Mohon tunggu...
NamanyaBiru
NamanyaBiru Mohon Tunggu... Lainnya - Corat-coret

Tempat bermain pikiran dengan kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Februari Itu

26 Juni 2020   20:12 Diperbarui: 26 Juni 2020   20:09 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku sudah mengemas semua derap kakiku. Jauh sebelum mereka benar-benar pergi meninggalkan gang rumah kecil itu, Pada minggu ketiga Februari yang basah, yang gemericik pada kedua pelupuk. Gerimis bulan itu menjadi terlampau asin, langit juga sedang meratap atau sedang mengejekku, entah. 

"Apa kau sungguh akan meninggalkan aku ?", tanyamu sembari bersandar pada pintu kamar yang catnya tak lagi abu-abu. 

Bisuku sedang bernyanyi pelan pada telinga kirimu. sebuah lagu yang nampaknya kau tangkap sebagai irama perpisahan, bukan sayang, itu tumpukan besar rindu yang kutitip dulu pada ingatanmu.  

"Jika denyutnya lemah, ia lelah, kau hanya perlu mengajaknya bicara", kuberikan satu toples kaca bertutup merah, didalamnya ada separuh koyakan jantung, separuhnya lagi pergi bersamaku.  

Di kota ini, aku menemukan mantra untuk memanggilmu bagai hantu. Rapalan puisi yang hurufnya terbang diantara sela halaman buku. Setiap malam pada upacara sakral itu kami menari kesumat, aku dan jiwaku. Ghaib kau hadir, mengajakku mengikat temali peluk yang terburai dan putus.

Menikahlah dengan jiwaku, agar kau menjadi lelahnya berkelana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun