Presiden RI ke 7, Pak Jokowi mengungkapkan bahwa adanya pro dan kontra terhadap kebijakan Tapera ini merupakan sesuatu hal yang  biasa. Seperti sebelum-sebelumnya, saat ada kebijakan mengenai BPJS Kesehatan yang juga menilai pro kontra, namun akhirnya masyarakat menyadari manfaatnya.
Menurut penulis, analogi yang diambil kurang apple to apple. Kebijakan mengenai BPJS Kesehatan dan Tapera sangat berbeda. BPJS Kesehatan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam waktu yang singkat, yakni ketika masyarakat sakit. Benefitnya bisa menikmati rawat inap, obat dan fasilitas kesehatan lainnya. Berbeda halnya dengan Kebijakan Tapera, yang mana hasil menabungnya baru bisa diambil setelah masa kepesertaan berakhir yakni saat usia 58 tahun.
Sisi negatif dari kebijakan Tapera ini terletak di kata "wajib". Seluruh masyarakat yang  pendapatannya diatas UMR dan pemberi kerja dikenakan iuran perbulan tanpa terkecuali. Akhirnya jadi semacam tabungan paksa. Orang kaya yang tidak memiliki kebutuhan terkait rumah pun diwajibkan memberikan iurannya, karena ini sifatnya tabungan dan nantinya bisa diambil kembali. Namun hal ini akan menjadi masalah, karena tidak semua orang kaya ingin menabung dalam bentuk mempercayakan dananya kepada negara. Ada yang memiliki preferensi memutar uangnya di dunia bisnis atau yang lainnya. Sehingga kebijakan ini terkesan pukul rata, tidak melihat kebutuhan rakyat dengan spesifik.
Apa pendasaran aturan Tapera ini bersifat mengikat dan wajib? Jika jawabannya ada pada asas gotong royong subsidi silang, maka patut dipertanyakan. Sejak kapan mensubsidi rakyat menjadi kewajiban sesama rakyat? Bukankah subsidi lebih tepatnya dari pemerintah untuk rakyatnya? Lantas, peran negara ada di bagian mana di dalam penyelenggaraan Tapera ini?
Selain itu, apakah sudah betul-betul dikaji mengenai urgensi masyarakat membutuhkan rumah? Apakah semua masyarakat menginginkan rumah? Bagaimana jika ada dari mereka yang memilih untuk hidup nomaden berpindah-pindah kota? Bagaimana dengan mereka yang sudah memiliki rumah atau yang sudah mengambil KPR dan sedang mencicil rumah?
Jika memang setiap aturan yang dibentuk berdasarkan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat yang mana yang sedang pemerintah wakili dibalik kebijakan tentang Tapera ini? Padahal fakta di lapangan, justru rakyat banyak mengeluhkan baik dari pekerja maupun pengusaha.
Mengapa dana JHT (Jaminan Hari Tua) yang sudah termasuk kedalam potongan BPJS dan bisa dimaksimalkan untuk pengadaan program Tapera ini tidak dimaksimalkan saja? Mengapa harus diadakan pemotongan gaji lagi?
Selain itu, temuan BPK Dana Pensiunan senilai 567 Miliar belum cair. Sebanyak 124.960 peserta belum menerima pengembalian dana tersebut, padahal sudah berakhir masa kepesertaannya karena meninggal atau karena sudah pensiun.
Menyoal kasus korupsi di program pengumpulan dana rakyat yang sudah terjadi, seperti Jiwasraya dan Asabri. Penulis kira, rakyat memiliki trust issue tersendiri kepada pemerintah. Tidak ada jaminan, dana yang dikelola dalam Tapera ini akan bersih dari korupsi karena memang sejarahnya cukup kelam.
Menurut penulis, faktor ketidakpercayaan itu menjadi faktor yang cukup dominan yang menyebabkan banyaknya pihak beramai-ramai menolak kebijakan Tapera ini. Seandainya pemerintah memiliki sejarah yang baik dalam mewujudkan program-program tanpa korupsi, penulis yakin rakyat pun akan menyambut kebijakan Tapera ini dengan tangan terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H