Mohon tunggu...
Nayla I. Hisbiyah
Nayla I. Hisbiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - 🎓 2021. Dalam pengabdian.

🍁 Worship | Work | Word | Worth | World 🦩 Menulis yang terbaik dari apa yang pernah dibaca, didengar, dilihat, dan dirasa || Freelancer || Tentang Pesantren.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pubertas: Perpisahan Pertama Anak, Ayah, dan Ibu

4 Oktober 2021   18:46 Diperbarui: 4 Oktober 2021   19:02 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tumbuh kembang optimal buah hati merupakan harapan orang tua. Mulai dari saat buah hati berenang dalam rahim, berada dalam buaian, hingga ia dewasa nanti. Semua diusahakan secara maksimal oleh Ayah dan Ibu. Mulai pemenuhan nutrisi, pakaian, mainan, pendidikan, hingga melangitkan do'a setiap hari selalu diupayakan yang terbaik.

Pengalaman yang berkesan yang dilalui dalam perjalanan hidup seseorang adalah saat ia menginjak usia remaja. Jika alarm dalam tubuh telah aktif, maka pertanda "Selamat datang masa pubertas." 

Secara hormonal, dapat dikatakan buah hati berada pada masa aktifasi hormon. Semua hormon mulai bekerja dengan normal. Dari yang mulanya di masa kanak-kanak ia hanya tertarik dengan semisal makanan dan mainan. Sekarang akan muncul pada dirinya ketertarikan dengan lawan jenis.

Secara agama, masa ini disebut dengan masa baligh. Segala tanggung jawab dimata Tuhan secara penuh diembankan kepada dirinya.

Dalam Islam diistilahkan dengan nama mukallaf, orang yang sudah dikenakan taklif syari'at. Jadi, segala hukum yang berkaitan dengan ajaran agama Islam, mengenai segala kewajiban diri terkait ibadah, bahkan dosa dan pahala sudah ditanggung sendiri. 

Sebab pada masa ini secara aqliyah (akal) sudah dianggap sempurna bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Begitu pula secara usia telah baligh yang berarti telah mencapai. 

Maksudnya usia buah hati telah memasuki batas di bebankan hukum syari'at Islam. Seperti wajib shalat dan puasa, serta wajib menghindari yang haram.

Istilah yang sudah beredar dalam masyarakat, ketika anak masih belum berstatus balig, maka baik buruknya perilaku masih ditanggung orang tua. Jadi, jika anak melanggar agama, maka dosa masih dititipkan orang tua, begitupun dengan pahala yang sama-sama diterima orang tua saat buah hati berbuat kebajikan.

Peribahasa Jawa mengatakan, "anak polah bapak kepradah". Anak yang berulah, orang tua yang kena. Begitulah gambarannya.

Hal diatas memang tidak bisa dijadikan pedoman. Sebab dosa dan pahala adalah urusan Yang Maha Kuasa, Allah SWT.

Maka dari itu, masa pubertas adalah masa perpisahan pertama antara diri buah hati dan kedua orang tua. Namun bukan berarti lalu lepas landas orang tua tidak berhak terhadap buah hati, justru masa ini buah hati harus diberikan pendampingan, sebab ia ibarat tengah berada dalam kobaran api. Bukankah ini berat untuk buah hati?

Oleh karena itu, pastikan sebelum memasuki usia pubertas. Orang tua telah mendidik dengan cara yang tepat. Mulai dari saat buah hati bayi hingga menjelang remaja.

Syaikh Akram Mishbah Utsman, dalam bukunya yang berjudul Khamsa 'Isyrin Thariqah Litashna'a Min Ibnika Rajulan fadzdzan, ada 25 cara mencetak anak tangguh. Salah satunya adalah dengan mengajak buah hati menghadiri pertemuan orang dewasa. Beliau mengungkapkan kehadiran seorang anak dalam majelis orang-orang besar bertujuan agar ia memiliki pengalaman diarahkan dan dibina. 

Bbagaimana cara bersikap dengan sopan santun dihadapan orang dewasa, memberi tau bagaiaman komunitas orang dewasa, mempersiapkan dirinya sejak dini untuk mengemban tanggung jawab di masa depan, mempelajari serta memetik pengalaman yang nantinya sesuai diterapkan dalam hidupnya. Sebelumnya, beliau juga menjelaskan pentingnya memupuk kepercayaan diri anak, mengembangkan kecakapan dirinya, dan memberi pengertian betapa anak akan terhormat dengan tanggung jawab. 

Menyayangi anak-anak merupakah akhlak yang bisa di teladani dari sosok panutan kita, Nabi Muhammad SAW. Namun, beliau juga menyertai kasih sayang dengan melatih para sahabatnya dengan tanggung jawab guna membentuk sifat perwira dan ksatria bagi penerusnya. Dengan demikian, sayangi buah hati secara proporsional. Jangan sampai berlebihan hingga menjadikannya manja. 

Yang perlu di introspeksi adalah, salah kaprah yang terjadi. Salah satu bentuknya adalah ketika anak masih kecil dan menggemaskan, Ayah dan Ibu seringkali terhanyut emosi dihadapan anaknya yang menggemaskan, sehingga ia ikut berkata seperti bahasa bayi. 

Semisal ketika mengajak bicara orang tua menyebut bapak dengan "apak", sudah menjadi "cudah", aku menjadi "atu", mobil menjadi "obin", sendiri manjadi "cendili", dan sebagainya. Orang tua seharusnya berkata dengan benar, karena hal tersebut bisa mengganggu proses berbicara buah hati dan dapat mempengaruhi dirinya secara psikologis, sehingga buah hati tampak dimanjakan. 

Memang seolah sepele dan terlihat sayang kepada buah hati, namun secara tidak langsung berdampak kurang baik pada psikologi anak. Kurang lebih begitulah yang tertuang dalam buku Ummi Kaifa Haluki, buku parenting Islami debut pertama penulis bersama timnya di Pesantren.

Pemuda sekarang adalah pemimpin di masa depan. Bentuk jiwa dan raganya dengan baik, agar menambah keindahan dan kemajuan peradaban.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun