Mohon tunggu...
Najwa Nur Azizi
Najwa Nur Azizi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Islamic Education Management

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Konsep Paradigma Integrasi Ilmu Sosial Humaniora: Perkembangan Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani

15 Juni 2024   23:12 Diperbarui: 15 Juni 2024   23:22 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Paradigma Integrasi merupakan  proses memadukan nilai-nilai tertentu terhadap sebuah konsep lain yang berbeda sehingga menjadi suatu kesatuan yang menjadi satu kesatuan dan tidak dapat  dipisahkan atau proses percampuran hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam wacana paradigma integrasi keilmuan dapat diartikan sebagai upaya memadukan dua hal yang berbeda yaitu antara ilmu umum (ilmu sosial humaniora)  dan ilmu agama Islam dalam satu kesatuan keilmuan.

Konsep paradigma integrasi keilmuan ini dikalangan umat Islam menjadi lebih populer dengan istilah Islamisasi ilmu pengetahuan. Adanya integrasi keilmuan seperti yang dimaksud dalam pembahasan ini merupakan paradigma baru dalam perkembangan ilmu. Jika dipetakan maka ada tiga paradigma keilmuan yang berkembang selama ini,yaitu ada paradigma bayani, burhani dan irfani.

Menurut Muhammad Abid Al JAbiri, ada tiga corak teori pengetahuan yang berlaku dalam Islam yaitu teori pengetahuan bayani, burhani dan irfani. Sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah teks (wahyu), dalam tradisi irfani adalah experience (pengalaman), sementara itu dalam tradisi burhani adalah kenyataan (realitas), baik realitas alam, realitas sosial, humanitas, maupun keagamaan.

Corak Pemikiran bayani menekankan pada Pendekatan teks (nash) dan realitas, Corak pemikiran irfani menekankan pada perkembangan sepenuhnya  social skill (empati, simpati, verstehen), dan Corak Pemikiran burhani menekankan pada proses kesesuaian antara hukum-hukum yang dihasilkan oleh akal manusia dengan hukum alam dan kosistensi dalam keruntutan dan kelogisan pemikiran. Jika tiga pendekatan keilmuan tersebut (bayani, irfani, dan burhani) saling terkait dalam satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisah, maka akan mengembangkan corak keberagamaan serta perkembangan keilmuan yang dihasilkan terbebas dari corak dikotomis-atomistik.

Para pengembang epistemologi bayani dalam sejarah Islam adalah para ahli nahwu, ahli fikih, ahli kalam, dan ahli balaghah dari berbagai aliran ataupun golongan-golongan tertentu  dalam Islam, baik klasik maupun modern. Dalam hal ini, Imam al-Syafi'i (150 H/767 M-204 H/820 M) dipandang sebagai peletak dasar-dasar epistemologi bayani.

Dalam periode awal (bayani), proses pembelajaran yang digunakan masih berkutat pada pendekatan empiris dan proses pengajaran memakai pendekatan koneksionis. Pada tahapan ini, peserta didik masih belum matang dan berpengalaman. Kedua, dalam periode lanjutan (burhani), proses pembelajaran menggunakan pendekatan logika dan proses pengajarannya memakai pendekatan pengondisian (cognitive model). Peserta didik sudah mulai berpikir menuju proses pendewasaan pada tahapan ini. Ketiga, dalam periode akhir (irfani), proses pembelajaran memakai pendekatan etis atau intuitif dan proses pengajaran lebih dipusatkan pada pendekatan humanistik. Pada tahapan ini, peserta didik sudah dianggap dewasa dan mandiri dalam pembelajaran.

Teori pengetahuan bayani, burhani, dan irfani yang berkembang mempunyai corak masing-masing. Model berpikir bayani bersumber dari teks keagamaan, Al-Qur'an dan hadis, yang kemudian darinya bermunculan berbagai produk intelektual keagaaman dan ilmu kebahasaan, termasuk PAI (Al-Qur'an dan hadis, Fikih, Akidah Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan Islam). Sementara itu, burhani berpijak pada rasio yang berdasar pada realitas (waqi') alam, sosial, humaniora, dan keagamaan, dan irfani bersumber dari intuisi melalui pengalaman langsung dalam realitas spiritual keagamaan. Ketiga epistemologi Islam tersebut tidak bisa berdiri sendiri-sendiri dalam PAI, dan harus saling berjalin kelindan antara satu dengan yang lain.

 Lebih tegasnya, model berpikir interconnected entities epistemologi Islam harus diaplikasikan pada PAI. Dengan cara berpikir seperti ini, kelemahan-kelemahan dalam PAI sebagaimana dipaparkan di awal akan tertutupi. Prinsip ini menghendaki adanya kesadaran bahwa masing-masing epistemologi mempunyai kelemahan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, mereka bersedia untuk berdialog, bekerja sama, memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh epistemologi lain untuk melengkapi kelemahan.

Pengembangan pemikiran teori bayani hanya dapat dilakukan jika pemikiran tersebut mampu  memahami, berdialog dan mengambil manfaat dari berbagai suatu hal yang paling mendasar atau paling penting di mana hal-hal lain bergantung padanya yang dimiliki oleh pola pikir 'irfani maupun pola pikir burhani dan begitu pula sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun