Arsitektur, seni dan budaya dari perkampungan adat, selalu berhasil mencuri perhatian dan minat saya. Mendatangi kampung-kampung adat yang tersebar di seantero bumi Indonesia, membuat saya menjadi lebih banyak mengenal kehidupan mereka dan filosofi-filosi yang tersembuyi di balik apa yang telah mereka yakini selama ini. Hal ini juga mendorong pemikiran saya untuk lebih terbuka pada keragaman dan tidak mudah menghakimi keyakinan dan kepercayaan orang lain.
Ada beberapa rumah adat yang belum saya kunjungi dan masih berada dalam daftar wajib dikunjungi, seperti misalnya: rumah Mbaru Niang di Flores, rumah Lamin di Kaltim, rumah Gadang di Minangkabu, rumah Honai di Papua, dan masih banyak lainnya. Sementara beberapa rumah adat yang pernah saya kunjungi, antara lain: rumah adat Sasak Desa Sade dan Desa Segenter di Lombok, rumah adat Donggo di Bima NTB, rumah adat Tongkonan di Toraja, dan yang paling terakhir Maret 2014 kemarin adalah rumah adat Sumba, NTT. Ada yang menyebutnya Uma Bokolu, ada pula yang menyebutnya Uma Mbatangu.
Perjalanan saya ke Sumba boleh dibilang fifty-fifty. Artinya, tidak sepenuhnya saya melakukan perjalanan seorang diri, tapi juga tidak sepenuhnya melakukan beramai-ramai bersama teman-teman. Dari Semarang sampai Sumba saya sendiri, di Sumba saya bergabung dengan teman-teman yang aseli sana. Keberanian saya mengunjungi Sumba, modalnya cuma satu, yaitu punya kenalan satu orang asal Semarang (kota tinggal saya) yang saat ini tengah bekerja di Sumba. Namanya Mas Hastoto (Toto), dia bekerja di Dinas Kehutanan.
Sekitar jam 12 siang, kaki saya pertama kali menginjak tanah Sumba, tepatnya di Bandara Tambaloka. Keluar dari pintu bandara, jantung saya mulai deg-degan. Seperti apa ya jenis transportasi di bandara ini? Mudahkah? Perlukah tawar menawar? Bermacam-macam pertanyaan yang berkecamuk di benak saya. Saya mencari warung untuk sekedar minum teh sembari berharap nantinya bisa mendapatkan informasi dari si penjual warung. Soalnya, strategi inilah yang saya pakai saat berada di Bandara Bima NTB. Dan terbukti cukup berhasil. Tapi, sampai lelah mata ini mencari warung di seputaran bandara, tak ketemu jua. Akhirnya saya menyerah pada tawaran calo taxi (baca: mobil angkutan plat hitam). Rp 70.000,- dari bandara sampai hotel di Waikabubak. Ada 3 orang lain yang bersama saya satu mobil waktu itu. Tapi karena salah satunya melakukan komunikasi via HP dengan suara yang sangat keras, maka saya mengurungkan niat untuk menjalin percakapan dengan yang lain.
Sampai hotel, saya segera mengabari teman saya, Mas Toto, yang saat itu sedang menjadi saksi pada kasus pencurian kayu (illegal logging). Dia berjanji akan segera mendatangi saya begitu sidang selesai. Sambil menunggu kedatangan dia, saya mulai bersih-bersih dan istirahat. Selang beberapa saat, Mas Toto datang dan mengajak saya makan di sebuah warung yang cuma ada satu-satunya di Waikabubak. Selesai makan saya diajak ke rumah salah satu temannya. Di sana sudah berkumpul banyak orang dan kamipun saling berkenalan. Ada Kak Andy yang hobinya nyela-nyela kalau ada orang gegayaan foto-foto, Kak Lenny yang imut, Mujiz yang hobinya galau, dan Kak Ache isterinya Kak Andy. Sampai sekarangpun, kami masih saling rajin menyapa melalui HP. Lalu setelah teman-teman bertanya jenis wisata yang saya inginkan, kamipun mulai merencanakan perjalanan ke kampung-kampung adat, baik itu di Sumba Barat, Sumba Barat Daya, maupun Sumba Timur. Hanya Sumba Tengah yang kami lewati, karena keterbatasan waktu.
Kampung adat yang pertama kami kunjungi adalah Kampung Adat Tarung. Lokasinya masih di Waikabubak, bahkan dari hotel saya cukup berjalan kaki saja. Begitu sampai di lokasi, mata saya langsung terbelalak melihat keunikan rumah adat di sini. Bentuk atapnya tinggi seperti kerucut, bahannya terbuat dari alang-alang. Sementara bagan dan dinding rumah-rumah adat ini terbuat dari bahan kayu atau pohon. Di teras rumah masing-masing penduduk, hampir selalu tersedia alat tenun.
Seorang gadis muda bernama Nona Weebole menyambut saya dengan ramah. Di teras rumah, saya disuguhi sirih pinang yang diletakkan dalam piring yang terbuat dari anyaman bambu. Sajian kedua buah ini merupakan simbol ucapan selamat datang bagi para tamu yang berkunjung. Jika kita memakannya, mulut dan gigi kita akan berwarna kemerah-merahan. Dan karena sirih pinang merupakan semacam bentuk penghormatan bagi para tamu, maka seorang tamu hendaknya tidak menolak sajian sirih pinang itu.
Setelah basa-basi sebentar dan sempat ditawari kinang sirih, saya diajak memasuki rumah utama. Banyak ornament (tulang-tulang, bulu-bulu, dll) yang dipajang di bagian atap rumah. Mungkin karena sehari-hari siaran di radio saya terbiasa mewawancarai orang, maka hampir setiap detil yang ada di rumah itu saya tanyakan ke Nona Weebole. Gadis cantik berambut ikal inipun dengan ramah mencoba menjelaskan apa yang saya tanyakan. Ketika saya bertanya, apakah pas musim hujan tidak merasa kedinginan, karena pintu rumah itu dibiarkan terbuka tanpa tutup? Dia memberi penjelasan, bahwa pohon-pohon tua yang umurnya ratusan tahun dan menjadi penyangga rumah itu, secara alami dan otomatis bisa mengatur suhu udara di dalam rumah. Jika tiba saatnya musim kemarau, pohon itu menyerap udara panas yang berlebihan, dan kemudian panas yang diserap itu disimpan, nantinya akan dikeluarkan saat musim hujan tiba, sehingga suhu di dalam rumah menjadi hangat. Lalu, ketika saya menanyakan, kenapa kuburan atau makam batu posisinya ada di depan rumah? Dia menjelaskan, agar warga desa di sini selalu mengingat bahwa kematian itu ada di depan kita, sehingga selama masih hidup kita perlu berbuat kebaikan. Dan masih banyak lagi pertanyaan yang saya ajukan, yang kalau saya tulis semuanya barangkali bisa menjadi sebuah buku. Hehehe…
Kampung adat kedua yang kami singgahi adalah Kampung Adat Rategaro. Kami berenam (saya, Andi, Ache, Mujiz, Andy, Lenny) berboncengan naik motor menuju kampung yang lokasinya ada di Kecamatan Kodi, Sumba Barat Daya. Saya ngotot pengin ke tempat ini, karena hari itu akan diselenggarakan event Pasola.
Pasola merupakan perayaan atau tradisi yang diselenggarakan hanya setahun sekali saja. Biasanya di bulan Februari atau Maret, yaitu pada awal musim tanam. Para peserta Pasola harus memiliki dua kemampuan dasar, yaitu menunggang kuda dalam kecepatan penuh tanpa menggunakan pelana dan dalam waktu yang sama mereka harus bisa melempar tombak ke arah lawan mereka. Warga di sini masih meyakini, semakin banyak darah yang keluar dari para penunggang kuda saat upacara berlangsung, maka akan semakin melimpah hasil panen. Mereka meyakini, percikan darah itu mempunyai kekuatan magis menyuburkan hasil tanam nantinya.
Begitu kaki ini menjejakkan diri di Kampung Adat Rategaro, saya kembali dibuat takjub dengan keindahan dan keunikan rumah adat di sini. Rumah-rumah adat itu memang mirip-mirip dengan rumah adat yang ada di Kampung Tarung tadi. Bedanya, atap rumah di Rategaro lebih tinggi menjulang dan warnanya lebih terang. Saat berada di sana, beberapa penduduk sedang melakukan berbagai kesibukan untuk kelancaran acara Pasola.
Matahari mulai berada di tengah, acara Pasola belum juga dimulai. Akhirnya, kami memutuskan untuk menikmati pantai yang lokasinya tidak jauh dari kampung adat. Sebenarnya, pantai Rategaro lumayan cantik lho! Pasirnya putih, airnya biru, dan batu karang di sana-sini. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona. Dan dari posisi pantai itu, kita bisa melihat atap rumah merah bata yang menjulang tinggi dari perkampungan adat Ratenggaro. Sejumlah kuburan batu peninggalan zaman megalitikum juga melengkapi keindahan pantai tersebut.
Selang beberapa saat, terdengar tanda bahwa acara Pasola sudah dimulai. Kamipun segera bergegas ke sebuah lapangan yang berada di samping kampung adat, tempat diselenggarakannya Pasola. Sampai di sana, banyak kendaraan yang sudah memenuhi arena parkir, dan lapangan sudah dipenuhi manusia. Sebagian warga setempat, sebagian awak media TV serta perlengkapannya, dan ada juga personil dari kepolisian. Menurut cerita Kak Andy yang juga anggota polisi, tidak jarang terjadi perkelahian dalam acara Pasola. Ngeri juga ya? Makanya, dia berpesan, nanti kalau kondisi dan situasi di acara itu tampak mengkuatirkan, sebaiknya kita segera menjauh saja. Sayapun mengiyakan pesan itu.
Saat acara berlangsung, saya menyaksikan dengan penuh antusias. Saya ketawa-ketawa sendiri saat melihat beberapa yang mengeluarkan nyanyian dalam bahasa adat mereka sambil menari-nari dengan unik. Gerakan itu reflek mereka lakukan saat penunggang kuda dari pihak lawan terjatuh terkena tombak. Saking antusiasnya, kadang sampai tidak sadar kalau saya sudah terlalu dekat dengan ‘area perang.’ Mas Andy sampai berkali-kali mengingatkan agar saya tidak terlalu dekat. Habis gimana ya? Kalau terlalu jauh, tombak yang saling dilemparkan itu tidak begitu kelihatan sih.. Apalagi kalau ada orang yang berdiri di depan saya. Wah… tapi ya daripada saya yang kena tombak, memang lebih baik saya agak mundur dikit. Dikiiit saja sih.. Hehehe…
Meskipun saya masih penasaran dan antusias, kami tak sampai selesai menyaksikan acara Pasola, mengingat saat itu sempat terjadi keributan. Menurut informasi, ada pihak yang merasa dicurangi dan gak terima. Neng nong! Bel tanda bahaya seolah berbunyi. Mempertimbangkan efek buruknya, mas Andy memaksa kami untuk segera pergi dari area itu.
Kampung adat Prailiu merupakan lokasi terakhir yang akan kami kunjungi. Mengingat lokasinya di Sumba Timur, sementara saat itu posisi kami di Sumba Barat, maka kami memutuskan untuk berangkat pagi-pagi sekali. Butuh waktu sekitar 5-6 jam. Tapi jangan salah, tak sedikitpun saya merasa bosan selama dalam perjalanan. Selama dalam perjalanan, saya disuguhi pemandangan yang begitu mempesona, hutan yang masih perawan, dinding tebing yang putih, danau yang biru, serta padang savannah yang hijau. Sesekali kami berhenti untuk mencoba menikmati semua pesona itu.
Setelah melewati Tugu Waingapu yang merupakan perbatasan antara Sumba Tengah dengan Sumba Timur, kamipun sampai di Kampung Adat Prailiu. Dulunya, kampung ini merupakan ibukota Kerajaan Lewa Kambera. Kami langsung menuju ke rumah kediaman Mama Rambu yang menyambut dengan ramah. Beliau adalah isteri almarhum Tamu Umbu Jaka, keturunan ketujuh dari Kerajaan Lewa Kambera.
Memasuki Kampung Adat Prailiu, kita akan menyaksikan pemandangan kain-kain tenun yang indah yang dipajang di depan rumah warga. Sama seperti kampung adat=-kampung Sumba lainnya, di Prailiu kita juga akan menjumpai banyak sekali kubur batu tua.
Berbeda dengan rumah adat di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, rumah adat di Sumba Timur (dan Sumba Tengah), atapnya tidak terbuat dari alang-alang melainkan terbuat dari seng. Menurut penjelasan Mama Rambu, hal itu disebabkan karena wilayah mereka pernah terserang virus belalang yang memakan alang-alang atap rumah, sementara sangat sulit mencari alang-alang di wilayah itu.
Puas menikmati keunikan Kampung Adat Prailiu, kamipun bersiap-siap pamit pulang. Tapi Mama Rambu menghalangi niat kami. “Jangan mengaku sudah pernah berkunjung ke Sumba Timur, kalau belum pernah mencoba memakai baju adat sini.” Begitu kata Mama Rambu. Semula saya kurang bergitu berniat untuk memakai baju adat. Malas ganti dan dandannya. Hehehe… Tapi, menurut penjelasan Mama, asesoris baju adat mereka itu istimewa. Khususnya mahkota yang terbuat dari kulit tempurung kura-kura. Sekarang ini sudah jarang atau bahkan hampir tidak ada orang yang bisa membuatnya. Mengingat begitu berharganya baju adat Sumba Timur ini, saya yang semula agak segan berubah menjadi penuh semangat. Ada sensasi luar biasa saat mengenakan baju adat itu. Kalau dari pengakuan Mas Andy, dia merasa seolah-olah lebih berwibawa saat mengenakan baju adat itu. Sedangkan Kak Lenny, mengaku, merasa lebih cantik dengan mengenakan baju adat itu. Ah, bisa saja. Hahaha…
Sepulang dari Kampung Adat Prailiu, kami menutup perjalanan Sumba Timur dengan makan malam ikan bakar di dermaga. Ini satu-satunya tempat makan di Sumba Timur, dan hanya beroperasi pada malam hari saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H