Pesatnya perkembangan teknologi saat ini membuat publik semakin mudah dalam mengakses berbagai macam informasi dan berita hanya dalam satu genggaman tangan. Media sosial menjadi ruang bagi masyrakat untuk berinteraksi, bertukar informasi, dan membentuk opini. Namun, dibalik dinamika sosial yang terlihat bermanfaat ini, terdapat ancaman tersembunyi yang berpotensi mempengaruhi sudut pandang jutaan orang secara masal dengan adanya penyebaran hoax dan disinformasi melalui salah satu platform media sosial terbesar di dunia yaitu Facebook.
Facebook merupakan sebuah platform media sosial yang paling populer di dunia. Media sosial ini awalnya dibuat untuk berinteraksi dengan teman, keluarga, dan lain sebagainya. Di Facebook, para pengguna bisa berbagi foto, video, status, serta mengomentari unggahan
orang lain. Tidak hanya itu, media sosial ini juga menyajikan berbagai fitur lain seperti grup
ataupun market place yang memungkinkan penggunanya terlibat dalam komunitas dengan
minat yang sama, mencari informasi, hingga melakukan transaksi jual beli.
Seiring berkembangnya zaman, tentunya Facebook tidak hanya sebagai sarana komunikasi,
tetapi juga menjadi tempat dimana informasi tersebar dengan sangat cepat. Karena akses
informasi yang sangat luas ini, Facebook menjadi salah satu sumber berita dan informasi
utama bagi banyak orang.
Namun sayangnya, tidak semua informasi yang beredar di Facebook akurat atau dapat
dipercaya. Karena siapapun bisa membagikan konten di platform ini, berita palsu, hoax, dan
disinformasi sering kali ikut tersebar. Hal ini diperburuk dengan algoritma pada aplikasi
tersebut, dimana aplikasi Facebook cenderung menampilkan konten berdasarkan minat dan
interaksi para penggunanya, sehingga informasi yang keliru bisa tersebar dengan sangat cepat jika berhasil menarik perhatian banyak orang.
Hoax dan disinformasi sendiri merupakan dua istilah yang sering kali digunakan secara bergantian, tetapi memiliki makna yang cukup berbeda. Hoax merujuk pada informasi yang
salah serta dibuat dengan sengaja untuk menipu atau membingungkan para penerima informasi. Biasanya, hoax dirancang agar terlihat meyakinkan dan seringkali mengandung
unsur sensasional dan bertujuan untuk memanipulasi emosional pembacanya seperti
kemarahan, ketakutan, atau rasa ingin tahu, sehingga memberikan motivasi pembaca untuk
membagikan informasi tersebut tanpa mencari tahu ataupun memverifikasi kebenarannya.
Hasil penelitian (Majid, 2019) menunjukan bahwa terdapat sebanyak 170 juta masyarakat
Indonesia memiliki minimal satu ponsel pribadi, sehingga masyarakat dapat menerima
beragam informasi dengan cepat dan mudah. Pada jurnal tersebut juga megungkapkan bahwasannya fenomena berita hoax saat ini sangat mengkhawatirkan masyarakat. Banyak
sekali berita yang beredar tanpa kejelasan, seperti informasi tentang seseorang yang dikabarkan meninggal padahal orang tersebut masih hidup. Selain itu, ada juga berita tentang konflik agama yang membuat warga resah, tetapi kenyataannya berita-berita tersebut tidak memiliki sumber yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Disinformasi, di sisi lain, adalah informasi palsu atau menyesatkan yang disebarluaskan untuk tujuan tertentu, seperti mempengaruhi opini publik, menyebabkan kebingungan, atau
merusak reputasi seseorang atau kelompok. Disinformasi seringkali digunakan sebagai alat
kampanye politik dan upaya untuk menimbulkan ketegangan sosial. Dalam konteks ini, disinformasi tidak hanya mencakup berita palsu tetapi juga penyebaran informasi yang
menyesatkan atau benar yang keluar dari konteksnya. Adapula penelitian dari (Nurrahmi &
Syam, 2020) menyoroti tingginya intensitas misinformasi dan disinformasi terkait Covid-19
yang tersebar di platform seperti Facebook, X, dan WhatsApp, terutama pada bulan Maret
hingga Mei 2020. Hal ini menunjukan bahwa disinformasi yang muncul di Facebook dapat
berdampak signifikan terhadap pemahaman dan respons masyarakat terhadap isu-isu krusial.
Penyebaran hoax dan disinformasi di Facebook sering kali sulit dikendalikan karena dua alasan utama, yaitu adanya karakteristik media sosial yang memungkinkan informasi menyebar secara cepat dan luas, serta minimnya literasi digital pengguna. Terutama pada masyarakat yang lahir pada tahun 1946 hingga 1964 dan kerap kali disebut sebagai generasi Baby Boomers. Generasi baby boomers sendiri merupakan kelompok usia yang tidak tumbuh bersama dengan teknologi digital seperti generasi milenial atau generasi z. Dari hasil studi yang dilakukan oleh (Dzakwan, Pasaribu, & Gunawan, 2023) menemukan bahwa generasi baby boomers cenderung mengkonsumsi informasi yang salah untuk diri mereka sendiri dan jarang memeriksa ulang informasi yang salah dengan sumber lain. Mereka hanya melakukan
pemeriksaan ketika mereka secara tidak sengaja mempublikasikan informasi dari sumber
lain. Generasi baby boomers juga kesulitan membedakan informasi yang salah dan benar.
Sehingga penyebaran misinformasi terjadi ketika informasi diterima dari sumber yang tidak
dapat diandalkan. Dalam studi tersebut juga menuliskan bahwa sifat acuh mengabaikan
kredibilitas sumber merupakan bentuk rendahnya literasi digital kaum baby boomers.
Narasi yang disampaikan pada aplikasi yang cukup populer di kalangan baby boomers ini
biasanya menyentuh isu-isu seperti nasionalisme, agama, atau pandangan politik. Tak jarang,
mereka mendapatkan berita dari akun atau grup yang menyebarkan informasi keliru. Hal ini
berdampak, hoax ataupun disinformasi dapat menyebar luas dan memperkeruh suasana.
Situasi ini menjadi semakin rumit karena ada oknum-oknum yang dengan sengaja
memanfaatkan kelemahan ini.
Para pelaku penyebaran hoax sering menggunakan berbagai cara untuk menjangkau lebih banyak orang di Facebook. Salah satu cara yang umum adalah membuat konten dengan judul yang menarik perhatian atau clickbait. Judul seperti "Fakta Baru Terungkap tentang ..." atau
"Ini Kebenaran yang Selama Ini Disembunyikan..." dirancang untuk menggugah rasa ingin tahu para pengguna dan mendorong mereka untuk mengklik dan membagikan konten itu, bahkan sebelum mereka membaca isinya.
Strategi lain yang sering dipakai adalah memanfaatkan testimoni yang tidak benar, data yang sudah dimanipulasi, atau mencantumkan nama tokoh terkenal agar terlihat seolah-olah informasi hoax tersebut benar. Dengan menyusun narasi yang emosional, mereka membuat
pengguna cepat percaya tanpa merasa perlu memeriksa kebenaran informasi tersebut.
Selain itu juga sering disebarkan melalui akun-akun palsu atau bot yang sengaja dibuat untuk menyebarkan informasi tertentu. Akun-akun ini biasanya beroperasi dalam jumlah besar,
meniru perilaku pengguna asli, dan aktif berinteraksi di berbagai grup Facebook. Tindakan
ini bertujuan untuk menciptakan kesan bahwa informasi tersebut sudah banyak dibicarakan
dan diterima oleh banyak orang, sehingga memunculkan efek bandwagon, di mana semakin
banyak orang yang terpengaruh. Bandwagon sendiri adalah istilah yang digunakan untuk
menjelaskan situasi di mana seseorang cenderung mengikuti atau mendukung sesuatu hanya
karena melihat banyak orang lain melakukan hal yang sama. Sederhananya, fenomena ini
bisa digambarkan sebagai "ikut-ikutan" tanpa benar-benar memahami alasan di balik
keputusan tersebut.