periklanan, beberapa waktu lalu Saya sempat terpikirkan oleh eksistensi nyata TV di depan Saya dalam era digital saat ini. Apakah memungkinkan untuk terus berindustri di tengah kemajuan teknologi yang semakin meroket? Namun, nyatanya kita masih sangat membutuhkan TV.  Dalam media yang kita gunakan sehari-hari, baik media sosial maupun media massa, kita pasti sering melihat iklan  melalui ATL (Above The Line), seperti televisi, radio, majalah, dan surat kabar. Lalu, ada BTL (Below The Line), seperti poster, pamflet, email, pameran, dan sebagainya. Terakhir, TTL (Through The Line), seperti yang kita pakai saat ini, media sosial.Â
Berbicara terkait iklan atauIklan mempersuasi kita dengan strategi mereka yang apik dalam menawarkan suatu brand. Tidak jarang kita dipersuasi oleh iklan di televisi, brosur, event produk, dan lain sebagainya. Namun, tentu media sosial memegang kendali masyarakat dalam menawarkan iklan sekarang ini. Dengan feedback yang instant (BTL), dapat diakses dengan mudah dan cepat, serta menjangkau khalayak luas pastinya eksistensi ATL (Above The Line) dan BTL (Below The Line) di era digital ini menjadi "pudar". Banyak masyarakat yang lebih memilih membeli produk lewat iklan yang ditawarkan melalui media sosial karena lebih hemat biaya dan mudah.Â
Menurut Radio Republik Indonesia, pada 29 Mei 2024 membagikan data penggunaan media sosial menurut databoks.katadata.co.id. bahwa total pengguna media sosial ada 191 juta pengguna, yang berarti TTL diuntungkan dalam hal ini dengan memiliki massa yang begitu banyak dan memanfaatkan media sosial untuk menawarkan iklan agar khalayak tertarik.
Apakah Strategi ATL dan BTL Masih Berpengaruh?
Saat kita sedang melihat tayangan di televisi dan muncul iklan di tengah-tengah keseruan, pasti kita sedikit kesal bahkan sebagian orang berhenti melanjutkan menonton tayangan tersebut karena iklan yang ditayangkan cukup banyak. Atau saat kita ditawari iklan berkali-kali melalui email dan berujung dihapus? Karena dianggap memenuhi penyimpanan. Lalu, muncul lah media sosial untuk menengahi kedua hal tersebut. Dengan iklan yang ditawarkan melalui handphone yang dipegang sehari-hari, atau saat kita sedang nonton Youtube lalu muncul iklan di tengah-tengah video, mayoritas orang pun tetap lanjut menonton karena video iklan hanya berlangsung lima detik saja. Lalu, apakah pemakaian strategi ATL dan BTL masih efektif hingga saat ini?
Singkatnya, kita akan mengetahui karakteristik ATL, BTL, dan TTL terlebih dahulu.
ATL (Above The Line)Â
1. Mencakup target audiens lebih luas/jangkauan luas.
2. Tidak ada interaksi langsung dengan konsumen.
3. Komunikasi satu arah.
4. Biaya tinggi.
BTL (Below The Line)
1. Target audiens terbatas/jangkauan terfokus.
2. Memberikan kesempatan bagi audiens untuk berinteraksi dan merasakan produk dengan menyentuh nya.
3. Memberikan audiens kesempatan untuk lebih mengenal dan berinteraksi dengan produk.
4. Biaya terjangkau.
TTL (Through The Line)
1. Perpaduan antara ATL dan BTL.
2. Menjangkau audiens lebih luas.
3. Sinergi komunikasi.
Mempertanyakan terkait masih berpengaruh kah ATL dan BTL, tentu masih sangat berpengaruh. Dapat banyak kita lihat pada generasi Z yang mayoritas menggunakan media sosial, tetapi bagaimana dengan para orang tua? Para lansia? Saya ambil contoh di sekitar Saya, yaitu nenek Saya yang menghabiskan masa berumur nya dengan menonton televisi karena dianggap menghibur dan menemani waktu luang nya. Kasus yang sama dengan BTL, ketika kita menyukai suatu produk, pasti kita dengan senang hati "berinteraksi" dengan produk tersebut, misal melalui event yang dilaksanakan. Bahkan, pengumuman adanya event tersebut beberapa masih melalui email.Â
Adanya strategi ATL melalui media, seperti televisi dan radio dengan tujuan meningkatkan brand awareness kepada khalayak. Untuk kelebihannya, sebenarnya ATL tidak jauh berbeda dengan TTL karena menjangkau audiens lebih luas. Contohnya, iklan Le Minerale yang bertujuan meningkatkan brand awareness. Oleh karenanya, Le Minerale berhasil dalam membangun TOP (Top of Mind) dalam pikiran masyarakat bahwa Le Minerale "Ada manis-manisnya" sesuai dengan tagline nya. Dengan produk yang sama, yaitu Le Minerale. Â Le Minerale mengadakan kegiatan Le Minerale Water Run 2019 bersama PDUI (Perhimpunan Dokter Umum Indonesia). Kegiatan tersebut merupakan contoh dari BTL (Below The Line) melalui Kampanye Ayo Minum Untuk Sehat yang dilakukan dengan tujuan mengajak masyarakat mengonsumsi Le Minerale karena Le Minerale adalah air yang berkualitas.
Lalu, dengan TTL (Through The Line) yang menjadi penengah antara ATL dan BTL, menjadikan dua strategi ini menjadi satu dan dapat beriringan dengan teknik dan pendekatan pesan yang sesuai. Contohnya, selain menonton tayangan di televisi, kita juga bisa menonton lewat handphone dan dapat di tonton ulang. Hal itu menunjukkan bahwa media dapat menyesuaikan perkembangan zaman. Kita tidak perlu lagi kelimpungan bagaimana cara menonton sepak bola saat sedang di kereta karena dapat ditonton lewat handphone. Atau kita terus menerus membeli produk mie yang sama, yaitu Indomie karena terpersuasi dengan brand image nya yang bagus di televisi dan tagline "Indomie, seleraku" yang hinggap di benak konsumen hingga saat ini. Contoh lainnya, stategi BTL (Below The Line), yaitu produk make up Sociolla yang memberikan kesempatan kepada konsumen pada tanggal 27 Februari 2024 untuk hadir dalam event mereka dengan berbagai aktivitas yang ditawarkan, seperti beauty tester dan skin check dalam rangka peringatan 9 tahunan Sociolla.Â
Pengintegrasian Strategi ATL, BTL, dan TTL
Bagaimana ketiga strategi tersebut dapat beriringan dalam era digital saat ini? Tak dapat dipungkiri bahwa mayoritas masyarakat menggunakan media sosial, baik untuk mendapatkan informasi, maupun mencari dan membeli produk. Perlu banyak analisis lebih terkait target pasar konsumen dan tetap mengikuti zaman untuk ATL dan BTL dalam bersaing di era digital. Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa media televisi pun berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Khalayak dapat menonton tayangan televisi di handphone. Lalu, iklan yang biasa ditawarkan di televisi pun dapat kita lihat di Youtube.Â
Strategi iklan melalui event atau pemasaran secara langsung pun masih digemari oleh masyarakat karena dianggap memenuhi minat masyarakat dalam membeli produk dan dapat mengenali produk lebih jauh. Kemudian, semua itu menjadi satu ketika kita lihat event produk yang ditawarkan lewat Instagram, dan televisi yang menyiarkan terkait event Water Station Le Minerale di Jakarta Marathon 2022, dan lain-lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketiga strategi tersebut dapat beriringan dan melengkapi satu sama lain di era digital ini, dan tentunya dengan analisis pendekatan pesan dan alokasi media yang efektif, serta memperhitungkan kebutuhan khalayak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H