Pesantren adalah khazanah yang memiliki kekayaan abjad. Baik abjad Indonesia, abjad arab melayu (pegon), maupun asli abjad hijaiyah. Apalagi pesantren salaf, kepulan asap dapurnya seolah seiring dengan terbukanya lembar demi lembar literatur dengan tinta hitam yang bertahta di atas kertas kuning.
Yah, kitab kuning namanya. Kitab kuning adalah batang tubuh kurikulum pesantren itu sendiri.
Kekayaan intelegensi cendekiawan muslim terdahulu memberikan aset berupa ilmu pengetahuan yang terkodifikasi dalam berjilid-jilid kitab. Funun (warna) nya pun bermacam - macam mulai dari fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, tasawuf, akhlaq, aqidah, dan sebagainya.
Urgensi pesantren di sini didesain untuk mengabadikan dan melestarikan itu semua. Oleh karena itu, pesantren akan terus menurunkan tradisi kelimuan dan akhlak kepesantrenan dari generasi ke generasi.
So, bukan berarti pesantren akan statis dan membeku disitu saja tanpa upaya menempatkan diri di tengah zaman. Melainkan akan berusaha senantiasa menjaga relevansi antara salaf dan khalaf, dulu dan sekarang.
Salah satunya dalam melestarikan kitab kuning itu sendiri. Jika dulu saat santri berdiskusi pelajaran maka harus siap sedia membawa kitab - kitab yang di pelajari, setebal apapun itu seberat apapun itu.
Mulai dari kitab matan (redaksi asli), kemudian syarah (penjelasan), tausyih (pengembangan penjelasan), dan hasyiyah (pengembangan penjelasan disertai komentar dari ulama yang kredibel).
Seperti kitab Ghayah wa Taqrib (matan), di-syarah-i menjadi kitab Fathal Qarib, kemudian diberi penjelasan lagi menjadi tausyih berupa kitab Tausyih 'Ala Ibn Qasim, kemudian dikembangkan lagi menjadi kitab hasyiyah salah satunya berjudul Hasyiyah al Baijuri. Semua itu merupakan kitab dari fan fiqih.
Ini masih satu fan saja lho... belum fan-fan yang lain beserta kitab pengembangannya. Dan perlu diingat lagi ada 4 imam mazhab yang mu'tabar. Dan setiap imam juga memiliki pandangan dan pendapat sendiri.
Berapa ribu jilid kitab yang telah di tulis oleh ribuan ulama juga?