Mohon tunggu...
Nabilah FJ
Nabilah FJ Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Manusia yang suka jalan-jalan. Suka sejarah, sosial, dan budaya. Sekarang sedang mengejar impian di departemen humaniora.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Trance dalam Seni Spiritual

18 Desember 2023   15:30 Diperbarui: 27 Desember 2023   18:58 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dok. Pribadi dalam perhelatan BWCF, Simposium-3

Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) adalah festival bertema seni dan budaya nusantara yang diselenggarakan setiap tahun. Dilansir dari laman resmi BWCF bahwa festival ini mulai diselenggarakan sejak tahun 2012. BWCF merupakan wahana bagi para seniman, sastrawan, serta pegiat budaya dan keagamaan lintas iman.

Dalam perhelatan BWCF, disamping diadakan seminar, juga diadakan berbagai pentas seni dan panggung sastrawan. Selain itu, diadakan pula pameran artefak, naskah kuno, wayang serta bazar buku. Penyelenggaraan BWCF dihadiri oleh berbagai kalangan mulai dari sastrawan, seniman, jurnalis, arkeolog, mahasiswa hingga masyarakat umum. Kali ini, BWCF diselenggarakan di Universitas Negeri Malang selama 5 hari, mulai dari tanggal 23 November 2023 hingga 27 November 2023. 

Di tahun 2023 ini, saya berkesempatan untuk menghadiri Borobudur Writers & Cultural Festival. BWCF 2023 mengusung tema Gaea, Seni Pertunjukan & Repatriasi Benda-Benda Purbakala Indonesia "Membaca Ulang Pemikiran Prof. Dr. Edi Sedyawati (1938-2022)". Sebagai seorang mahasiswa humaniora yang sangat menyukai sejarah dan budaya, festival ini menjadi wahana untuk menambah wawasan. Meskipun hanya dapat menghadiri BWCF hari ke-4, saya telah mendapatkan banyak hal dari festival ini.

Tanggal 26 November digelar Simposium ke-3 dengan tema "Seni Pertunjukan dalam Relief-Relief Candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur". Simposium-3 mengundang tokoh-tokoh hebat yaitu Arkeolog Dwi Cahyono dari Jawa Timur; Arkeolog dan Dosen UM Dr. Rita Margaretha; Dosen Mahasarakham University, Thailand yaitu Dr. Arsenio Nicolas; dan Cok Sawitri, seorang seniman, sastrawan, dan aktivis sosial dari Bali. Acara ini dipandu oleh Dr. Ali Akbar dari Departemen Arkeologi, FIB UI. Inti pembahasan simposium-3 ini adalah tentang tari-tarian dan lingkupnya terutama yang dipahat di situs percandian.

Salah satu topik yang menarik bagi saya adalah yang dibawakan oleh Cok Sawitri dengan judul, "Trance dalam Pertunjukan Bali: Dulu & Kini". Cok Sawitri menggantikan Prof. Dr. I Made Bandem (ITB STIKOM Bali) untuk membawakan materi ini.

Cok Sawitri memaparkan klarifikasi terhadap penyematan trance pada seni pertunjukan Bali. Cok Sawitri meminta semua berita dan penelitian tentang hal itu untuk dihapus. Cok Sawitri juga mengatakan bahwa trance adalah penghinaan bagi masyarakat Bali.

Seni tari Bali ada 3 jenis yaitu Seni Wali, Seni Bebali, dan Seni Balih-balihan. Dalam pelaksanaannya, penari mengalami peristiwa keilahian. Ketika mencapai fase kekhusyukan, penari dapat melakukan hal-hal yang tidak biasa mereka lakukan di kehidupan sehari-hari. Selain itu, para penari juga mampu menari selama berjam-jam.

Makna trance umumnya mengacu pada kondisi ketidaksadaran diri dan cenderung dikaitkan dengan hal-hal mistis. Sebutan trance terhadap seni tari-tarian Bali seolah menunjukkan bahwa mereka memuja jin atau sejenisnya. Para penari dianggap sedang mengalami apa yang disebut dengan kerawuhan (kesurupan). Hal ini berlawanan dengan kondisi penari yang sebenarnya sebagaimana disampaikan oleh Cok Sawitri.

Pernyataan yang disampaikan oleh Cok Sawitri mengingatkan saya pada tarian sufi yang lekat dengan aliran sufisme dalam Islam. Tari sufi dilakukan dengan berputar berlawanan dengan arah jarum jam secara terus menerus hingga berjam-jam. Dilansir dari beberapa sumber, tari sufi merupakan bentuk meditasi. Sebelum melakukan tarian, para penari membaca sholawat kepada Nabi Muhammad SAW terlebih dahulu. Tari sufi ini ibarat penghambaan yang dalam kepada Allah.

Baik tari Bali maupun tari sufi menjadikan penarinya melakukan hal-hal yang mungkin tidak biasa atau mampu dilakukan dalam kehidupan normal. Lantas, apakah dengan serta merta kita menyebut tari sufi sebagai trance? Padahal faktanya, para penari hanya "memfokuskan diri" kepada Tuhan, seperti halnya yang dikatakan Cok Sawitri mengenai tari Bali yang penarinya mengalami peristiwa keilahian.

Klarifikasi yang disampaikan oleh Cok Sawitri menegaskan bahwa seni pertunjukan dalam hal ini tari-tarian bukan hanya sebagai kekayaan budaya, namun sebagai bentuk keimanan atau penghambaan kepada Tuhan. Tari-tarian tersebut menjadi pendekatan spiritual dan sangat sakral bagi masyarakat hindu di Bali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun