Kebijakan Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat menuai banyak kritik dari lapisan masyarakat. Mulai dari komedian, kreator konten, akademisi, para pekerja sampai pengusaha. Pasalnya, menurut PP No 21 Tahun 2024 Tentang Penyelenggaraan Tapera, akan dilakukan pemotongan gaji para pekerja di indonesia sebesar 2,5% (pemberi kerja atau pengusaha 0,5%, pekerja mandiri dipotong 3%) untuk dijadikan simpanan peserta program Tapera.
Jika rata-rata gaji pekerja di Indonesia di angka 3,5 juta perbulan, maka potongan setiap bulannya sekitar Rp.123.000,-. Pengembalian dana Tapera ini pun, dilakukan saat kepesertaan berakhir yakni saat usianya sudah 58 tahun. Bagi yang sudah punya rumah tetap diwajibkan ikut iuran untuk gotong-royong membantu yang belum memiliki rumah.
Menurut pendapat beberapa rekan penulis dari kalangan pekerja, mereka mengungkapkan keberatan karena sudah terlalu banyak potongan untuk jaminan kesehatan. Terlebih, mayoritas dari mereka merupakan sandwich generation yang dibebani biaya sekolah adik-adiknya atau biaya untuk menafkahi orang tuanya.
Sebagian teman penulis yang lain, menolak Tapera karena mereka sudah memiliki warisan rumah dari keluarganya, jadi tidak merasa butuh akan program Tapera ini. "Kalau udah punya rumah ya jangan dipaksa ikut dong, kita gak butuh. Kalo niatnya mau mensubsidi, itu tugas negara kepada rakyatnya. Bukan tugas sesama masyarakat saling mensubsidi", ujar Bunga salah satu teman penulis yang menjadi pekerja swasta.Â
Sebelum semakin jauh, mari kita lihat kebijakan ini dari dua sisi. Kita mulai dengan melihat sisi positifnya dari kebijakan Tapera ini. Sebetulnya spirit dari kebijakan Tapera ini sangat baik, karena ingin membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah. Seperti yang diamanatkan Undang-Undang, bahwa negara wajib memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui Tapera, pemerintah ingin mewujudkan amanat dari Undang-Undang tersebut.
Dihimpun dari Data Housing and Real Estate Information System (2022), setidaknya ada 12 juta masyarakat indonesia yang belum punya rumah. Jika pemerintah ingin mengadakan program perumahan bagi masyarakat, bukankah itu sesuatu yang sangat membantu?
Terlebih, melihat harga properti yang semakin tahun semakin naik dan tidak sebanding dengan kenaikan gaji para pekerja di Indonesia. Dengan kata lain, penghasilan rata-rata orang Indonesia tidak mampu mengejar harga properti.
Kebijakan semacam Tapera ini banyak dilakukan oleh negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia dan Cina. Mereka melakukan pemungutan dana yang sifatnya wajib bagi pekerja dan pemberi kerja dengan tujuan menjamin kesejahteraan sosial masyarakatnya terutama saat mereka pensiun. Realisasinya memang sesuai dengan perencanaan dan berhasil "merumahkan" rakyatnya.
Ketidak sepakatan mengenai kebijakan Tapera terkadang dipengaruhi oleh pemahaman yang tidak akurat mengenai kebijakan ini. Salah satunya kreator konten di tiktok mengungkapkan kekesalannya atas kebijakan Tapera ini dengan mengatakan, "jadi kalo misalnya gajinya 5 juta dipotong 2,5% untuk Tapera jadinya 125 ribu yang katanya untuk tabungan perumahan rakyat. 125 ribu dikali 12 bulan sama dengan 1,5 juta. I,5 juta dikali 30 tahun sama dengan 45 juta. Ada gak rumah seharga 45 juta?".Â
Namun jika dipahami kembali, kebijakan Tapera ini sistemnya seperti KPR. Bukan tiba-tiba rakyat dapat rumah setelah menabung. Jadi, masyarakat yang selama ini tidak lolos seleksi dalam mengambil KPR karena penghasilannya rendah akan sangat terbantu dengan Tapera. Mereka mendapatkan peluang memiliki rumah dengan sistem KPR. Bukankah ini sebuah solusi cerdas dari pemerintah dalam mengupayakan kesejahteraan rakyatnya?
Itu tadi sisi positif yang bisa dilihat dari kebijakan Tapera ini. Lalu, apa sisi negatif dari kebijakan ini? Mari kita coba urai bersama, sisi negatifnya.
Presiden RI ke 7, Pak Jokowi mengungkapkan bahwa adanya pro dan kontra terhadap kebijakan Tapera ini merupakan sesuatu hal yang  biasa. Seperti sebelum-sebelumnya, saat ada kebijakan mengenai BPJS Kesehatan yang juga menilai pro kontra, namun akhirnya masyarakat menyadari manfaatnya.
Menurut penulis, analogi yang diambil kurang apple to apple. Kebijakan mengenai BPJS Kesehatan dan Tapera sangat berbeda. BPJS Kesehatan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam waktu yang singkat, yakni ketika masyarakat sakit. Benefitnya bisa menikmati rawat inap, obat dan fasilitas kesehatan lainnya. Berbeda halnya dengan Kebijakan Tapera, yang mana hasil menabungnya baru bisa diambil setelah masa kepesertaan berakhir yakni saat usia 58 tahun.
Sisi negatif dari kebijakan Tapera ini terletak di kata "wajib". Seluruh masyarakat yang  pendapatannya diatas UMR dan pemberi kerja dikenakan iuran perbulan tanpa terkecuali. Akhirnya jadi semacam tabungan paksa. Orang kaya yang tidak memiliki kebutuhan terkait rumah pun diwajibkan memberikan iurannya, karena ini sifatnya tabungan dan nantinya bisa diambil kembali. Namun hal ini akan menjadi masalah, karena tidak semua orang kaya ingin menabung dalam bentuk mempercayakan dananya kepada negara. Ada yang memiliki preferensi memutar uangnya di dunia bisnis atau yang lainnya. Sehingga kebijakan ini terkesan pukul rata, tidak melihat kebutuhan rakyat dengan spesifik.
Apa pendasaran aturan Tapera ini bersifat mengikat dan wajib? Jika jawabannya ada pada asas gotong royong subsidi silang, maka patut dipertanyakan. Sejak kapan mensubsidi rakyat menjadi kewajiban sesama rakyat? Bukankah subsidi lebih tepatnya dari pemerintah untuk rakyatnya? Lantas, peran negara ada di bagian mana di dalam penyelenggaraan Tapera ini?
Selain itu, apakah sudah betul-betul dikaji mengenai urgensi masyarakat membutuhkan rumah? Apakah semua masyarakat menginginkan rumah? Bagaimana jika ada dari mereka yang memilih untuk hidup nomaden berpindah-pindah kota? Bagaimana dengan mereka yang sudah memiliki rumah atau yang sudah mengambil KPR dan sedang mencicil rumah?
Jika memang setiap aturan yang dibentuk berdasarkan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat yang mana yang sedang pemerintah wakili dibalik kebijakan tentang Tapera ini? Padahal fakta di lapangan, justru rakyat banyak mengeluhkan baik dari pekerja maupun pengusaha.
Mengapa dana JHT (Jaminan Hari Tua) yang sudah termasuk kedalam potongan BPJS dan bisa dimaksimalkan untuk pengadaan program Tapera ini tidak dimaksimalkan saja? Mengapa harus diadakan pemotongan gaji lagi?
Selain itu, temuan BPK Dana Pensiunan senilai 567 Miliar belum cair. Sebanyak 124.960 peserta belum menerima pengembalian dana tersebut, padahal sudah berakhir masa kepesertaannya karena meninggal atau karena sudah pensiun.
Menyoal kasus korupsi di program pengumpulan dana rakyat yang sudah terjadi, seperti Jiwasraya dan Asabri. Penulis kira, rakyat memiliki trust issue tersendiri kepada pemerintah. Tidak ada jaminan, dana yang dikelola dalam Tapera ini akan bersih dari korupsi karena memang sejarahnya cukup kelam.
Menurut penulis, faktor ketidakpercayaan itu menjadi faktor yang cukup dominan yang menyebabkan banyaknya pihak beramai-ramai menolak kebijakan Tapera ini. Seandainya pemerintah memiliki sejarah yang baik dalam mewujudkan program-program tanpa korupsi, penulis yakin rakyat pun akan menyambut kebijakan Tapera ini dengan tangan terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H