BUKU HARIANMU
Ibu Pertiwi
]
Telah kubaca buku harianmu sehari setelah kau pamit
Untuk membeli beras—pamit yang salah karena kau tak pernah
Singgah di warung dan tak pulang-pulang. Tulisan tanganmu yang kacau
Bercerita padaku tentang bumi yang terisi penuh oleh cita-citamu. Di sana
Siapapun tak bisa melihat apa-apa kecuali ka’bah, kampus yang dijejak olehku
Rumah asri di atas bukit dan sehampar kebun yang siap dipanen kapan saja.
Di langitnya mentari, bulan, bintang dan pelangi menjadi satu: berbincang
Seperti kerabat yang akur. Di udara, harum do’amu tak hilang-hilang.
]
Ia juga bercerita tentang Tuhan yang tak pernah bosan
Mendengarmu membaca sajak: keringatmu yang dingin, darahmu
Leher dan perutmu yang mengakrabi rasa lapar. Suaramu direkam awan
Menggema sampai ke pucuk gunung, terdengar oleh ikan di dasar samudera.
Kata-kata yang kau baca memberi makna melebihi kitab-kitab jaman
Melebihi orasi para petinggi. Sebentar aku mengusap sisa embun
Di wajah jendela, sekadar memastikan bahwa gerbang terbuka
Membayangkan kau datang dengan diri yang lengkap
]
Tapi, buku harianmu belum membaca koran pagi ini
Ia tak tahu cerita baru. Kau ada di tubuh koran yang basah
Terpejam, menyembunyikan mata coklatmu. Seorang wartawan
Menulis judul yang horor atas potret dan cerita tentangmu. Aku diam
Menahan sesak dan airmata, merahasiakannya di dasar jiwaku yang sepi:
Ibu, aku sungguh tak tega menceritakan ini kepada buku harianmu
Aku tak ingin membuatnya berduka. Biarlah, biarlah ia bercerita
Kepadaku terus-menerus, sampai tak ada sedikitpun yang retak
]
Di jiwamu yang kekal, di kehidupanku yang melanjutkanmu!
]
2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H