Mohon tunggu...
Bustami Bin Arbi
Bustami Bin Arbi Mohon Tunggu... Insinyur - Aceh, Indonesia

| Minat sastra dan budaya |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teungku, Khutbahmu Kemarin Masih Tertancap di Benakku

11 Juni 2011   09:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:37 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_113586" align="aligncenter" width="300" caption="primaironline.com"][/caption]

“Tiga syarat yang mesti dipatuhi saat khatib berkhutbah. Pertama, jangan berdehem. Kedua, jangan anggap isi khutbah yang disampaikan ditujukan kepada orang lain. Dan, ketiga?, cukup dua saja  aturannya karena poin ini agak kasar. Jika tawaran ini tak bisa diterima, maka silahkan angkat kaki dari mesjid”. Demikian ucap khatib shalat jumat kemarin usai mukadimah dengan mantap dan berapi-api.

Kreatif, berani, dan penuh percaya diri. Tiga kata tersebut pantas disematkan kepada khatib muda tersebut. Lelaki yang kutaksir umurnya sekitar dua puluh tiga tahunan itu punya bakat untuk menjadi da’i hebat yang bisa mengayom umat. Aku tidak cukup kenal dekat dengannya, yang kutahu ia adalah salah satu kawan adik lelakiku yang usianya dua tahun lebih muda dariku. Jadi, dapat kusimpulkan saja umurnya segitu.

Kenapa berani kusebut ia kreatif?, Alasannya sederhana. Lihat saja isi tiga opsi yang ia ajukan sebelum memulai ceramah, sangat cerdik dan menggelitik. Ia mampu membacapsikologis jamaah yang hadir rata-rata usianya lebih tua darinya. Sebagai orang yang lebih tua, biasanya ketika yang muda tampil di depan, anggapan remeh sering terbersit walaupun perasaan itu tidak dihinggapi pada semua orang. Konon lagi si anak muda hanya orang biasa dari kalangan keluarga biasa dan berpenampilan juga biasa seperti kebanyakan orang desa. Tapi ide cemerlang di awal materi yang akan dibahasnya, punya sinyal kuat bahwa ia bukan anak muda biasa yang nyalinya mudah diciutkan dengan satu-duadeheman oknum jamaah “kurang sehat”.

Berani dan percaya diri, dua sifat ini pun sangat kontras terlihat dari gayanya berbicara dan bahasa tubuh yang ditonjolkan. Seperti kebanyakan berbahasa Orang Aceh, ia lugas dan tegas. Tatapan matanya mantap, seakan hendak mengabarkan bahwa ia siap mengetuk jiwa-jiwa yang remuk dan menggiring ke jalan sehat.

Salut pada keberaniannya menggertak para jamaah dewasa untuk tak beranjak ke alam khayalan. Lazimnya saat ceramah berjalan, seakan-akan yang disampaikan benar-benar dihayati dan diresapi, padahal pendengar tertidur pulas. Mungkin sebab itulah, dengan lantangnya ia mengulang-ulang opsi yang kedua, untuk mencamkan bahwa apa, siapa, dan dimanapun khutbah jum’at adalah ditujukan pada semua peserta, bukan pada yang lain.

Aku dan mungkin semua jamaah yang hadir di Mesjid Gampoeng (Desa) Lueng Baro kemarin dibuat tercengang, saat ia dengan lantangnya “memegang jidat” pejabat teras desa. Khatib yang oleh remaja mesjid diberitahukan bernama Bustamam itu sebelum prosesi shalat jumat dimulai, benar-benar memaksimalkan momen singkat itu untuk mengkritisi penguasa tingkat gampoeng perihal kurangnya jamaah lokal yang hadir jumatan.

Mesjid yang di halamannya masih terpajang batu prasati yang bertuliskan bahwa Presiden Soeharto pada 26 Maret 1986, pernah berkunjung ke Suka Makmue untuk meresmikan keberhasilan pertanian melalui Operasi Khusus Gelora Petani Makmue Nanggroe ini hanya berjarak sekitar 1 km dari komplek perkantoran Pemerintahan Nagan Raya. Jadi, banyak juga pegawai dari sana yang berhamburan. Sedangkan penduduk asli, hanya sekitar tiga puluh persen saja yang nimbrung. Menurut sang khatib yang tercatat sebagai salah satu santri Pesantren salafiah di desa yang sama, kejadian itu sungguh memalukan.

Cerdas, Teungku muda tersebut telah berhasil meng-KO-kan jamaah tua dengan terjangan kritikan yang konstruktif. Andai saja di luar sana teguran itu ditancapkkan, tak tertutup kemungkinan si Teungku akan “disekolahkan” terlebih dahulu. Ha..ha..ha, untung saja saat jumatan para jamaah yang telinganya merasa dihujani sengatan “serbuk gatal” itu tak punya banyak pilihan selain diam dan menunduk.

Rumah, 11-06-2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun