Dilansir dari kompas.tv, berdasarkan penyelidikan, ungkapnya, tersangka A berperan sebagai orang yang bertugas memanggil Putu Satria Bersama teman-temannya.
"Adapun peran masing-masing dari tersangka itu adalah pelaku FA alias A memanggil korban dengan mengatakan 'woi tingkat satu yang makai PDO (pakaian dinas olahraga) sini'. Jadi, turun dari lantai tiga ke lantai dua." ucap dia.
Setelah korban dan teman-temannya turun ke lantai dua, mereka kemudian digiring masuk ke toilet pria lantaran di sana tidak ada CCTV.
Selain memanggil korban, tersangka A juga berperan sebagai pengawas ketika peristiwa tindak kekerasan terjadi.
"Selanjutnya tersangka WJP alias W pada saat proses terjadinya kekerasan eksesif mengatakan, 'jangan malu-maluin, kasih paham'," ucap Kombes Gidion dikutip dari Kompas.com.
Sementara tersangka K berperan sebagai pihak yang menyarankan agar korban Putu Satria yang pertama kali mendapat pukulan.
"K menunjuk korban sebelum dilakukan kekerasan eksesif oleh tersangka Tegar dengan mengatakan 'adikku aja ni mayoret terpercaya'." Ujar Kombes Gidion.
Oleh karena petunjuk tersangka K, pelaku utama yakni Tegar langsung terdorong untuk memukul korban Putu Satria.
Setelah itu, Putu Satria mendapat pukulan di bagian ulu hatinya sebanyak lima kali sampai lemas dan terkapar. Tegar yang panik kemudian berusaha menolong Putu Satria dengan menarik lidahnya.
Namun, pertolongan tersebut justru membawa mala petaka bagi Putu Satria. Sebab, karena itu jalur pernapasannya tertutup hingga akhirnya korban tewas.
Dapat di simpulkan, kasus penganiayaan ini dilakukan dengan motif sepele, yaitu perpeloncoan senior. Etika memiliki maksud membantu manusia guna melakukan tindakan secara bebas, tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Kebebasan dan tanggung jawab adalah unsur pokok dari otonomi moral yang menjadi salah satu prinsip utama moralitas (Keraf, 1998:18). Tetapi apa yang dilakukan keempat tersangka terhadap Putu sama sekali tidak mencerminkan etika.