Mohon tunggu...
Isnaini Mila
Isnaini Mila Mohon Tunggu... Freelancer - Socmed Specialist

I really enjoy discussing everyday life and I love delving into things I don't know.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di Balik Fenomena Salah Jurusan

8 Juni 2020   14:17 Diperbarui: 8 Juni 2020   14:26 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Sepertinya minatku tidak disini, aku salah jurusan". Pernahkah mendengar kalimat tersebut dari seorang teman? atau bahkan diri sendiri pernah berkata demikian dalam hati.

Kalimat ini akrab dengan seseorang pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa. Karena baru di jenjang itulah ada pembagian berdasarkan minat. Yang tak jarang pilihan mereka tak benar-benar dipilih dalam keadaan sadar.

Ada beberapa interupsi, mulai dari karna jurusan tersebut merupakan pilihan orang tuanya sampai ada yang hanya ikut-ikutan temannya.

Ada yang memang memilih sendiri tanpa interupsi dari kedua hal diatas, namun pilihan sendiri pun tak terhindarkan dari ungkapan kalimat "aku salah jurusan"di tengah perjalanan. Bagaimana bisa itu terjadi?

Memilih sesuatu bukanlah hal mudah apalagi jurusan sekolah atau kuliah. Kemampuan untuk itu mensyaratkan mengerti diri sendiri yang meliputi sadar kekuatan dan menerima kekurangan. Tak mudah memang, sayangnya waktu tak bisa diputar ulang. Sudah setengah perjalanan yang kerapkali membuat bimbang.

Kesulitan dalam memahami diri sendiri bisa menjadi sebab dari fenomena salah jurusan. Terlebih ketika coba kita tarik kebelakang, sejak sekolah dasar kita dituntut untuk bisa segalanya (kemampuan dipukul rata).

Aku pernah berpikir, andai saja sejak sekolah dasar sudah dibentuk kelas peminatan. Mungkin cerita salah jurusan bisa diminimalkan bahkan bisa menjadikan siswa termotivasi belajar karena merasa nyaman.

Selain itu bisa menolong siswa untuk menyadari dan mengembangkan potensi diri, tentu tak lepas dari bantuan sekolah yang harus memiliki alat untuk memetakan hal tersebut.

Namun kenyataan tak seindah  khayalan, sekolah masih akrab dengan terciptanya kelas anak bodoh dan anak pintar. Semua dipaksa harus bisa mengikuti pelajaran tanpa memperhatikan keunikan setiap orang.

Tak jarang, si bodoh selalu dapat ungkapan tak enak didengar. Hanya karena nilainya tak bisa seperti teman-temannya dalam suatu mata pelajaran. Ejekan dari temanpun juga tak bisa dihindarkan.

Bukan maksud untuk memaklumi kekurangan, namun terlihat lebih indah jika lebih dini fokus mengembangkan kelebihan setiap orang agar memiliki kemapanan dalam meniti karir di masa depan.

Fokus pada kekurangan bukan lantas tak mengajarkan ilmu lain yang menjadi kekurangan anak tersebut, namun sifatnya bisa lebih menjadi wawasan bukan target kemampuan.

Albert Einstein pernah mengungkapkan "Setiap orang jenius! Tapi kalau kamu mengukur kemampuan ikan dari kemampuannya memanjat pohon maka seumur hidup dia bakal berpikir bahwa anak itu bodoh".  Itulah kalimat singkat yang mampu mewakili tulisan ini.

Semoga cukup kesempatan bagi orang-orang yang bertekad menciptakan perubahan ke arah kebaikan.  Aku pribadi saat ini, hanya bisa berharap suatu saat nanti Pendidikan di Indonesia bisa benar-benar menjadi tonggak kesuksesan di kehidupan, bukan menjadi salah satu alat menghasilkan cuan bagi segelintir orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun