Mohon tunggu...
Najwa Kamila
Najwa Kamila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik program studi Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Revisi UU Penyiaran, Ancaman Serius bagi Kebebasan Pers

6 Juli 2024   16:33 Diperbarui: 6 Juli 2024   16:33 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber : Pinterest JURNALNEWS.CO.ID

Pemerintah kembali membuat publik menjadi geram atas usulan dilakukannya revisi UU penyiaran. Pasalnya, ada beberapa poin yang diusulkan yang akan membatasi kebebasan masyarakat dalam berekspresi secara umum.

Dalam sebuah agenda seminar nasional, Ketua KPI Pusat menyatakan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran memiliki urgensi untuk memperjelas definisi antara media baru, media sosial, media digital dan irisannya dengan media konvensional. Menurutnya, revisi UU penyiaran adalah sebuah upaya dalam menguatkan kelembagaan KPI khususnya dalam sektor hubungan antara KPI Pusat dengan KPI Daerah.

Sebagian orang melihat revisi UU Penyiaran ini juga sebagai langkah mundur dalam perjuangan untuk menciptakan Indonesia yang demokratis. Revisi ini berpotensi mengancam kebebasan pers, hak berekspresi masyarakat, dan prinsip-prinsip dasar demokrasi lainnya, alih-alih memperkuat demokrasi.

Pemerintah diminta untuk merevisi revisi ini oleh masyarakat dan kalangan jurnalis. Untuk memastikan bahwa revisi UU Penyiaran tidak membatasi demokrasi tetapi justru memperkuat fondasi negara demokratis Indonesia, dibutuhkan diskusi yang lebih intens antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya.

Namun, hal itu jelas ditolak mentah-mentah oleh kalangan jurnalis. Mereka merasa bahwa pasal ini akan mengekang kinerja mereka dalam melakukan kegiatan jurnalistik. Dalam draf yang diusulkan pada tanggal 27 maret 2024, revisi UU penyiaran secara jelas akan membatasi kerja jurnalistik untuk bebas berekspresi secara umum. Secara tidak langsung, pemerintah berniat untuk mengambil kendali terhadap ruang gerak warga negaranya.

Sumber : Pinterest JurnalPost.com 
Sumber : Pinterest JurnalPost.com 

Ancaman Yang Akan Terjadi Apabila Disahkannya RUU Penyiaran

Sejumlah masyarakat maupun para jurnalis membeberka ketakutan mereka apabila RUU ini disahkan pemerintah. Seperti larangan untuk melakukan liputan ekslusif atau liputan investigasi yang dimana dua kegiatan tersebut adalah marwahnya pers. Seperti yang diketahui banyak kasus yang terungkap berkat informasi dari hasil liputan investigasi tersebut. Selain itu, ancaman lain adalah membuka ruang untuk memperbanyak kasus korupsi karena pers dilarang melakukan liputan investigasi. Adapun beberapa pasal yang menjadi kontroversi adalah sebagai berikut :

- Pasal 34 F ayat (2) huruf E yang mewajibkan penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya untuk memverifikasi konten siaran mereka ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Penyelenggara yang dimaksud termasuk kreator yang mengunggah konten di Youtube, TikTok, atau media berbasis user generated content (UGC) lainnya.

- Pasal 50 B ayat (2) huruf C yang menyatakan larangan atas "Penayangan Eksklusif Jurnalistik Investigasi". Larangan ini dikhawatirkan dapat membatasi kebebasan dan kemerdekaan pers.

- Pasal 50 B ayat (2) huruf K yang mengatur larangan terkait tindak pencemaran nama baik dan siaran yang mengandung penghinaan. Adapun bunyi dari pasal tersebut: Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme. Pasal tersebut dianggap sebagai pasal karet dan akan membatasi kebebasan pers.

Hal-hal diatas tentu sangat mengkhianati semnagat perwujudan negara yang demokratis yang sudah terwujud melalu UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Menurut LBH Pers dan Asosiasi Jurnasil Indonesia (AJI). ada beberapa catatan yang perlu dikaji kembali tentang revisi UU penyiaran.

Pertama, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana  check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut. Hal ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang anti-kritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir.

Kedua, larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian homoseksual biseksual dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik.

Ketiga, Pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya.

Keempat, Pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.

Hak berekspresi dan kebebasan pers adalah pilar utama demokrasi yang harus dilindungi. Tujuan revisi UU Penyiaran adalah untuk mendukung, bukan melemahkan, prinsip-prinsip ini. Indonesia dapat terus maju sebagai negara demokratis yang menghormati hak-hak warganya hanya dengan menjaga kebebasan pers dan media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun