Mohon tunggu...
Nana Suryana
Nana Suryana Mohon Tunggu... -

nana suryana. kini berkaca mata minus. berjiwa so’ muda mesti tampang tampak tua. masih betah tinggal di bandung. tiap hari keluyuran mengelilingi tiap sudut kota kembang bersama angkot dan damri. kalau pun sesekali ke luar kota, cuma bermodalkan ktp untuk naik kereta krd atau kelas ekonomi lain.\r\n\r\nkritikus, provokator, pengeluh, pelamun, pembual dan pemimpi nomor wahid. pembaca setia mahabharata, ramayana, karl marx, paulo freire, jurgen habermas, hasan hanafi, abed al-jabiri, gusdur, pramudya ananta toer, andrea hirata, wiro sableng, freddy, anny arrow, dan apa pun! bahkan sesobek koran pembungkus terasi belanjaan pagi.\r\n\r\npengidap insomnia yang akut. penikmat musik classic dan film kolosal. so’ romantic and puitis. sungguh tak punya selera. pemalas, jorok, urakan, norak, dan tak suka diatur. penghisap rokok djarum super bareng kopi mocacino di tiap pagi, saat mulut masih berbau mimpi. kini, tengah belajar untuk mencintai situasi apa pun.\r\n\r\nym = nana_suryana\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semar & Supersemar: Serba Samar!

12 Maret 2011   11:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:51 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkaitan dengan penamaan, hal ini ditengarai adanya perubahan term dari gerakan ke peristiwa, kemudian menjadi institusi. Mula-mula disebut gerakan 30S, kemudian menjadi peristiwa 30 September, dan berubahlah menjadi Gestapu –sebuah institusi yang memiliki homonimitas dengan Gestapo. Begitu pula Surat Perintah 11 Maret yang diakronimkan menjadi Supersemar, sebagai efek retroaktif dalam naming, menyebabkan teks lenyap, sehingga designator (super dan semar) menjadi rigid dan tetap.

Sampai di sini, agaknya makin terang betapa dalam kesamaran itu, realitas faktual dan realitas fiksional bisa saling tumpang tindih, bisa pula saling menenggelamkan. Dan, bila paradigma formulasi wacana sebagai political discourse yang jadi acuan, maka kesamaran demi kesamaranlah yang bakal banyak tersaji. Toh, sebagaimana kata Benedict Anderson, keseluruhan politik Indonesia terdiri atas proses gaib yang diturunkan dari jagat Jawa. Wallohu’alam!

Nana Suryana
Cijagra, 12 Maret 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun