Mohon tunggu...
Nala Widya Aprelia
Nala Widya Aprelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maliki Malang

masih belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Peran Hakim dalam Penegakan Konstitusi

30 Oktober 2022   23:36 Diperbarui: 31 Oktober 2022   05:49 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konstitusi memiliki kedudukan sebagai sebuah wujud hukum tertinggi. Dalam sistem negara Indonesia, UUD 1945 dapat terbentuk dari hasil kesepakatan pemikiran para pendiri negara Republik Indonesia yang berangkat dari berbagai macam latar belakang daerah dan beragam disiplin ilmu.

Apakah Pancasila bisa dinamakan konsitusi? Pancasila dalam posisinya sebagai sumber semua sumber hukum, atau sebagai sumber hukum dasar nasional, berada di atas konstitusi, artinya Pancasila berada di atas UUD 1945. Jika UUD 1945 merupakan konstitusi negara, maka Pancasila adalah Kaidah Pokok Negara yang fundamental. Maksudnya, kaidah pokok yang fundamental itu mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tidak berubah bagi negara tersebut.

Pengertian konstitusi bisa dimaknai secara sempit maupun secara luas. Konstitusi dalam arti sempit hanya mengandung norma-norma hukum yang membatasi kekuasaan yang ada dalam negara. Sedangkan konstitusi dalam arti luas adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar, baik yang tertulis ataupun tidak tertulis maupun campuran keduanya tidak hanya sebagai aspek hukum melainkan juga non-hukum.

Menurut KBBI, Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang Undang Dasar, dan sebagainya), atau Undang Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak di dasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.

Membicarakan tentang konstitusi tak luput pembahasan mengenai dunia kehakiman. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman, yakni  yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, berperan mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per-orang ataupun subjek hukum lainnya. Sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per-orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas.

Posisi antara semua lembaga negara termasuk MK dengan lembaga negara yang lain berada dalam garis yang sama, artinya semua lembaga negara mengenal Mahkamah Konstitusi bertanggungjawab langsung terhadap Konstitusi atau UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber kekuasaan negara. Sedangkan posisi MK menjadi menarik karena MK secara khusus dimandatkan oleh konstitusi untuk menjadi pengawalnya dalam menegakkan titah konstitusional yang diberikan oleh warga negara kepadanya.

Dalam sistem peradilan di Mahkamah Agung, hanya dikenal satu tahap peradilan, sehingga putusan yang dijatuhkan oleh MK bersifat final dan mengikat (Final and binding). Sehingga tidak ada upaya hukum lagi yang dapat dilakukan untuk mencoba menggugat putusan tersebut. Selain itu juga, putusan MK tidak membutuhkan proses eksekusi dari MK, sebab pada saat putusan itu di bacakan oleh MK, maka pada saat itu juga putusan MK harus dilaksanakan oleh para pihak sebagai bentuk ketundukan dan kepatuhan dari putusan MK tersebut. Oleh karena itu, maka putusan MK akan sangat memberikan pengaruh yang besar terhadap desain ketatanegaraan, proses penyelengaraan negara, maupun atmosfer perpolitikan nasional yang bisa saja tercipta melalui putusan-putusan MK.

Bayangkan saja jika putusan dari MK tidak tepat sasaran atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, akan banyak penyalahgunaan kekuasaan dan suara yang terbungkam jikalau tidak digunakan semestinya. Maka dari itu, dibutuhkan seorang hakim yang tegas dan jujur dalam suatu peradilan. “Sebenarnya Indonesia tidak kekurangan orang pintar, namun kekurangan orang jujur”- Kasino (Warkop DKI). Sepertinya kutipan tersebut cocok dengan apa yang akan saya bahas.

Kenapa seorang hakim berperan penting dalam suatu peradilan?

Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan itu, seorang hakim harus senantiasa mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat karena tugas yang dipegangnya dalam peradilan harus dapat memberikan rasa keadilan masyarakat. Hakim juga harus mempunyai kemampuan dan kreativitas untuk dapat menyelesaikan dan memutus perkara dengan mencari dan menemukan hukum dalam kasus yang tidak ada peraturan hukumnya. Maka dari itu, hakim sangat berperan penting dalam peradilan peristiwa konkret yang diajukan kepadanya.

Dapat saya ambil contoh yakni seorang hakim yang tolak segala rayuan suap baik bentuk apapun itu. Meskipun dengan kebiasaan hidup yang sederhana namun, prestasi dan pengalaman beliau dalam menangani kasus-kasus di Indonesia jangan diragukan lagi. Membuat masyarakat Indonesia segan dan merindukan sosok Artidjo Alkostar. Ya. Beliau adalah hakim yang ideal dalam sejarah kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang menjadi mimpi buruk para koruptor. Pemberatan vonis hukum bagi terpidana korupsi selalu diberikan untuk sang penggelap dana rakyat. Ketukan palu yang sebenarnya ringan namun nyatanya “berat” karena membawa berbagai nasib para pihak terpidana. Ingin sekali rasanya beliau menghukum mati para koruptor namun terhalang akan pintarnya orang yang membuat undang-undang, ucap beliau dalam salah satu video wawancara bersama Najwa Shihab.

Hakim dalam mejalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan yang artinya bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis. Untuk itu, hakim tidak boleh gentar dan merasa takut terhadap hasutan yang di berikan oleh pihak manapun agar maksimal dalam mengambil dan menjatuhkan sebuah putusan.

Seperti yang dilakukan oleh mantan hakim agung Artidjo Alkostar. Dimana saat menjabat, beliau sengaja menempel tulisan pengumuman di depan ruang kerjanya. Pengumuman itu bertuliskan siapa saja pihak yang sedang beperkara di MA tidak boleh masuk ke ruang kerjanya. Cara itu dilakukan agar pihak-pihak yang beperkara tidak datang menemui dan memengaruhinya saat sedang menangani perkara. Beliau meyakini bahwa uang suap itu tidak akan berkah, kalau kita lurus dan jujur potensi bahagia akan lebih besar. Di dunia yang seperti sekarang ini, sudah jarang orang yang berprinsip seperti beliau. Sosok yang dinilai penuh integritas, jujur, dan tegas ini menjadi kehilangan terbesar bagi dunia hukum di Indonesia.

“Menegakkan keadilan adalah bagian untuk membahagiakan diri kita sendiri”- Artidjo Alkostar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun