Mohon tunggu...
Fahmi Namakule
Fahmi Namakule Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT "Antara Etika dan Kebebasan Bernegara"

28 Januari 2018   00:25 Diperbarui: 28 Januari 2018   01:45 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH : FAHMI NAMAKULE

Kompasiana.com-Indonesia merupakan negara yang multikultural, negara yang kaya akan keberagaman, mulai dari Budaya, Agama Bahasa, dan lain sebagainya. Amanat Mukadimah Konstitusi menegaskan bahwa Negara ini dibentuk atas dasar berkat Rahmat Tuhan yang kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan sudah barang tentu norma agama tidak bisa dilepaspisahkan dari negara, karena pada dasarnya agama merupakan instrumen penting dalam pencapaian kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, sejarah telah mencatat bahwa peristiwa "Resolusi Jihad" pada tanggal 22 Oktober 1945 yang menyatakan kewajiban umat Islam dalam mempertahankan bangsa Indonesia dan hal ini bersentuhan langsung dengan kedaulatan Republik Indonesia. "Resolusi jihad pernah dikumandangkan oleh Rais Akbar Nahdatul Ulama (NU) K.H. Hasyim Asya'ri yaitu jihad Fisabilillah yang berarti wajib hukumnya bagi rakyat membela negaranya,".

Jenderal Sudirman, merupakan pahlawan Nasional kemerdekaan Indonesia juga sebagai guru agama dan taat beribadah, kiyai dan para ulama-ulama serta santri juga ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Indonesia atas dasar agama, yakni dengan keyakinan besar kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan sudah barang tentu terus mengaharapkan rahmat-Nya dan ridhonya fouding fathers kita tetap berjuang dan akhirnya remerdekaan mampu di raih dan di genggaman.

Agama itu sendiri merupakan pola untuk membangun kekuatan nasionalisme, yang dengan kekuatan nasionalisme itulah harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegera tetap  terjaga dengan  utuh dangan demikian degradasi kultur nasionalisme harus kita hindari jangan sampai eksistensi nasionalise tidak lagi menjadi formula yang menguatkan basis keindonesiaan.

Akhir-akhir ini dalam prakteknya penyelenggaraan pemerintahan sering terjadi dinamika ketatanegaraan yang sarat akan multi tafsir, salah satu polemik yang belum terselesaikan adalah mengenai  masalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender, atau kerap disebut dengan istilah LGBT.

LGBT, merupakan  Istilah yang digunakan pada tahun 1990 untuk menggantikan frasa komunitas gay atau komunitas yang memiliki orientasi seks terhadap sesama jenis khususnya laki-laki, LGBT juga memiliki lambang berwarna pelangi, LGBT merupakan prioritas seksual yang kemudian pada awalnya muncul dari  ketidakyakinan terhadap identitas gender pada seseorang, identitas gender merupakan cara seseorang  merasa atau melihat dirinya apakah sebagai perempuan, laki-laki  atau transgender. 

LGBTpakan orientasi seksual yang pada awalnya muncul dari ketidak yakinan identitas gender pada diri seseorang. Identitas gender dapat diartikan sebagai cara seseorang merasa atau melihat dirinya, apakah sebagai perempuan, laki-laki, atau transgender. Orang-orang yang bergolongan didalam LGBT merasa dan kemudian melihat dirinya sendiri sesuai dengan seks biologisnya.  Sehingga dapat kita temukan ada saja laki-laki yang mempunyai libido seksual antar sesama jenisnya, begitu juga sebaliknya perempuan mempunyai libido seksual yang sama antar sesama jenisnya.

Rasa libido seksual yang kemudian muncul antara sesama jenis itulah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari mereka, naluri dan rasa libido seks sejenis itu mulai menguasai diri mereka masing-masing, hingga akhirnya berkembang menjadi satu kebiasaan yang memenjarakan mereka hingga sangat begitu sulit untuk kembali pada ruang kesadaran.

Pada situasi seperti ini negara harus muncul sebagai jargon etis yang membebaskan manusia Indonesia dari koridor kesesatan, sebahagian orang menganggap bahwa LGBT merupakan reaksi dari kebebasan  terhadap hak manusia Indonesia yang dijamin dalam konstitusi, misalnya dalam pasal 28 A UUD 1945 "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya" kemudian pasal 28 B (1) "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah" dari sinilah menurut mereka kebebasan hidup dan mempertahankan hidupnya serta kebebasan membentuk keluarga maka muncul tafsiran dari mereka yang liar yakni dengan siapa saja mereka bebas untuk hidup dan membentuk keluarga walaupun dengan sesama jenis.

Data membuktikan bahwa Berdasarkan estimasi Kemenkes pada 2012, terdapat 1.095.970 LSL baik yang tampak maupun tidak. Lebih dari lima persennya (66.180) mengidap HIV. Sementara, badan PBB memprediksi jumlah LGBT jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada 2011. Pada 2009 populasi gay hanya sekitar 800 ribu jiwa. Sampai akhir 2013 terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang menaungi 119 organisasi di 28 provinsi. 

Pertama, yakni Jaringan Gay, Waria, dan Laki-Laki yang Berhubungan Seks dengan Laki laki Lain Indonesia (GWLINA) didirikan pada Februari 2007. Jaringan ini didukung organisasi internasional. Jaringan kedua, yaitu Forum LGBTIQ Indonesia, didirikan pada 2008. Jaringan ini bertujuan memajukan program hak-hak seksual yang lebih luas dan memperluas jaringan agar mencakup organisasi-organisasi lesbian, wanita biseksual, dan pria transgender.

Memang benar apa yang dijamin dalam konstitusi tetapi sesungguhnya tidak bisa bisa ditafsirkan bahwa kebebasan itu berikan untuk membentuk keluarga lalu dengan sebebas-bebasnya mencederai dan memperkosai nilai-nilai etis dalam berbangsa dan bernegara, kebebasan itu dijamin namun harus dilakukan secara sah dan harus sesama jenis, didalam sila ke-2 Pancasila mengamanatkan bahwa bangsa Indonesia harus berpegang kepada peri kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi bukan malah peri kemanusiaan yang adil dan biadap, maka sebenarnya instrumen etis ini sesungguhnya sudah diatur oleh aturan masing-masing agama baik itu yang berbeda di bangsa dan negara Indonesia,

Untuk itu perjuangan untuk menolak pemberian kebebasan LGBT di negara ini harus tetap diwujudkan, hingga negara ini benar-benar merupakan negara yang tidak sama sekali memelihara perkembangbiakan kebebasan tanpa etika,

Untuk itu pemerintah Indonesia harus konsisten terhadap amanat kemerdekaan, dengan jalan satu-satunya yaitu DPR dan Presiden harus se-visi untuk menolak  dimasukan dan diberlakukannya LGBT dalam RUU KUHP terbaru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun