Mohon tunggu...
Nana Cahana
Nana Cahana Mohon Tunggu... Dosen - Menekuni literasi, pendidikan dan sosial

Mengajar Rumpun Ilmu Pendidikan di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Jawa Barat Kunjungi saya di: https://www.facebook.com/nanacahanajaya?mibextid=ZbWKwL https://www.instagram.com/nana_cahana/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meski Menjadi Alumni, Tetaplah Santri

28 Oktober 2021   10:36 Diperbarui: 29 Oktober 2021   10:15 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi santri-santri milenial. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Sebagaimana menjadi siswa sekolah formal, menjadi santri itu pilihan.  Tidak semua anak berkeinginan menjadi santri bahkan jika orang tuanya memaksa untuk mondok. 

Hal pertama yang dibayangkan adalah jauh dari orang tua, saudara dan sanak famili lainnya. Belum lagi ada anggapan bahwa santri itu kuno dan ketinggalan zaman.

Dari sisi kemajuan teknologi sepertinya santri tidak mengikuti tren sebab penggunaan handphone pribadi tidak diperkenankan di pesantren. Namun bukan berarti santri ketinggalan kemajuan teknologi. Santri tetap bisa menguasai IT (Information Technology) sebab ada bimbingan pemanfaatan IT di pesantren.

Justru menjadi santri itu unik. Santri hidup dalam lingkungan asrama, sekolah, tempat bermain, olahraga, mengaji, dan beribadah dalam satu komplek yang tidak terpisah. 

Boleh dikatakan kehidupan pondok pesantren mengadopsi kehidupan rumah namun dengan jumlah anak yang banyak dan denga berbagai karakter berbeda-beda . Ada santri rajin, ada yang malas, ada yang acuh, ada yang hanya mengikuti arus yang penting di pondok.

Bagaikan pendidikan keluarga, sang kiai adalah ayahnya, sang nyai adalah ibunya, ustaz-ustazah adalah saudara tertuanya, pengurus pesantren adalah saudara yang lebih muda dari ustaz dan ustazah. 

Lingkungan kelurga benar-benar dibangung seirama dan satu tujuan dalam kebersamaan di pondok pesantren. Bahkan ketika ada yang melanggar satu kamar, yang lain ikut terdampak imbasnya. 

Bisa jadi yang lain terkenan hukuman akibat satu orang yang melanggar. Namun ada kebersamaan yang tak terlupakan dari kejadian tersebut.

Di sisi lain, ketika salah satu santri mendapatkan kiriman makanan, santri tersebut tidak sungkan berbagi dengan teman-temannya. 

Bahkan jika tidak ada uang, santri saling meminjam. Uniknya terjadi kebersamaan terjadi dalam segala situasai; dalam suka dan duka, dalam perkara remeh dan penting. Ada kesan lucu, ada kesan sedih yang takkan terlupa. Segala benda yang bisa dimanfaatkan untuk menggantikan benda aslinya biasa digunakan santri. 

Tidak ada gelas, piring menjadi wadah  air untuk diminum. Tidak ada baskom, ember pun menjadi wadah pembuatan mie instan untuk makan bersama saat berkumpul konsulat (himpuann beberapa daerah) ataupun paska tahajud malam bersama.

Begitulah sedikit kisah dunia santri yang tidak ditemukan di dunia pendidikan non asrama. Suka-duka, susah-senang menjadi proses pendewasaan diri santri. 

Perbedaan suku, rasa, golongan menjadikan santri toleran dan terbuka dengan perbedaan dan sesuatu yang baru. Semua dilalui tahap demi tahap. 

Ada yang tidak tamat, ada yang tamat, ada pula yang selesai nyantri mengabdikan diri di pesantren almaamternya sebagai ustaz dan ustazah membantu kiai.

Tahapan Awal yang Berat

Pernahkah terpikir oleh Anda bahwa menjadi santri adalah pilihan yang berat. Berat yang dimaksud adalah kondisi hidup yang jauh berbeda dengan keadaan rumah. 

Di rumah, segala keminginan dapat terwujud dengan cepat, baik dilakukan sendiri ataupun oleh orang tua dan saudara. Di pondok pesantren, seorang santri dituntut hidup mandiri. 

Walaupun ada kiai dan ustaz sebagai pembimbing, namun dalam pembiasaan hidup mandiri, santri sendirilah yang menjalaninya. Kiai dan ustaz membangun semangat (ghiroh), santrilah yang menguimplementasikannya dalam setiap tahapan kehdidupan di pondok pesantren.

Kiai dan ustaz akan mengarahkan santri menjadi anak yang baik akhlaknya, baik karakternya, semangat belajarnya, disiplin menjalankan tugas dan beribadah, dan banyak nasihat lainnya termasuk harus mampu menjaga barang sediri, mencuci baju sendiri, makan teratur pada jamnya dan lain-lain. 

Ketika santri mengikuti dengan baik, maka kepribadiannya sebagai santri akan terbentuk dengan baik. Lain halnya santri yang sering melanggar karena tidak disiplin, ego atau malas, maka pembentukan kepribadiannya kan tertunda. Namun seiring waktu akan terwujud juga dengan bimbingan kiai dan ustaznya.

Sekelumit ungkapan di atas tidak mejadi persoalan bagi calon santri dan calon wali santri untuk memilih pondok pesantren sebagai tempat belajar jika ada sanak famili, kerabat, teman atau mitra orang tuanya yang sudah mengalami memondokkan anaknya di pesantren. 

Berbeda dengan yang minim pegalaman dan informasi tentang santri dan pesantren, tentu orang tua akan memantapkan dirinya sebelum meyakinkan anaknya bahwa pesantren adalah pilihan yang baik untuknya belajar. Hingga anaknya yakin dan mau nyantri di salah satu pondok pesantren.

Inilah tahapan berat dalam proses nyantri. Pada tahap awal calon santri merasa berat untuk memutuskan apakah memilih untuk belajar di pondok pesantren atau memilih sekolah yang tidak berasrama sehingga dapat sesering mungkin berkumpul dengan orang tua dan saudara serta beramain dengan teman sekampunya. 

Pada tahap selanjutnya santri harus melalui kehidupan yang menuntut kemandirian dan kemampuan mengatur diri sendiri di bawah bimbingan kiai dan ustaz. 

Dalam proses ini ada kebersamaan, perbedaan, perselisihan bahkan lemah semangat, namun dengan tekad kuat santri bisa bangkit kembali hingga lulus menjadi alumni.

Berkiprah di Masyarakat

Selesai mengenyam pendidikan di pondok pesantren, santri meninggalkan almamaternya. Sebagai alumni, santri dibekali oleh kiainya untuk jangan lupa menerapkan ajaran dan kebiasan baik yang dilakukan selama di pondok pesanren; disiplin, beribadah, berakhlak baik dan mengabdi kepada umat.

Dalam pengabdiannya kepada umat, santri bisa menjadi apa saja sesuai bakat, minat dan peluang. Ada santri yang menjadi ulama, kiai, ustaz, dai, guru, polisi, hakim, advokat, pengusaha, dan banyak lagi profesi lainnya. Dalam semua lini, ada profesi yang diisi oleh santri.

Yang paling prinsip adalah santri bekerja dengan kesungguhan karena Allah sehingga terpancar nilai-nila pesantren dalam kinerjanya.  

Kebiasaan hidup disiplin dan menjalankan amaliyah Islam diterapakan pula dalam suasana kerjanya. Santri seperti ini mengutamakan etos kerja tinggi untuk kemaslahatan bersama.

Dalam keadaan tertentu, santri tersebut memang bukan santri yang mondok lagi di pesantren. Pakaian sarung, koko dan pakaian sehari-hari di pondok pesantren sudah berbeda dengan suasana kerja. Namun prinsip hidup sebagai santri tetap dipegang selamanya.

Itu karena sampai kapanpun santri tetaplah santri. Tidak ada istilah mantan santri walau faktanya sudah tidak nyantri di pondok pesantren lagi. Itulah sekelumit kisah, ungkapan, pernyataan dan kebanggan penulis yang pernah menjadi santri. Walaupun sudah menjadi alumni, penulis tetaplah santri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun