"Ibu kenapa, Mbak? Tanya Dayat dengan raut wajah terkejut.
"Itu Mbak tidak tahu, Dayat. Coba saja kamu pergi ke rumah sakit." Jelas Mbak Jannah kepadanya.
Hidayat langsung bergegas mencari taski dan menuju ke rumah sakit terdekat. Perjalanan dipenuhi dengan rasa sedih, satu per satu air matanya menetes di dalam taksi. Hujan pun ikut turun bersama air matanya. Suasana yang sangat dingin tak terasa ditubuhnya.
Saat sampai di rumah sakit, ia bertanya sembari mencari kamar Ibunya di rawat. Tak lama mencari, ia menemukan kamar Ibunya di rawat. Ibunya dalam keadaan lemas dan terus menyebut namanya.
"Ini Dayat, Bu." Ujarnya sambil memeluk Ibunya yang disertai tetesan air mata.
"Ibu senang sekali bersama mu saat ini, Nak. Udah lama kita tidak bersama. Ibu kangen kepadamu, sejak tadi perasaan Ibu tak tenang di saat ada berita pesawat jatuh. Ibu kira pesawat kamu yang jatuh tadi." Kata Ibunya sambil menetes air matanya.
"Dayat janji. Tak akan meninggalkan Ibu lagi." Kata Dayat yang ingin membuat Ibunya senang.
Ibunya berkata, "Ibu tidak kuat lagi, Nak. Mungkin ini kebersamaan terakhir kita."
"Ibu jangan berbicara seperti itu." Dayat memberi nasehat.
Tak lama kemudian, Ibunya meninggal dunia. Isak tangis terdengar sampai ke kamar sebelah. Ia tak menyangka ini pertemuan terakhirnya. Ibunya meninggal dengan tenang karena bisa bertemu dengan putra semata wayangnya.
Besok hari, hari yang cerah berawan yang di sertai dengan angin sepoi-sepoi. Pemakaman Ibunya berjalan dengan lancar, Dayat masih menangis di tempat pemakaman Ibunya. Andai waktu ini bisa kembali ia putar, ia tak akan pernah meninggalkan Ibunya. Kemarin kebersamaan yang sebentar dengan Ibunya. Dia merenung atas kepergiaannya selama ini. Ibunya telah lama sakit, tapi tidak ada satu pun orang yang tahu.