Perawat memainkan peran penting dalam memberikan perawatan holistik, yang mencakup pendekatan menyeluruh terhadap kesehatan pasien. Di samping aspek fisik, perawatan holistik juga memperhatikan faktor emosional, sosial, dan spiritual pasien. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa kesehatan adalah kondisi yang melibatkan kesejahteraan secara keseluruhan, bukan sekadar ketiadaan penyakit. Dalam praktiknya, perawat memiliki tanggung jawab untuk mengenali kebutuhan pasien secara menyeluruh dan merancang rencana perawatan yang tepat, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien secara holistik (Mathe et al., 2021).
Pentingnya profesionalisme dalam praktik keperawatan tidak dapat diabaikan; Profesionalisme dalam keperawatan mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap etis yang diperlukan untuk memberikan perawatan berkualitas (Berman et al., 2016). Dengan profesionalisme yang tinggi, perawat dapat menjadi advokat bagi pasien, memastikan hak-hak mereka dihormati dan kebutuhan mereka terpenuhi, termasuk dalam situasi darurat dan kondisi kompleks.
Akan tetapi, profesionalitas ini sering kali menghadapi tantangan ketika kebijakan rumah sakit yang berorientasi pada efisiensi operasional dan pengurangan biaya bertentangan dengan kebutuhan personal pasien. Misalnya, pembatasan waktu kunjungan atau alokasi sumber daya yang minim dapat menghambat kemampuan perawat untuk memberikan dukungan emosional dan psikologis yang memadai bagi pasien (Utami, N. W., et al. 2016).
Profesionalitas perawat ditentukan oleh standar perilaku yang tercantum dalam Kode Etik, yang disusun oleh organisasi keperawatan. Kode Etik ini menjadi pedoman bagi perawat untuk bertindak secara bertanggung jawab, menghargai nilai-nilai individu, dan melindungi hak pasien. Dalam praktiknya, perawat menerapkan prinsip-prinsip etika, seperti beneficence (berbuat baik), non-maleficence (tidak merugikan), justice (keadilan), dan respect for autonomy (menghormati otonomi). Misalnya, prinsip beneficence menuntut perawat untuk fokus pada upaya meredakan penderitaan pasien, baik secara fisik maupun psikologis, sementara non-maleficence memastikan bahwa perawat menghindari tindakan yang dapat membahayakan pasien, seperti membiarkan pasien bedrest tanpa pergantian posisi yang memadai (Berman et al., 2016).Â
Dalam pelaksanaan tugasnya, perawat juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai profesional seperti integritas, altruisme, dan penghormatan terhadap martabat setiap individu. Peran ini seringkali mengharuskan mereka untuk menjaga keseimbangan antara tanggung jawab terhadap kebijakan rumah sakit dan kebutuhan pasien. Sebagai contoh, prinsip justice mengharuskan perawat bersikap adil terhadap semua pasien, tanpa membedakan berdasarkan latar belakang sosial, budaya, atau ekonomi. Selain itu, respect for autonomy mewajibkan perawat untuk menghormati hak pasien dalam membuat keputusan terkait perawatan mereka, dengan cara memberikan informasi yang jelas mengenai risiko dan manfaat dari setiap prosedur medis.
Nilai-nilai ini menunjukkan pentingnya profesionalitas dalam menghadapi dilema etis sehari-hari. Perawat harus mampu menavigasi situasi yang memerlukan pengambilan keputusan bijaksana, seperti saat kebijakan rumah sakit bertentangan dengan kebutuhan unik pasien. Dalam kondisi ini, perawat harus mempertimbangkan kepentingan terbaik pasien tanpa mengabaikan aturan yang berlaku (Gassas, R., & Salem, O., 2023). Dengan demikian, profesionalitas bukan hanya tentang kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga tentang memberikan perawatan holistik yang manusiawi, berdasarkan prinsip etika yang kokoh.
Profesionalitas dalam praktik keperawatan merupakan kunci penting dalam pemberian pelayanan yang optimal kepada pasien. Salah satu strategi utama yang dapat dilakukan perawat adalah membangun komunikasi efektif dengan pasien dan keluarganya. Dalam menghadapi klien yang memiliki berbagai permasalahan, perawat harus mampu menyampaikan informasi dengan jelas dan empati. Komunikasi yang efektif melibatkan teknik mendengarkan dengan penuh perhatian, memfokuskan pembicaraan, dan memberikan kesempatan kepada pasien untuk memulai percakapan. Pendekatan ini tidak hanya membantu menciptakan suasana yang nyaman, tetapi juga memastikan arah pembicaraan tetap jelas dan terfokus, sehingga kebutuhan pasien dapat dipahami secara menyeluruh.
Selain komunikasi, perawat juga memiliki peran sebagai advokat untuk melindungi hak-hak pasien. Prinsip etika seperti beneficence dan nonmaleficence menjadi landasan dalam mengadvokasi kebutuhan pasien kepada manajemen rumah sakit. (Berman et al., 2016). Melalui peran ini, perawat bertanggung jawab memberikan informasi yang transparan kepada pasien dan keluarganya serta menjaga integritas dalam pengambilan keputusan medis. Dalam praktik profesional, perawat sering dihadapkan pada isu-isu sensitif seperti donasi organ, euthanasia, hingga malpraktik keperawatan. Oleh karena itu, komite etik di institusi kesehatan memiliki peran penting untuk meninjau dan memberikan pedoman agar hak-hak pasien tetap terlindungi.
Strategi lainnya adalah kolaborasi dengan tim multidisiplin untuk mencari solusi yang seimbang bagi kebutuhan pasien. Perawat, khususnya dalam peran sebagai case manager, bekerja sama dengan berbagai profesional kesehatan untuk memastikan pelayanan yang terkoordinasi dan berfokus pada pasien, sekaligus menjaga efisiensi biaya. Kerja sama ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan pasien serta keluarganya (Clement, N. 2015).
Terakhir, menjaga empati dan keterbukaan dalam menghadapi situasi sulit adalah esensi dari profesi perawat. Empati bukan sekadar kemampuan teknis, tetapi sikap yang menunjukkan kehangatan, kepedulian, dan kemampuan untuk memahami pengalaman pasien. Dengan menunjukkan empath dan compassion, perawat dapat memberikan kenyamanan emosional, bahkan dalam kondisi yang paling menantang. Keterbukaan untuk mendengarkan dan memahami pasien juga menjadi kunci dalam membangun hubungan yang saling percaya, sehingga mendukung proses penyembuhan secara holistik (Utami, N. W., et al. 2016).Â