Buku ini mengulas tentang suatu cerita yang menurut saya sangat relate perihal kehidupan percintaan yang hampir dialami oleh semua orang. Penulis dalam buku ini, lewat sudut pandang orang ketiga menceritakan mengenai perjalanan cinta yang kita alami dari sejak remaja sampai dewasa. Buku ini juga mengulas mengenai seberapa penting cinta bagi kehidupan kita. Buku karangan Alvi Syahrin ini sangat cocok dibaca ketika kalian mungkin memiliki permasalahan terkait cinta kalian, buku ini bisa menjadi solusi. Tetapi, juga tidak menutup kemungkinan bagi kalian yang sedang baik-baik saja untuk membaca buku ini. Karena, sejujurnya buku ini sangat membantu saya berpikir lebih terbuka terkait cinta dan segala problematikanya, banyak pelajaran yang bisa saya ambil tentunya setelah membaca buku ini. Tidak hanya membahas persoalan cinta, buku ini juga menyinggung tentang bagaimana sih berdamai dengan diri sendiri itu.
Mengapa kamu tidak membawa hatimu sendiri dan meletakannya ke dalam dirimu? Mengapa kamu tidak menyimpan hatimu ke tempat semula dan membawanya pergi mengejar mimpi-mimpi yang lebih tinggi dari langit? Mengapa kamu tak menjaga hatimu dan menyandarkannya pada sesuatu yang lebih pasti?
Saya merasa relate dengan satu kisah yang diceritakan oleh penulis. Satu paragraf di atas sukses menghantam saya yang pada saat itu masih dalam kondisi berharap dengan seseorang. Bahwa sesungguhnya menggantungkan harapan kepada seseorang itu hanya menimbulkan patah hati dan kecewa. Jangan menyalahkan orang lain, tetapi cobalah untuk mengintropeksi diri. Kalimat motivasi itu muncul setelah saya menyelesaikan bab ini sekaligus memberikan saya semangat dan bangkit. Sehingga, tak melulu berlarut-larut dalam patah hati yang saya rasakan.
Ada salah satu kalimat yang mampu mengubah perspektif saya terhadap cinta, kalimat yang bisa dikatakan mampu menyadarkan saya, kalimat yang menjadi jawaban atas keresahan yang saya alami selama ini. Kalimat itu adalahÂ
Bukan berarti kita tidak butuh cinta. Bukan berarti kita tidak butuh pendamping. Kita butuh cinta. Kita butuh pendamping. Tetapi, dengan porsi yang tepat. Lalu, bagaimana mengukur porsi yang tepat itu?
Penulis mengatakan bahwa setiap orang punya perspektif masing-masing. Sepanjang buku ini penulis selalu menyarankan untuk selalu berdoa kepada Tuhan. Menurut penulis, ukuran porsi yang tepat dan yang paling objektif bukanlah perspektif-perspektif manusia, melainkan aturan Tuhan. Â
Berdoalah. Sisihkan perasaan tapi-aku-lebih-tahu-tentang-hidupku. Kenyataannya, hidupmu berantakan tanpa orang lain tahu. Berdoalah, berdoalah, berdoalah. Mudah-mudahan Dia menunjukkanmu jalan untuk memulai, menuju jalan yang seharusnya kau tempuh. Untuk kebahagiaan yang sempurna.
Buku ini mampu dikemas dengan apik, pemilihan kalimat yang sederhana membuat pesan yang ingin disampaikan penulis tersampai dengan jelas kepada pembaca. Tanpa bersifat menggurui, buku ini mengajarkan tentang bagaimana mengukur perasaan dengan tepat. Dari buku ini saya bisa mengambil hikmah bahwa sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang sempurna, tidak ada yang salah dengan yang namanya jatuh cinta, kurangi ekspektasi dan cobalah untuk intropeksi mulai dari diri sendiri. Dengan begitu, kita diharapkan dapat memiliki porsi kehidupan yang seimbang tanpa berlebihan dalam mengartikan cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H