Mohon tunggu...
Namira Aminatuzahra
Namira Aminatuzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030040)

Beginner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Toxic Positivity: Ketika Kita Dituntut untuk Selalu Baik-Baik Saja

17 Maret 2021   22:40 Diperbarui: 17 Maret 2021   23:00 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai teman, apa sih yang akan kamu lakukan ketika ada temanmu bercerita mengenai masalahnya? Respons seperti apa yang akan kamu berikan? Mungkin beberapa dari tanggapanmu akan seperti “ tetap semangat dong” atau “yaelah masih gitu doang juga” atau malah “halah, itu mah belum seberapa, aku lebih parah…” hmm, menurut kamu nih respons yang semacam itu tepat nggak sih atau justru sebaliknya? Dan buat kamu yang mempunyai masalah, apakah jawaban seperti itu justru bikin kamu kesal dan kecewa? 

Memang, jawaban positif yang kamu berikan tidak selalu menjadikan situasi juga ikut membaik,karena nyatanya tidak semua orang bisa menerima kalimat positif sebagai suatu hal yang positif. Memberi semangat atau saran yang positif juga tidak sepenuhnya salah, tapii.. pastikan kamu harus tahu betul mengenai pokok permasalahan lawan bicaramu dan tidak asal memotong pembicaraannya. 

Parahnya lagi nih, toxic positivity ini tidak hanya datang dari orang lain yang dekat dengan kita, tetapi bisa saja muncul dalam bentuk percakapan dengan diri sendiri lewat selftalk. Nah, buat kamu yang penasaran apa sih sebenarnya toxic positivity itu? apakah kamu termasuk orang dalam kategori “toxic positivity”?

Apa Itu Toxic Positivity?

Jadi, maksud dari toxic positivity adalah mengovergeneralisasikan keadaan bahagia dan optimis dalam semua situasi kehidupan secara tidak efektif, yang bertujuan untuk menyangkal atau meniadakan penderitaan dan emosi lawan bicara, dengan harapan ia menjadi positif. Sederhananya, toxic positivity ini diartikan sebagai keyakinan untuk mempertahankan pola pikir positif tidak peduli seberapa mengerikan atau sulitnya suatu situasi.

Positivity sendiri juga sering dianggap sebagai salah satu jalan menuju kebahagiaan yang diidam-idamkan seseorang. Di mana kamu selalu melihat suatu kondisi dari sisi positifnya dan berusaha menyangkal pikiran negatif yang ada di dalam dirimu. Padahal, orang yang kelihatannya bahagia pun tidak menjamin ia memiliki kestabilan mental yang baik. Tidak berarti juga positivity itu adalah jalan menuju kesuksesan yang hanya diukur lewat kebahagiaan.

Akibat anggapan seperti itu, seseorang yang terkena toxic positivity ini kerap menolak emosi negatifnya yang pada akhirnya perasaan tersebut terus menerus menumpuk dan justru meningkatkan stres. 

Padahal perasaan emosi negatif seperti rasa sedih, marah, kecewa merupakan emosi yang  wajar dan manusiawi serta berperan untuk menimbulkan kesadaran akan kondisi yang sedang dihadapi. 

Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak memberi ruang emosi negatifmu, maka akan membuat kamu tidak bisa mengenali masalahmu sendiri. Bahkan, fatalnya akan mematikan tingkat kewaspadaanmu terhadap situasi buruk yang akan menimpamu.

Kenali Tanda-Tanda Toxic Positivity

Dilansir dari laman The Psychology Group, beberapa tanda dari toxic positivity dapat dilihat seperti:

  1. Menyembunyikan atau menutupi emosi yang dirasakan
  2. Hanya ingin menikmati emosi positif dan mengabaikan perasaan yang sebenarnya
  3. Merasa bersalah ketika sudah memutuskan suatu hal
  4. Hanya berfokus memberikan dukungan-dukungan positif tanpa memahami perasaan yang tengah dihadapi oleh lawan bicara
  5. Meremehkan atau mempersekusi orang lain yang tengah mengungkapkan rasa frustasinya
  6. Menepis hal-hal yang mengganggunya dengan dalih “ini adalah apa adanya” dan bersikeras untuk menjadi kuat

Akibat Buruk dari Toxic Positivity

Toxic positivity dapat berpengaruh buruk pada mental kita, salah satu akibat dari toxic positivity ini adalah timbulnya rasa malu yang berlebihan. Memaksakan pandangan positif tentang rasa sakit berarti mendorong seseorang untuk tetap diam dan tidak menceritakan mengenai kesulitan yang sedang ia hadapi.

Sebagian besar dari kita tidak ingin terlihat buruk di mata orang lain, jadi ketika dihadapkan dengan pilihan antara “berani dan jujur” atau “berpura-pura semuanya berjalan lancar”, kita mungkin tergoda untuk memilih opsi kedua. 

Penulis dan peneliti Brené Brown mengajarkan dalam beberapa bukunya, presentasi, dan wawancara bahwa sumber energi rasa malu adalah diam, kerahasiaan, dan penilaian. Rasa malu melumpuhkan jiwa manusia dan salah satu perasaan paling tidak nyaman yang bisa kita rasakan. 

Seringkali, kita bahkan tidak tahu bahwa kita merasa malu. Salah satu petunjuk untuk mengetahuinya adalah dengan bertanya pada diri kita, "Jika mereka tahu __________ tentang saya, apa yang akan mereka pikirkan?" atau "Sesuatu yang saya tidak ingin dunia ketahui tentang saya adalah _______________." Jika kamu dapat mengisi kekosongan itu, entah itu situasi, perasaan, atau pengalaman, kemungkinan besar ada rasa malu di sekitarnya.

Jadi, sekarang setelah mengetahui bahwa dorongan positif bukanlah cara yang sepenuhnya benar untuk mengatasi saat-saat sulit, lalu bagaimana langkah selanjutnya? inilah beberapa solusi agar tidak terjerumus dalam toxic positivity:

  1. Berusaha untuk menerima emosi negatif dan positif. Ingatkan dirimu bahwa kamu mampu memegang berbagai perspektif tentang situasi yang tidak pasti atau meresahkan, bahkan saat berada di tengah-tengahnya. Bersandarlah pada hal positif dan negatif. Berusahalah untuk realistis. Jangan terlalu menekan dirimu sendiri, jika merasa lelah, terimalah dan ekspresikan rasa lelahmu itu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ford, Lam, John dan Mauss, bahwa dalam jangka panjang, penerimaan (acceptance) akan pengalaman-pengalaman negatif justru mendukung kesehatan psikologis. Apa artinya? Ketika kita bisa murni menerima perasaan negatif, tanpa perlu menghakimi, justru kita bisa meraih kesehatan psikologis yang lebih baik. Menerima apa adanya ternyata membantu kita untuk menangani stres. Hal ini karena untuk bisa sepenuhnya sehat mental, kita pun perlu punya perangkat yang memadai untuk bisa mengungkapkan emosi  dengan seluruh keberagamannya, bukan hanya yang positif saja, tetapi termasuk yang negatif. Jika kita hanya bersedia mengakui hal-hal positif, justru akan menimbulkan ketidakseimbangan mental pada diri kita.
  2. Jadilah pendengar yang baik untuk lawan bicaramu. Jika ada orang lain menceritakan mengenai hal yang membuatnya tertekan, sebenarnya hal pertama yang ia butuhkan adalah untuk didengarkan. Maka, jadilah pendengar yang baik dan berikan ruang agar ia bisa menceritakan masalahnya secara leluasa. Setelah itu, cobalah untuk berempati dan memahami kondisi yang tengah ia hadapi, barulah berikan solusi yang konkret agar ia bisa keluar dari masalahnya. Jika tidak bisa memberinya solusi, cukup dengarkan dia dan jangan sampai melontarkan dukungan palsu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun