Mohon tunggu...
Namira Aminatuzahra
Namira Aminatuzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030040)

Beginner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Usaha Batu Bata Tetap Eksis di Tengah Pandemi

21 Juni 2021   18:40 Diperbarui: 21 Juni 2021   20:24 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi Covid-19 yang telah mewabah sejak akhir tahun 2019 kemarin hingga saat ini memang sangat berdampak bagi Indonesia bahkan juga seluruh dunia. Seperti kita ketahui dampak dari wabah Covid-19 ini sangat berpengaruh pada berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah aspek perekonomian. Gejolak ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 ini juga turut menghantam Indonesia. 

Di mana banyak perusahaan yang merumahkan karyawan-karyawannya, pembatasan sosial berskala besar yang mengharuskan masyarakat untuk tetap di rumah juga merupakan salah satu faktor banyaknya pelaku bisnis yang menurun pendapatannya hingga harus gulung tikar. Memang, bagi sebagian orang wabah Covid-19 ini menjadikan kesulitan untuk mendapatkan penghasilan.

Di lain sisi, terdapat usaha yang masih bisa bertahan di tengah wabah Covid-19 ini, salah satu usaha yang tetap bertahan meski diterpa pandemi Covid-19 adalah usaha batu bata merah. Batu bata merah merupakan salah satu bahan bangunan yang umum digunakan dalam pembuatan bangunan maupun rumah. Sudah sejak lama, batu bata menjadi bisnis yang cukup menggiurkan, terlebih saat ini makin maraknya pembangunan menjadikan batu bata banyak dicari.

Salah satu usaha batu bata merah yang cukup terkenal yakni berada di Kabupaten Batang, tepatnya di Dukuh Mijen, Desa Pesaren, Kecamatan Warungasem. Ketersediaan sumber daya yang melimpah merupakan salah satu faktor banyaknya masyarakat di desa ini menjalankan UMKM batu bata. Menyinggung sedikit mengenai UMKM, dilansir dari Tribunnews.com bahwa sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ternyata memiliki kontribusi yang cukup besar, yaitu 60,3% dari total produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Ketika ditemui, Daryono (58 tahun) saat itu tengah mencetak bata dari tanah liat. Ia merupakan salah satu pengrajin batu bata merah yang ada di Desa Pesaren. Menurut penuturannya, usaha batu bata ini telah ia jalani hampir lebih dari sepuluh tahun lamanya. Saat ini, Daryono dan dua karyawannya tengah memproduksi batu bata sebanyak 20.000 buah, pesanan milik tetangganya yang sedang membangun rumah.

“Alhamdulillah, di masa pandemi seperti sekarang ini, pemasaran batu bata merah masih bertahan untuk mendukung pembangunan proyek infrastruktur. Seperti rumah, gedung, pagar atau pondasi. Ketika ada yang perlu bata, biasanya orang-orang akan langsung menemui saya. Ada juga yang dari depot, sudah biasa langganan, kalau sudah siap kirim saya langsung bawa ke sana atau bisa juga diambil sendiri di sini, tergantung permintaan pembeli." Kata Daryono.

Menurut penuturan Daryono, wabah Covid-19 tidak memiliki pengaruh dalam menjalankan usaha produksi batu batanya. Dalam sehari, produksi batu bata yang dikerjakan bisa mencapai lebih dari 500 biji per orangnya. Baginya, terjadinya pandemi seperti sekarang ini tidak terlalu memberi dampak yang signifikan.

Untuk proses pembuatan batu bata, Daryono sengaja memilih tanah lapang yang posisinya lebih tinggi dan agak jauh dari pemukiman. Hal ini dilakukan agar tidak merusak lingkungan sekitar dan membahayakan warganya. Proses pembuatan batu bata masih dikerjakan secara manual dan tradisional. Cara pembuatan batu bata merah ini ternyata tidak terlalu mengalami perubahan dari dulu hingga sekarang.

Proses awal pengerjaan batu bata yaitu pertama-tama, tanah yang sudah tercampur dengan abu dedak dibasahi dengan air hingga menjadi adonan liat. Adonan tanah liat basah kemudian dipadatkan dan dicetak. Pencetakan batu bata dilakukan secara manual menggunakan cetakan yang terbuat dari kayu. 

Setelah tercetak, adonan tersebut diangin-anginkan sampai setengah kering, kemudian dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. Batu bata yang sudah kering kemudian dibakar hingga matang, batu bata yang matang biasanya ditandai dengan warna oranye kemerahan. 

Menurut penuturan Daryono, proses pembakaran batu bata ini menghabiskan waktu yang cukup lama, yaitu sekitar dua hari satu malam. Hal itu dilakukan karena semakin lama proses pembakarannya akan semakin matang batu bata. Sehingga, nantinya menghasilkan batu bata yang berkualitas bagus dan memiliki daya kekuatan yang baik pula.

Batu bata yang sudah matang tersebut harus melalui proses pendinginan terlebih dahulu sebelum nantinya dikirim atau dipasarkan. Batu bata hasil produksinya biasanya dipatok dengan harga mulai Rp 700 bila di hari-hari biasa. Ia juga menambahkan, pada masa Covid-19 batu bata hasil produksinya selalu habis terjual, bahkan beberapa kali mengalami peningkatan dari yang biasanya hanya mentok di harga Rp 700 menjadi naik sebesar Rp 800 per bijinya. Kemudian, hasil keuntungan penjualannya ia bagi dengan para karyawannya sebanyak 25%.

dokpri
dokpri
"Batu bata hasil produksi saya biasanya saya pasarkan di daerah lokal sekitar Batang-Pekalongan saja. Meski di sini juga banyak yang produksi bata, saya bersyukur pelanggan masih banyak yang beli di tempat saya. Kalau zaman sekarang kan sudah canggih, media sosial bisa dijadikan tempat promosi, harapan saya ke depannya saya mau coba manfaatin media sosial untuk memasarkan bata. Sebetulnya, saya kurang ngerti kalau soal teknologi, tapi nanti bisa dipandu sama anak saya” Tuturnya.

"Enggak enaknya kalau lagi musim hujan. Produksi batu bata terpaksa harus dikurangi, bahkan waktu itu sampai pernah berhenti karena diguyur hujan berhari-hari. Biasanya, sih kalau musim hujan kami cuma bisa bakar dua bulan sekali. Memang, produksi batu bata sangat tergantung dengan kondisi cuaca.” Tambahnya.

Dapat diartikan bahwa produktivitas batu bata ketika musim kemarau akan lebih banyak dibanding ketika musim hujan. Dijelaskan olehnya, meski di masa pandemi Covid-19 ia tetap bertahan menekuni usaha produksi batu bata, di mana sistem pengerjaannya juga tidak berkumpul dengan banyak orang. Di samping itu, permintaan akan batu bata selama pandemi ini juga tetap stabil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun