Maka dari itu, masa pubertas adalah masa perpisahan pertama antara diri buah hati dan kedua orang tua. Namun bukan berarti lalu lepas landas orang tua tidak berhak terhadap buah hati, justru masa ini buah hati harus diberikan pendampingan, sebab ia ibarat tengah berada dalam kobaran api. Bukankah ini berat untuk buah hati?
Oleh karena itu, pastikan sebelum memasuki usia pubertas. Orang tua telah mendidik dengan cara yang tepat. Mulai dari saat buah hati bayi hingga menjelang remaja.
Syaikh Akram Mishbah Utsman, dalam bukunya yang berjudul Khamsa 'Isyrin Thariqah Litashna'a Min Ibnika Rajulan fadzdzan, ada 25 cara mencetak anak tangguh. Salah satunya adalah dengan mengajak buah hati menghadiri pertemuan orang dewasa. Beliau mengungkapkan kehadiran seorang anak dalam majelis orang-orang besar bertujuan agar ia memiliki pengalaman diarahkan dan dibina.
Bbagaimana cara bersikap dengan sopan santun dihadapan orang dewasa, memberi tau bagaiaman komunitas orang dewasa, mempersiapkan dirinya sejak dini untuk mengemban tanggung jawab di masa depan, mempelajari serta memetik pengalaman yang nantinya sesuai diterapkan dalam hidupnya. Sebelumnya, beliau juga menjelaskan pentingnya memupuk kepercayaan diri anak, mengembangkan kecakapan dirinya, dan memberi pengertian betapa anak akan terhormat dengan tanggung jawab.
Menyayangi anak-anak merupakah akhlak yang bisa di teladani dari sosok panutan kita, Nabi Muhammad SAW. Namun, beliau juga menyertai kasih sayang dengan melatih para sahabatnya dengan tanggung jawab guna membentuk sifat perwira dan ksatria bagi penerusnya. Dengan demikian, sayangi buah hati secara proporsional. Jangan sampai berlebihan hingga menjadikannya manja.
Yang perlu di introspeksi adalah, salah kaprah yang terjadi. Salah satu bentuknya adalah ketika anak masih kecil dan menggemaskan, Ayah dan Ibu seringkali terhanyut emosi dihadapan anaknya yang menggemaskan, sehingga ia ikut berkata seperti bahasa bayi.
Semisal ketika mengajak bicara orang tua menyebut bapak dengan "apak", sudah menjadi "cudah", aku menjadi "atu", mobil menjadi "obin", sendiri manjadi "cendili", dan sebagainya. Orang tua seharusnya berkata dengan benar, karena hal tersebut bisa mengganggu proses berbicara buah hati dan dapat mempengaruhi dirinya secara psikologis, sehingga buah hati tampak dimanjakan.
Memang seolah sepele dan terlihat sayang kepada buah hati, namun secara tidak langsung berdampak kurang baik pada psikologi anak. Kurang lebih begitulah yang tertuang dalam buku Ummi Kaifa Haluki, buku parenting Islami debut pertama penulis bersama timnya di Pesantren.
Pemuda sekarang adalah pemimpin di masa depan. Bentuk jiwa dan raganya dengan baik, agar menambah keindahan dan kemajuan peradaban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H