Terkait kasus korupsi pajak BCA, kini belum terselesaikan juga. Mungkin, KPK maupun pihak-pihak berwajib menangani kasus ini sudah mengalami kebuntuan untuk mencari jalan keluar. Sepertinya, Sprindik yang direncanakan KPK akan semakin dibiarkan saja karena kurangnya kehendak yang ada untuk menuntaskan kasus korupsi pajak BCA. Padahal, memang sudah seharusnya kasus korupsi pajak BCA di tahun ini segera terselesaikan mengingat sudah hampir 3 tahun mangkrak.
Sebelumnya, BCA yang merupakan wajib pajak telah mengklaim memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya melalui prosedur dan tata cara perpajakan yang benar sesuai peraturan perpajakan yang berlaku. Seperti yang dikatakan oleh Bos BCA, “Dalam hal terkait pemberitaan tersebut, dapat kami sampaikan bahwa BCA tidak melangar Undang-Undang maupun peraturan perpajakan yang berlaku.” Ujarnya. Mengingat keberatan pajak BCA ini memang sudah melalui beberapa tahapa juga sehingga tidak menyalahi peraturan dalam pengajuan keberatan pajak.
Pada tahun 1998, BCA megalami kerugian fiskal sebesar Rp. 29,2 Triliaun yang merupakan akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebelumnya, berdasarkan UU yang berlaku, maka kerugian dimaksud dapat dikompensasikan dengan penghasilan (tax loss carry forward) mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun. Kemudian, tahun 1999 BCA sudah mulai membukukan laba dimana laba fiskal 1999 tercatat Rp. 174 Miliar. Setelah itu, berdasarkan pemeriksaan pajak yang dilakukan pada 2002, Ditjen Pajak telah melakukan koreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi sebesar Rp. 6,78 Triliun. Di dalam nilai ini, terdapat koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp. 5,77 Triliun yang dilakukan melalui proses jual beli dengan BPPN dengan harga pengalihan Rp. 10 juta sebagaiman tertuang dalam perjanjian jual beli dan penyerahan piutang No. SP-165/BPPN/0600.
Kemudian, transaksi pengalihan aset tersebut merupakan jual beli piutang, namun Ditjen Pajak menilai transaksi tersebut sebagai penghapusan piutang macet. Sehubungan dengan ini, maka BCA mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak atas koreksi pajak yang telah dilakukan. Keberatan yang disampaikan BCA diterima Ditjen Pajak dan dinyatakan dalam SK No. KEP-870/PJ.44/2004 tanggal 18 Juni 2004. Kemudian, pada masa berakhirnya masa kompensasi kerugian pajak 1998, masih terddapat sisa kompensasi yang belum digunakan sebesar Rp. 7,81 Triliun. Dengan demikian, apabila keberatan pajak BCA atas koreksi pajak senilai Rp. 5,77 Triliun tidak diterima oleh Ditjen Pajak, maka masih terdapat sisa tax loos carry forward yang dapat dikomensasikan sebesar Rp. 2,04 Triliun.
Dengan demikian, pengajuan keberatan pajak yang dilakukan oleh BCA kepada Ditjen Pajak ini menjadikan momen kesempatan untuk Hadi Poernomo. Seperti yang telah kita ketahui, Hadi Poernomo justru menerima keberatan pajak yang diajukan BCA sepenuhnya melalui sebuah nota dinas yang dikirimkan kepada Direktur PPh. Padahal, bank-bank lain yang memiliki kasus yang sama seperti BCA justru ditolak, sehingga menimbulkan kecurigaan KPK untuk melakukan gelar perkara terkait kasus keberatan pajak BCA ini. Karena mungkin Hadi Poernomo mendapatkan pelicin dari BCA sehingga dapat merekomendasikan untuk menerima keberatan pajak.
Sumber:
http://chandrataxsolution.com/korupsi-hadi-poernomo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H