Mohon tunggu...
Nana Cahana
Nana Cahana Mohon Tunggu... Dosen - Menekuni literasi, pendidikan dan sosial

Mengajar Rumpun Ilmu Pendidikan di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Jawa Barat Kunjungi saya di: https://www.facebook.com/nanacahanajaya?mibextid=ZbWKwL https://www.instagram.com/nana_cahana/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cadar dalam Persilangan Budaya

24 Oktober 2019   16:10 Diperbarui: 24 Oktober 2019   16:24 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan bercadar (Foto: canva.com)

Penggunaan cadar di Indonesia semakin marak. Bersamaan dengan maraknya penggunaan cadar, pro-kontra pun muncul antara akademisi, agamawan, mahasiswa bahkan masyarakat luas. Keadaan ini memunculkan polemik berupa larangan bercadar di beberapa kampus di Indonesia. Salah satunya, pada bulan Maret 2018, pihak UIN Sunan Kalijaga mengeluarkan surat edaran yang melarang mahasiswinya memakai cadar atas alasan pencegahan ideologi anti Pancasila. Meskipun pada bulan yang sama, demi menjaga iklim akademik yang kondusif, edaran tersebut dicabut.

Sekelumit tulisan di atas adalah gambaran ekspresi keagamaan pengguna cadar dan gambaran sikap defensif pihak kampus dari kekhawatiran munculnya paham radikalisme di kampus UIN Sunan Kalijaga yang menjadi jargon toleransi. Bila ditelisik, kampus yang toleran seharusnya memberikan kebebasan kepada mahasiswanya untuk mengekspresikan keagamaannya sehingga tidak ada larangan bahkan ancaman dikeluarkan dari kampus. 

Perang wacana biasa dilakukan, maka seyogyanya ilmu dan ideologi yang ada didiskusikan secara intelektual. Siapapun bisa menjadi bagian pengembangan wacana terlepas dari apa yang dikenakan, ideologi yang dianut, orientasi seksual, bahkan kelas sosialnya. Dengan demikian, pelarangan cadar--begitu pula mewajibkan bercadar--merupakan bentuk diskriminasi dan melanggar UUD 1945 pasal 28 E ayat 1 dan 2.

Kenangan kita tentang kasus teror, bom bali dan bom bunuh diri lainnya inilah rupanya yang memunculkan stigma negatif sehingga diri ini sulit menerima fenomena bermunculannya muslimah bercadar. Betapa tidak, cadar ini lebih identik dipakai oleh istri-istri para pelaku teror di tanah air yang cenderung lebih eksklusif. 

Namun dewasa ini, fenomena baru muncul, beberapa muslimah telah sukarela memakai cadar dan mereka tetap bebas, tanpa khawatir dipandang kuno dengan balutan kain gamis dan cadar. Realitas ini - walau tidak sepenuhnya - dapat menggambarkan peningkatan ghirah keislaman di Indonesia. 

Aksi Bela Islam 212, munculnya beberapa organisasi Islam atau harakah-harakah secara massif di negeri ini seakan ada benang merahnya dengan isu-isu keagamaan dewasa ini. Hal ini bisa dikatakan menandakan geliat kebangkitan Islam kontemporer. Namun kebangkitan Islam tidak saja dilihat dari busana dan harakah yang bermunculan.

Menurut Yusuf al-Qardhawi bahwa ciri khusus kebangkitan Islam Kontemporer adalah tidak hanya sekedar bermodalkan semangat, ungkapan verbal dan slogan, melainkan kebangkitan yang benar-benar didasarkan pada komitmen terhadap Islam. 

Walaupun cadar adalah pakaian muslimah, namun pakaian ini bukan hanya menjadi simbol keislaman, namun simbol lain yang melekat dengannya. Cadar diartikan kebebasan diri dalam berekspresi, penjagaan diri dari kaum lelaki yang mengganggu, bisa pula diartikan sebagai perkembangan fashion muslimah. Namun munculnya cadar di Indonesia adalah budaya baru yang sebelumnya tidak ada dalam sejarah Indonesia. Cadar adalah bagian dari tradisi di beberapa negara Timur Tengah, Arab atau sebagian Afrika.

Jika cadar sudah dikenakan di Indonesia, maka persilangan budaya terjadi. Budaya luar masuk ke Indonesia dan dijadikan sebagai bagian dari budaya Indonesia. Tentunya dengan sentuhan dan aksen mode tertentu yang merubah pandangan bahwa warna yang digunakan muslimah bercadar hanyalah hitam dan warna gelap lainnya. Kina telah banyak muslimah bercadar yang memilih warna lebih variatif, sebab desainer baju muslimah telah membuat tren baru yang menarik. Supaya tidak gagal paham, kita sebagai muslim dan muslimah hendaknya memahami sejarah dan aturan Islam tentang cadar.

Pandangan Mazhab tentang Cadar
Pandangan tentang cadar mustahil bila tidak dikaitkan dengan persilangan budaya Timur Tengah dan Indonesia. Memahami peraturan pemakaian cadar dari beberapa mazhab (aliran atau pendapat intelektual Islam) adalah langkah awal yang tak bisa dihindari. Hal ini disebabkan pandangan mazhab adalah pandangan refresentasi ulama yang sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah SAW.

Empat mazhab yang utama, yakni mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, dan Hambali sering dijadikan rujukan keilmuan dan sumber hukum dalam Islam. Di antara keempatnya, perintah yang mewajibkan atau menyuarakan dengan 'keras' pemakaian cadar adalah mazhab Hambali. 

Sementara mazhab Syafi'i dan Maliki, memberi hukum Sunnah (dikerjakan dapat pahala, ditinggalkan tak berdosa), bahkan mazhab Maliki berpendapat bahwa menutup wajah hingga tersisa mata, merupakan perbuatan berlebihan (ghuluw).

Perbedaan pandangan antara mazhab tersebut, menurut Portal NU, dipengaruhi oleh cara penerjemahan teks ayat dan hadits yang berbeda. Dibandingkan dengan mazhab lainnya, mazhab Hambali memang memiliki hukum penerjemahan yang skriptual, ketat, dan konservatif. Ini pula yang disebutkan dalam buku Zaadul Maasir yang ditulis oleh Imam Abdul Faroj Al-Jauzi. Maka tak heran, pemakaian cadar dalam pandangan mazhab Hambali diwajibkan.

Dalam Islam sendiri seluruh tubuh muslimah selain muka dan telapak tangan dianggap aurat yang harus ditutupi. Islam memerintahkan muslimah menutup aurat sebagaimana perintah Allah S.W.T yang terdapat dalam surat Annur ayat 31, Al Araf ayat 31, Al Ahzab ayat 59. Namun begitu, penggunaan cadar, hukumnya lebih banyak diatur oleh mazhab dan hingga saat ini, masih banyak diperdebatkan oleh pakar Islam.

Selain masih diperdebatkan, penggunaan cadar yang hanya menyisakan kedua mata saja, oleh beberapa kalangan dianggap sebagai bentuk infiltrasi budaya Timur Tengah. Sumanto Al Qurtuby, pengajar Antropologi di Universitas King Fahd Arab Saudi, termasuk salah satu yang meyakininya.

Menurutnya, dalam portal pinterpolitik.com, penggunaan cadar (niqab dan burqa) lahir dari budaya dan kondisi sosial Timur Tengah, jauh sebelum kelahiran Islam. Di Arab sendiri, misalnya, penggunaan cadar dipakai oleh berbagai umat agama tak hanya Islam. Agama lain juga menggunakannya, seperti Kristen Koptik, Katolik, Yahudi, hingga Buddha. Dengan demikian, cadar atau penutup wajah, tidak bisa begitu saja diartikan mewakili moralitas yang baik, kedewasaan, atau kualitas iman seseorang.  

Sementara itu, masih dalam portal pinterpolitik.com, Abdul Mun'im Kholil, jurnalis Indonesia yang bekerja di Mesir, bercerita bila muslimah yang ditemuinya di Mesir memakai cadar karena fungsinya, yakni melindungi dari debu dan supaya tak diganggu oleh lelaki. Abdul jarang menemukan perempuan Mesir bercadar atas alasan ideologi atau seperti yang diwajibkan oleh mazhab Hambali.

Cadar sebagai Warisan Tradisi Pra-Islam
Setuju ataupun tidak cadar hanyalah bagian dari tradisi di beberapa negara Timur Tengah, Arab atau sebagian Afrika. Pakaian sejenis jilbab dan cadar juga tidak hanya menjadi busana kaum Muslimah, tapi juga menjadi busana bagi sebagian kaum Yahudi,27 Nasrani (Koptik di Mesir), Sikh, dan Hindu, malah cadar ada yang dipakai oleh kaum lelaki (Suku Arab Tuareg). 

Jika jilbab dimaksudkan sebagai penutup kepala sampai tubuh perempuan, maka jilbab sudah dikenal sebelum adanya agama-agama Samawi. Bahkan pakaian seperti ini--menurut K. Daud (2018) dalam prosiding Tren Jilbab Syar'i dan Polemik Cadar--sudah menjadi wacana dalam hukum-hukum positif kuno. Misalnya Code Bilalama  (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). 

Menurut Atiyah Saqor, dosen di Universitas Al-Azhar, bukan sekedar penutup kepala yang dikenakan pada para perempuan merdeka di beberapa peradaban kuno itu tetapi juga diwajibkan ber-niqab (bercadar). 

Ketentuan penggunaannya juga sudah dikenal di Babilonia, Mesopotamia dan Asyiria, yakni dalam papan-papan terdapat peraturan niqab. Bagi perempuan terhormat wajib menggunakan niqab di ruang publik, sebaliknya, hamba wanita dan pelacur tidak boleh menggunakannya. Namun jika  keduanya memakai jilbab akan dikenakan hukuman berat ke atasnya. 

Hukuman itu berupa merekah telinga hamba dan menyabet pelacur 50 kali serta menuangkan aspal panas di kepalanya. Demikian pula di beberapa kota penting  di zaman Romawi dan Yunani juga sudah menggunakan kostum yang menutupi seluruh tubuh wanita.

Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, jalur perdagangan antara pulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi tempat pelarian alternatif dari daerah yang bertikai. Dampaknya kemudian terjadi globalisasi peradaban secara besar- besaran ketika itu. 

Budaya Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasanid ikut  menyentuh wilayah Arab yang sebelumnya merupakan geokultural tersendiri. Menurut Nasaruddin Umar, tradisi jilbab dan harem (seclusion of women) bukan tradisi asli bangsa Arab, bahkan dahulu bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. 

Jilbab yang semula tradisi Mesopotamia-Persi dan harem merupakan tradisi Hellenistik-Byzantium, menyebar menembus batas geokultural. Barangkali sebab itulah institusionalisasi jilbab dan harem mengkristal. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized) menjadi pakaian bagi perempuan Islam.

Cadar: Syariat Islam atau Budaya Arab
Menggunakan cadar dan amaliah lainnya, jika diniatkan untuk ibadah, maka akan bernilai ibadah. Hal ini sesuai kaidah innamal a'malu binniyah wa innama likulli mri in ma nawa (Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat. Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan tergantung pada niatnya). Namun yang menjadi pembicaraan disini dari sisi fiqih apakah bercadar merupakan syariat Islam atau hanyalah budaya Arab?

Jawaban atas pertanyaan ini tidaklah sederhana. Jika ditarik ke masa pras Islam maka jilbab dan cadar adalah budaya kuno yang digunakan pada zamannya. Maka cadar bukan dari Arab. Justeru Arab mengadopsi pakaian ini menjadi budaya Arab. Adapun jika ada yang berpendapat bahwa cadar adalah syariat Islam adalah karena ekspresi keislamannya yang menuntunnya untuk mengatakan bahwa cadar adalah syariat Islam.

Perbincangan berlanjut menuju pernyataan bahwa agama harus menjadi ordinat dan budaya adalah subordinat. Agama berasal dari Tuhan, maka harus membentuk dan menentukan nilai atas budaya yang merupakan ciptaan manusia. Pada wilayah ini, tidak sulit disepakati. Hal yang menjadi sumber perdebatan adalah pada wilayah artikulasi.

Maka yang terjadi sebenarnya saling kompetisi antara satu versi budaya dengan versi lainnya pada masing-masing kelompok yang kadang berbeda. Sayangnya, perbedaan artikulasi itu seringkali dipandang sebagai pertentangan, bahkan mengatakan Arab adalah pusat Islam, apa yang berasal dari Arab adalah representasi Islam. Klaim seperti ini muncul dari pemahaman tentang hubungan kebudayaan pusat (center) atau induk dan kebudayaan pinggiran (periphery) atau turunan. 

Arab sendiri adalah sebuah konteks budaya yang tidak tunggal. Semestinya dipilah mana yang merupakan ajaran Islam, mana budaya Arab yang terakulturasi sebagai ajaran Islam, dan mana budaya Arab yang merupakan praktik masyarakat umum dan tidak ada kaitan sama sekali dengan Islam. 

Apa yang terjadi kini adalah ada pertentangan cara pandang. Mereka yang memakai cadar menggunakan argumentasi fiqih dan syar'i, sehingga yang muncul adalah kesimpulan boleh dan tidak boleh, halal dan haram, atau syar'i dan tidak syar'i. 

Lebih dari itu, karena cadar dianggap sebagai ekspresi dari syariah yang benar, maka ia harus ditegakkan, betapapun berisiko menabrak nilai masyarakat lokal yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip syariah tadi.

Sebaliknya, penentang cadar melihatnya dari aspek konteks budaya dan etika sosial. Tidaklah etis, kira-kira demikian argumen itu berkembang, memakai pakaian yang tak sejalan dengan kondisi masyarakat, betapapun itu atas nama agama. Ya, karena bagi kelompok yang kritis pada pemakaian cadar, agama dianggap memiliki kelenturan berdialektika, mengalami akulturasi dan akomodasi dengan budaya lokal, tanpa harus meninggalkan inti agama yang paling mendasar (geotimes.co.id).

Inilah sebenarnya fenomena persilangan budaya yang harus dipahami dengan matang. Dengan begitu satu pihak yang memandang cadar adalah syariat Islam tidaklah memaksakan pendapatnya bahwa dirinya paling benar. 

Sementara yang tidak mengenakan cadar berupaya menghormati keputusan seseorang untuk mengenakan cadar sebagai busananya. Jika dua pihak yang berbeda pilihan saling memahami dan menghargai maka keharmonisan hidup dan kedamaian beragama akan terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun