Mohon tunggu...
najwa olivia
najwa olivia Mohon Tunggu... Lainnya - pelajar MTs

hobi saya memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Menyesal Berebut Tablet, Yah

20 September 2024   19:22 Diperbarui: 20 September 2024   19:26 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku hanya bisa terpaku, napasku tercekat. Azra mulai menangis keras di sebelahku, wajahnya merah menahan emosi.

"Semua ini gara-gara kamu, Kak!" serunya di antara isak tangisnya. "Kalau kamu kasih giliran ke aku, tablet itu nggak akan hancur!"

Aku tak mampu menjawab. Rasa bersalah menyergapku, tapi aku juga tahu kami sama-sama salah. Tablet itu sekarang sudah tidak ada lagi, dan yang tersisa hanyalah perasaan bersalah di antara kami.

Tak lama, Ayah keluar dari kamar dengan wajah yang masih tegang. "Kalian dengar baik-baik," katanya pelan namun tajam, "tablet itu sudah hancur. Dan Ayah tidak akan membeli yang baru. Ini pelajaran untuk kalian berdua---barang tidak ada artinya kalau kalian tidak bisa saling menghargai. Kalian lebih memilih bertengkar daripada berbagi. Sekarang, kalian tidak punya tablet lagi. Belajarlah dari sini."

Aku dan Azra tidak berani menjawab. Ayah pergi meninggalkan kami yang masih terpaku di depan pintu. Di dalam hati, aku merasa sangat bersalah. Tablet itu, benda yang kami perebutkan setiap hari, kini sudah tidak ada lagi.

Hari-hari setelah kejadian itu terasa kosong tanpa tablet. Awalnya kami bingung harus mengisi waktu dengan apa. Kami biasa sibuk dengan tablet, tapi kini kami harus menemukan cara lain untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, perlahan-lahan kami mulai terbiasa. Kami bermain di halaman, menonton tv dan bahkan mulai berbicara lebih sering.

Hubungan kami mulai berubah. Tidak ada lagi pertengkaran soal giliran tablet, tidak ada lagi adu mulut tentang siapa yang lebih berhak. Aku dan Azra mulai menghargai waktu yang kami habiskan bersama, tanpa gangguan benda elektronik.

Suatu sore, ketika kami sedang bermain  di halaman, Ayah mendekati kami. Wajahnya lebih lembut sekarang, jauh dari amarah yang kulihat waktu itu.

"Kalian lebih senang sekarang?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya, Yah. Kami tidak ingin bertengkar lagi. Tablet tidak sepenting ini," jawabku dengan jujur sambil melirik ke arah Najwa yang juga tersenyum kecil.

Ayah tersenyum tipis, lalu mengingatkan, "Ingatlah ini baik-baik. Barang bisa hancur, tapi hubungan kalian sebagai saudara harus selalu dijaga. Jangan sampai kalian lebih mementingkan benda daripada kebersamaan kalian."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun