Kita sering mendengar seseorang atau sekelompok orang mencemooh orang yang pendek dengan istilah stunting, kurang gizi. Sepertinya segala sesuatu yang tidak memenuhi standar adalah hal yang aneh dan asyik untuk jadi bahan bully.
Sebagai mahasiswa ilmu gizi Universitas Airlangga, penulis tidak akan menilai perilaku bully karena sudah nyata tindakan tersebut tidak benar. Dalam hal ini penulis ingin menjelaskan bahwa tidak semua orang pendek menderita stunting.
Apa itu stunting?
Stunting merupakan gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi, adanya infeksi pada tubuh, atau stimulasi yang kurang memadai.
Sebagian masyarakat menganggap semua orang pendek menderita stunting. Tidak dapat dipungkiri, gejala yang tampak dari stunting adalah tinggi badan, berat badan yang kurang. Namun, ada ciri yang tidak terlihat, yakni otak orang stunting tidak terbentuk dengan baik.
Anak menderita stunting akibat dari kesehatan ibu selagi remaja, masa kehamilan dan pola makan balita, ekonomi dan budaya. Faktor lingkungan seperti sanitasi dan akses terhadap layanan kesehatan pun memengaruhi.
Fakto-faktor inilah yang menyebabkan angka stunting di Indonesia semakin naik. Untuk itu pemerintah menargetkan pada tahun 2024 turun 14%. Namun, akankah target itu berhasil jika generasi muda enggan menjaga kesehatannya?
Upaya Menurunkan Angka Stunting
Masalah stunting berawal dari kesehatan calon ibu semasa remaja. Dengan pola hidup sehat dan mengonsumsi tablet penambah darah yang diprogramkan pemerintah, tahun 2045 terlahir generasi gold yang cemerlang.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan sendiri melakukan upaya untuk menurunkan angka stunting dengan dua intervensi holistic, yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif,
Intervensi spesifik adalah intervensi yang ditujukan kepada anak dalam masa 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) dan kepada Ibu sebelum dan masa kehamilan. Sedangkan intervensi sensitif adalah melakukan kegiatan di luar kesehatan dengan menggandeng beberapa sektor.