Aku sudah mengemas semua derap kakiku. Jauh sebelum mereka benar-benar pergi meninggalkan gang rumah kecil itu, Pada minggu ketiga Februari yang basah, yang gemericik pada kedua pelupuk. Gerimis bulan itu menjadi terlampau asin, langit juga sedang meratap atau sedang mengejekku, entah.Â
"Apa kau sungguh akan meninggalkan aku ?", tanyamu sembari bersandar pada pintu kamar yang catnya tak lagi abu-abu.Â
Bisuku sedang bernyanyi pelan pada telinga kirimu. sebuah lagu yang nampaknya kau tangkap sebagai irama perpisahan, bukan sayang, itu tumpukan besar rindu yang kutitip dulu pada ingatanmu. Â
"Jika denyutnya lemah, ia lelah, kau hanya perlu mengajaknya bicara", kuberikan satu toples kaca bertutup merah, didalamnya ada separuh koyakan jantung, separuhnya lagi pergi bersamaku. Â
Di kota ini, aku menemukan mantra untuk memanggilmu bagai hantu. Rapalan puisi yang hurufnya terbang diantara sela halaman buku. Setiap malam pada upacara sakral itu kami menari kesumat, aku dan jiwaku. Ghaib kau hadir, mengajakku mengikat temali peluk yang terburai dan putus.
Menikahlah dengan jiwaku, agar kau menjadi lelahnya berkelana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H