Mohon tunggu...
Najwa Nada
Najwa Nada Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi Putusan MK pada Pemilu

27 November 2024   17:23 Diperbarui: 27 November 2024   17:24 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KONTROVERSI PUTUSAN MK PADA PEMILU

OPINI- Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan juga keadilan seadil-adilnya. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Konstitusi memiliki tugas dan fungsi untuk menangani perkara ketatanegaraan yang berkaitan dengan masalah konstitusional tertentu. Untuk menjaga konstitusi dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan prinsip demokrasi, hakim konstitusi harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penyelenggaraan negara serta komitmen untuk melaksanakan dan mengawasi kehidupan masyarakat. Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dianggap sebagai ukuran kualifikasi seorang pemimpin, dan keputusan ini telah menimbulkan banyak perdebatan di masyarakat.

Mahkamah Konstitusi adalah lembaga hukum yang berperan dalam sistem peradilan konstitusi di Indonesia. Lembaga ini memiliki peran penting dalam menjaga supremasi  konstitusi dan menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan konstitusi suatu negara. Pasal 24 dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah ketentuan penting yang mengatur   peran dan kewenangan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal ini menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk   menyelenggarakan peradilan dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini mencerminkan prinsip dasar bahwa sistem peradilan Indonesia harus beroperasi secara independen, tanpa campur tangan dari kekuasaan eksekutif atau legislatif, untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia, supremasi konstitusi, dana keadilan dalam system hukum.

Konstitusi dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melengkapi. Dalam konteks demokrasi modern, konstitusi menjadi pondasi yang tak tergantikan dalam pembentukan negara. Konstitusi berperan sebagai dokumen hukum tertinggi yang menetapkan prinsip-prinsip dasar yang mengatur bagaimana pemerintah harus beroperasi sesuai dengan aturan hukum yang ada. Lebih dari sekadar sekumpulan hukum, konstitusi mencerminkan nilai-nilai mendasar dan aspirasi kolektif suatu masyarakat. Dengan mengatur kekuasaan dan kewajiban pemerintah, konstitusi juga melindungi hak-hak warga negara serta menentukan batasan-batasan yang diperlukan agar pemerintahan tetap dalam kerangka hukum yang adil dan transparan.

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia untuk calon presiden dan wakil presiden, yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, telah menimbulkan berbagai perdebatan di masyarakat. Hal ini kontroversial karena usia dianggap sebagai salah satu faktor penting dalam menilai kualitas seorang pemimpin politik, selain dari pengalaman dan kedewasaan. Meskipun demikian, beberapa individu berpendapat bahwa usia bukanlah satu-satunya indikator yang menentukan kualitas kepemimpinan seseorang. Argumen ini mencerminkan perdebatan yang kompleks mengenai karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin dalam konteks politik kontemporer.

Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini telah menimbulkan berbagai pandangan yang bertentangan di kalangan masyarakat. Ketidakkonsistenan dalam putusan tersebut memicu perdebatan dan kekhawatiran, terutama terkait dugaan bahwa keputusan itu mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor politik atau hubungan pribadi. Beberapa pihak mencurigai adanya hubungan antara Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu dengan salah satu calon wakil presiden, yang memunculkan pertanyaan serius tentang kemandirian dan integritas Mahkamah Konstitusi.

Tuduhan ini mengakibatkan spekulasi luas tentang kemampuan lembaga tersebut untuk tetap netral dan tidak memihak dalam menjalankan tugasnya. Perdebatan yang muncul menekankan betapa pentingnya keterbukaan, pertanggungjawaban, dan kemandirian dalam prosedur pengambilan keputusan hukum, terutama oleh lembaga-lembaga yang berfungsi vital dalam sistem peradilan dan demokrasi.

Pandangan masyarakat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat beragam. Sebagian orang mungkin tidak mempermasalahkan substansi putusan MK yang memungkinkan seseorang berusia 35 tahun menjadi bakal calon presiden atau wakil presiden. Namun, yang menjadi masalah bagi sebagian orang adalah caranya dan mengapa diputuskan saat ini. Terdapat juga masyarakat yang tidak sepakat dengan putusan MK karena memiliki sentimen negatif terhadap tokoh politik tertentu. Mereka berpendapat bahwa putusan ini dapat menghambat jalannya politik yang mereka dukung. Adanya perubahan peraturan tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden yang awalnya minimal 40 tahun menjadi 35 tahun yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tentu menyita perhatian Masyarakat yang khawatir akan tatanan hukum di indonesia yang bisa diubah seenaknya, apalagi orang yang mengetuai Mahkamah Konstitusi (MK) adalah Anwar Usman yang merupakan adik ipar dari mantan presiden Indonesia Jokowi dodo, dan anaknya gibran rakabuming raka yang mencalonkan diri para pilpres 2024 lalu sebagai wakil presiden dari prabowo subianto, kurangnya syarat umur Gibran dan berubahnya hukum tentang batas usia minimal seorang presiden dan wakil presiden secara tiba-tiba yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) membuat asumsi liar Masyarakat berkembang. Masyarakat menilai bahwa otak dibalik perubahan hukum tersebut adalah keluarga Jokowi sehingga sempat ramai bahkan ada demo yang dilakukan karna Masyarakat menyebut konstitusi tidak bisa diubah seenaknya hanya karna mengikuti keinginan dari salah satu kerabat dari ketua MK.

Hal tersebut juga menjadi peluang bagi paslon lain untuk menjatuhkan pasangan Prabowo-gibran sehingga masalah tersebut menjadi argument bagus untuk di debatkan bahkan tak segan-segan paslon lain juga mendebatkan tentang hal tersebut pada debat pilpres yang lalu. Adapula asumsi yang timbul selanjutnya adalah otak dibalik perubahan hukum tersebut adalah dari ketua partai PDIP yang pada saat itu hendak mencalonkan Gibran sebagai pasangan dari ganjar pranowo akan tetapi pada akhirnya Gibran memilih untuk berpasangan dengan Prabowo subianto. Akan tetapi pada akhirnya MKMK menyatakan bahwa Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan. Anwar diberhentikan dari jabatannya dan tidak diperkenankan mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir. "Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan gubernur bupati dan wali kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," tutur Jimly.

Putusan MK tersebut juga mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk Pakar Hukum Tata Negara Bivitri 'Bibip' Susanti. Menurut Bibip, putusan MK tersebut akan memberikan efek jangka panjang. Tidak hanya berefek di tatanan penguasa pemerintah, melainkan juga akan berefek pada kehidupan sehari-hari masyarakat. "Dalil soal nepotisme yang tidak bisa dibuktikan menurut MK itu akan berefek jangka panjang. Dirasakan atau tidak, tapi persepsi soal hukum khususnya soal nepotisme akan dianggap tidak apa-apa," jelas dosen Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera) ini dalam diskusi yang dilaksanakan di Space/X Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia.

Hal yang dilakukan oleh anwar usman dianggap sebagai nepotisme karna menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan keluarganya benar atau tidaknya berita tersebut akan tetapi saat ini kita sebagai rakyat biasa tidak banyak mengetahui permainan politik pemerintah, akan tetapi terlepas dari apapun itu tidak seharusnya konstitusi diubah seenaknya seperti itu karna Indonesia adalah Negara hukum dan biarkanlah hukum berjalan sesuai alurnya dan dengan se benar-benarnya dan tanpa campur tangan uang atau penyuapan. Syarat utama menjadi pemimpin adalah kejujuran karna jika pemompin tersebut jujur maka tidak akan ada Masyarakat yang sensara maupun kecewa nyatanya pemimpin Indonesia masih sedikit yang menerapkan politik bersih dalam menjabat entah itu korupsi entah itu nepotisme semua hal-hal buruk tersebut hanya akan membuat kepercayaan Masyarakat menurun dan mereka akan menganggap bahwa hukum Indonesia dapat dibeli ataupun di ubah seenak hati. Selanjutnya selamat atas terpilihnya presiden dan wakil presiden baru Prabowo subianto dan Gibran rakabuming raka semoga selalu Amanah dalam kepemimpinannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun