Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan pemerintah menjadi 12% pada tahun 2025 tengah menjadi isu hangat di kalangan masyarakat. Kebijakan ini menuai beragam reaksi, mulai dari dukungan hingga kekhawatiran. Di satu sisi, kenaikan PPN dianggap sebagai langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan. Namun, disisi lain, tidak sedikit yang khawatir akan dampaknya pada daya beli masyarakat, terutama mereka yang berpenghasilan rendah.
Dalam wawancara dengan Rendy, seorang warga masyarakat umum, terlihat jelas bagaimana kebijakan ini dipandang sebagai pedang bermata dua. Berikut adalah pandangan, harapan, dan saran dari Rendy mengenai rencana pemerintah tersebut.
Menurut Rendy, kebijakan ini memiliki sisi positif yang tak bisa diabaikan. "Pro-nya, negara lebih mandiri dan tidak bergantung kepada hutang, dan pendapatan negara bisa meningkat dengan adanya kenaikan PPN ini," ujarnya. Dengan pendapatan negara yang lebih besar, Rendy optimistis kebijakan ini berpotensi mendukung berbagai program pembangunan.
Namun, ia juga menyampaikan kekhawatiran. "Kalau kontra-nya, bisa membebankan masyarakat, apalagi masyarakat yang penghasilannya masih di bawah rata-rata. Jadi pemerintah perlu memperhatikan hal-hal itu," tambahnya. Kekhawatiran ini berakar pada daya beli masyarakat yang bisa terdampak, terutama di kelompok berpenghasilan rendah.
Sebagai warga, Rendy berharap kenaikan tarif PPN benar-benar memberikan dampak positif yang signifikan pada pembangunan dan pelayanan publik. "Menurut saya, seharusnya ini menjadi hal yang sangat bagus kalau misalnya dana yang dipergunakan itu dilaksanakan atau dialokasikan dengan baik. Apalagi pembangunan dan pelayanan publik ini butuh dana yang besar," ungkapnya.
Dengan tambahan pendapatan dari pajak, Rendy optimistis bahwa pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas pelayanan publik dapat lebih terjamin. Namun, ia menekankan pentingnya transparansi dan efisiensi dalam penggunaan dana tersebut agar manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Kenaikan PPN ini juga diprediksi akan mempengaruhi pola pengeluaran masyarakat. Rendy mengaku bahwa dirinya sudah mulai memikirkan ulang kebiasaan belanjanya, bahkan dengan tarif PPN yang masih 11%. "Bahkan sekarang yang masih 11% saja untuk membeli barang saya masih suka mikir-mikir dengan adanya pajak tersebut. Apalagi jika pajak akan naik, mungkin saya akan mempertimbangkan dalam membeli sesuatu yang lebih mahal," katanya.
Pola pikir seperti ini mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas di masyarakat. Dengan kenaikan tarif, kemungkinan besar masyarakat akan menjadi lebih selektif dalam pengeluaran mereka, yang pada akhirnya dapat berdampak pada sektor konsumsi.
Untuk mengurangi dampak negatif pada masyarakat, Rendy menyampaikan harapan khusus kepada pemerintah. "Harapan saya untuk pemerintah, bisa mempertimbangkan lagi untuk warga-warga yang berpenghasilan belum terlalu tinggi dan belum terlalu mencukupi, agar nantinya mereka tidak terbebani dengan pajak PPN ini," jelasnya.
Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan-kebijakan pendukung, seperti subsidi atau insentif bagi kelompok masyarakat rentan, agar mereka tidak terlalu terdampak oleh kenaikan tarif pajak.
Sebagai bentuk masukan, Rendy mengusulkan agar kenaikan tarif PPN lebih difokuskan pada barang-barang mewah. "Mungkin dikenakan pajak 12% bisa digunakan untuk sesuatu yang mewah. Kenapa? Karena kalau menerapkan ke seluruh warga Indonesia, alhasil ada orang yang belum berkecukupan akan terkena dampaknya. Tapi kalau misalnya diterapkan di hal-hal tertentu (sesuatu yang mewah saja), itu dampaknya tidak akan terasa ke rakyat yang memang belum cukup penghasilannya," sarannya.