Mohon tunggu...
Namira Aminatuzahra
Namira Aminatuzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030040)

Beginner

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bincang Buku "Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta" Karya Alvi Syahrin

24 Mei 2021   19:45 Diperbarui: 24 Mei 2021   20:00 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Blurb

Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta, kita tak akan banyak belajar dari masa lalu. Bagaimana ia mengajari kita untuk tetap kuat ketika hati terserak. Kita tak akan menjadi tangguh.

Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta, mungkinkah kita bisa lebih menghargai diri sendiri dengan melepaskan dia yang selalu menyakiti?

Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta, akankah kita pernah merasa berharganya waktu bersama dengan seseorang yang kita cinta?

Terkadang cinta memang sakit dan rumit. Namun, bisa pula membuat bahagia dan senyum yang tidak ada habisnya. Keduanya bersimpangan, tetapi pasti kita rasakan.

Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta dituliskan untukmu yang pernah merasa terpuruk karena cinta, lalu bangkit lagi disebabkan hal yang sama.

Hidup tak selalu tentang dia yang kamu cintai. You have your own life, and it doesn’t always have to do anything with him.

Tentang Buku

Saat melihat uraian pada sampul belakang buku tersebut, membuat saya langsung tertarik untuk membaca buku ini. Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta merupakan salah satu novel self improvement karya Alvi Syahrin.  Sedikit menyinggung penulis, Alvi Syahrin merupakan salah satu penulis terkenal di Indonesia yang tiap tulisannya mampu membuat saya jatuh cinta. Pemuda kelahiran 1992 ini mulai menulis buku sejak 2012 dan pada 2016, ia mulai menulis di platform digital lewat akun sosial medianya di Instagram, Wattpad, dan Twitter.

Buku berjudul “Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja” karangan Alvi Syahrin ini diterbitkan pada tahun 2018 oleh penerbit Gagasmedia. Buku ini terdiri dari 223 halaman, di mana buku ini adalah seri kedua setelah sebelumnya penulis menerbitkan buku “Jika Kita Tak Pernah Jadi Apa-Apa”.

Buku ini mengulas tentang suatu cerita yang menurut saya sangat relate perihal kehidupan percintaan yang hampir dialami oleh semua orang. Penulis dalam buku ini, lewat sudut pandang orang ketiga menceritakan mengenai perjalanan cinta yang kita alami dari sejak remaja sampai dewasa. Buku ini juga mengulas mengenai seberapa penting cinta bagi kehidupan kita. Buku karangan Alvi Syahrin ini sangat cocok dibaca ketika kalian mungkin memiliki permasalahan terkait cinta kalian, buku ini bisa menjadi solusi. Tetapi, juga tidak menutup kemungkinan bagi kalian yang sedang baik-baik saja untuk membaca buku ini. Karena, sejujurnya buku ini sangat membantu saya berpikir lebih terbuka terkait cinta dan segala problematikanya, banyak pelajaran yang bisa saya ambil tentunya setelah membaca buku ini. Tidak hanya membahas persoalan cinta, buku ini juga menyinggung tentang bagaimana sih berdamai dengan diri sendiri itu.

Mengapa kamu tidak membawa hatimu sendiri dan meletakannya ke dalam dirimu? Mengapa kamu tidak menyimpan hatimu ke tempat semula dan membawanya pergi mengejar mimpi-mimpi yang lebih tinggi dari langit? Mengapa kamu tak menjaga hatimu dan menyandarkannya pada sesuatu yang lebih pasti?

Saya merasa relate dengan satu kisah yang diceritakan oleh penulis. Satu paragraf di atas sukses menghantam saya yang pada saat itu masih dalam kondisi berharap dengan seseorang. Bahwa sesungguhnya menggantungkan harapan kepada seseorang itu hanya menimbulkan patah hati dan kecewa. Jangan menyalahkan orang lain, tetapi cobalah untuk mengintropeksi diri. Kalimat motivasi itu muncul setelah saya menyelesaikan bab ini sekaligus memberikan saya semangat dan bangkit. Sehingga, tak melulu berlarut-larut dalam patah hati yang saya rasakan.

Ada salah satu kalimat yang mampu mengubah perspektif saya terhadap cinta, kalimat yang bisa dikatakan mampu menyadarkan saya, kalimat yang menjadi jawaban atas keresahan yang saya alami selama ini. Kalimat itu adalah 

Bukan berarti kita tidak butuh cinta. Bukan berarti kita tidak butuh pendamping. Kita butuh cinta. Kita butuh pendamping. Tetapi, dengan porsi yang tepat. Lalu, bagaimana mengukur porsi yang tepat itu?

Penulis mengatakan bahwa setiap orang punya perspektif masing-masing. Sepanjang buku ini penulis selalu menyarankan untuk selalu berdoa kepada Tuhan. Menurut penulis, ukuran porsi yang tepat dan yang paling objektif bukanlah perspektif-perspektif manusia, melainkan aturan Tuhan.  

Berdoalah. Sisihkan perasaan tapi-aku-lebih-tahu-tentang-hidupku. Kenyataannya, hidupmu berantakan tanpa orang lain tahu. Berdoalah, berdoalah, berdoalah. Mudah-mudahan Dia menunjukkanmu jalan untuk memulai, menuju jalan yang seharusnya kau tempuh. Untuk kebahagiaan yang sempurna.

Buku ini mampu dikemas dengan apik, pemilihan kalimat yang sederhana membuat pesan yang ingin disampaikan penulis tersampai dengan jelas kepada pembaca. Tanpa bersifat menggurui, buku ini mengajarkan tentang bagaimana mengukur perasaan dengan tepat. Dari buku ini saya bisa mengambil hikmah bahwa sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang sempurna, tidak ada yang salah dengan yang namanya jatuh cinta, kurangi ekspektasi dan cobalah untuk intropeksi mulai dari diri sendiri. Dengan begitu, kita diharapkan dapat memiliki porsi kehidupan yang seimbang tanpa berlebihan dalam mengartikan cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun