Tidak sedikit yang iri dengan popularitas Jokowi, sebagai imbas dari jurus blusukan yang sering dipraktekkannya itu. Saking terkenalnya, pihak yang tak suka itu menuduh, blusukan nya itu cuma untuk cari sensasi, demi pencitraan diri. Padahal, dari yang kita dengar pula, bahwa Jokowi melakuan itu demi untuk mengetahui keadaan sebenarnya di lapangan.
Tanggal 20 Juni lalu saya sempat membaca sebuah tulisan di Kompasiana ini dengan judul: Blusukan Itu Miliknya Jokowi Ya? (politik.kompasiana.com/2014/06/20/blusukan-itu-miliknya-jokowi-ya-659786.html).
Dari judul itu kita dapat memahami bahwa, blusukan memang seolah-olah sudah menjadi brand-nya Jokowi. Padahal di belahan lain di negeri ini toh ada juga kepala daerah yang rajin melakukan blusukan.
Tetapi mengapa hanya Jokowi yang mengemuka? Tentu saja tak bisa disangkal, bahwa itu semua akibat peran media, yang, dari kacamata orang seberang Jokowi menyebutnya sebagai yang sangat berlebihan. Yang, efeknya, menjadikan Jokowi sebagai "tertuduh" kasus pencitraan.
Dalam balasannya atas komentar saya,penulis tersebut menuliskan: haha...banyak kok pejabat lain, seperti ibu risma... diliput media itu kan bayar, kalau diliput sekali saja mungkin ngga bayar tapi kalau sering-sering tidak mungkin gratisan. Toh bertitanya hanya seputar blusukan, pasti kalau terlalu sering bukan jadi berita yang wah lagi.
Saya jadi berfikir, mungkinkah media-media yang meliput blusukan Jokowi itu memang sengaja dibayar?
Sebab seperti yang sering kita dengar, sebuah berita akan segera tidak "fresh" lagi alias akan segera basi. Kejadian apa pun tak dapat menolak takdir kebasiannya. Seheboh apa pun suatu peristiwa, di tangan berita, akan segera menemui ajalnya. Paling sanggup bertahan dua atau tiga kali "naik" saja. Tetapi mengapa dengan blusukan Jokowi? Kok seperti tidak ada masa basinya?
Berikutnya, saya punya almarhum Ayah, yang karena tugasnya semasa hidup, sering juga berurusan dengan wartawan. Untuk berita yang "merugikan", supaya tidak "diangkat"Â wartawan itu biasanya meminta "sesuatu". Sebaliknya, supaya "kerja positif" almarhum ayah saya itu bisa "dinaikkan", pun harus memberikan sesuatu juga.
Mungkinkah pengalaman almarhum ayah saya itu juga dialami oleh Jokowi? Apakah supaya detik-detik beliau masuk got itu bisa dinaikkan oleh media, untuk diketahui oleh masyarakat, Jokowi juga harus memberikan sesuatu? Bukannya media-media itu sendiri yang mengatakan kalau mereka tidak dapat menerima apa pun untuk suatu peliputan?
Saya kira, anggapan-anggapan seperti ini memang perlu dikonfirmasi ke media( elektronik, cetak, online, dsb) oleh yang menuduhkannya. Supaya kita tau kebenarannya. Terlebih  kepada pihak seberang Jokowi, yang terlanjur menuduhnya pencitraan. Siapa tau memang betul adaya, dan Jokowi bisa kehilangan pamornya, dan Jokowi akhirnya kalah dalam Pilpres, seperti yang dicita-citakan dari semula. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H