

Lodji Besar

Sehabis "nyekar", kami mampir ke kafe Lodji Besar untuk beristirahat sejenak sambil menikmati cappucino dan coklat dingin sebagai penetralisir cuaca panas Surabaya. Saat itu suasana kafe cukup ramai, ada sekelompok remaja yang rupanya tengah melakukan syuting disana. Hmm, mungkin untuk tugas film bertema sejarah.

Dilansir dari beberapa website, Lodji Besar dibangun tahun 1907. Lodji Besar mengusung tema vintage yang senada dengan arsitektur bangunannya. Berbagai perabot jadul, peta, dan potret lawas Surabaya mengisi tiap-tiap ruangan kafe tersebut. Beberapa poster iklan jadul juga turut menghiasi dinding ruang depan yang semakin menambah kesan aesthetic pada kafe.

Dok. Pribadi (in frame: Bintang)
Dok. Pribadi (in frame: Bintang)

Kawasan Heritage Peneleh

Seperti yang sudah sering kusebutkan di beberapa tulisan lainnya, Surabaya merupakan daerah yang vital di masa pemerintahan kolonial Belanda. Sehingga wajar kalau Surabaya kaya akan spot-spot heritage. Salah satunya adalah Kampung Peneleh.

Kampung Peneleh yang padat itu menyimpan potret peradaban di masa silam. Hingga kini banyak bangunan-bangunan zaman londo yang tetap dijaga keasliannya. Peneleh seolah menjadi lorong waktu yang menghubungkan masa kini dengan masa lampau.

Aku memang punya ketertarikan tersendiri terhadap bangunan-bangunan lawas. Sejauh mataku memandang, bangunan-bangunan tersebut seakan memutar rekaman memori masa lalu.

Salah satu bangunan lawas di sana adalah yang kini menjadi Puskesmas Peneleh. Lokasinya tepat di depan gerbang masuk Makam Belanda Peneleh. Arsitektur puskesmas ini "londo banget" dengan buah mangga mentah yang bergelantungan di depan terasnya. Hihihi, jadi pengen makan mangga, deh.

Sebenarnya masih banyak bangunan cagar budaya di Peneleh yang biasa dikunjungi wisatawan, antara lain Toko Buku Peneleh dan Masjid Agung Peneleh. Akan tetapi kondisi saat itu membuat kami urung mengunjungi spot-spot tersebut.

***

Ini bukan akhir dari perjalananku. Masih banyak tempat-tempat yang harus dikunjungi untuk menuntaskan kehausanku akan sejarah negeri ini. Catatan ini akan menjadi rekaman dari tiap-tiap perjalanan yang kulakukan. Salam Hangat.

Nanaf, 9 Mei 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun