"Cuma masalah kipas angin doang, kenapa kalian gitu banget?" Ujar si gadis yang sedari tadi hanya diam.Â
   "Bacot lu!"Â
   Ia menghela napas. Mereka membela yang salah, membela temannya mati-matian sampai membuat manusia tak bersalah itu sakit hati. Mau tahu betapa sabarnya gadis ini menahan hasrat membunuh? Sabar sekali. Padahal, berkali-kali tangannya hendak mengambil gunting di kolong meja.Â
   Ia menatap sahabatnya yang nampak marah itu. Mau membela diri pun tak bisa, kerumunan anak itu sangat anarkis. Yang bermasalah sih hanya dua orang, tetapi yang membela sebumi pertiwi. Lucu sekali anak-anak bodoh itu.Â
   Padahal, hanya karena kipas angin yang katanya, sih "barisan gue gak kena" itu, walau sebenarnya sudah pernah gadis itu bilang "matikan saja kalau mau". Ya, daripada ribut, bukan? Lebih baik dimatikan saja, kipas harga tiga ratus ribu itu bahkan bisa ia beli sendiri. Untuk apa juga diributkan?Â
   Tetapi, kata-kata kurang ajar dan hinaan yang diberikan oleh mereka itu terdengar bagai gaungan tak henti-henti. Ya, biarkanlah mereka tertawa bahagia. Karena ....
   ... Tahu tidak? Si gadis itu diam-diam merencanakan sesuatu yang hebat, lho.
***
Kalau aku bersimpuh darah, jua hilang tanpa arah
Lihat sinar disisi barat, disitulah fana datang
Entah apa artinya, kau tanamkan luka pada insan disana
Kau coret penuh derita lama berkabut tebal
Menabur benih tumpul pada wajah palsunya
Kau tahu apa?
Seribu kali kutahan layangan itu.
Guru perempuan itu tersenyum melihat puisi karya salah satu anak muridnya. Jika dibanding puisi teman-temannya yang lain, si guru bisa tahu bahwa hanya anak itulah yang tak menyalin dari google. Hm, bakat yang terpendam. Si guru jadi berpikir untuk mengikutsertakan muridnya itu pada perlombaan menulis minggu depan.Â
    "Rifda?"
  Si gadis yang tengah menulis cerpen itu menoleh, lalu berjalan menuju meja guru. Menatap si pemanggil bingung.Â
  "Ini kamu tulis sendiri?" Tanya guru itu yang dibalas anggukkan.Â
   Si guru tersenyum, lalu memberikan buku bersampul biru itu kepada si anak, menyuruhnya duduk kembali.Â
  "Puisimu bagus, kembangkan terus, ya!" Ujar si guru sebelum anak itu kembali duduk.Â
   si anak hanya menangguk pelan. Ia menatap kembali puisinya, tersenyum ketika nilai 96 tercetak dengan tinta hitam. Menandakan betapa bagus hasil tulisannya yang hanya membutuhkan waktu satu menit itu.
  "Oh, ternyata bu guru gak sadar, ya?" Gumamnya dengan tawa renyah.Â
  Inilah pentingnya membaca karakter muridmu sendiri. Kau tak tahu bukan ibu guru, bahwa muridmu ini adalah salah satu dari para "orang gila" itu?Â
***
   Depresi lagi, itulah penggambaran singkatnya. Seharusnya, anak itu pergi ke psikolog walau hanya sekali-dua kali. Ia itu benar-benar terkena gangguan sepertinya, ya? Setiap kali merasa tertekan, pasti hasrat bunuh diri itu muncul. Rasa tak dihargai dan tak dibutuhkan itu pun otomatis ikut muncul. Jika kuhitung, ini kali kedua dia berusaha menyayat nadinya sendiri.Â
   Sekarang, terhitung tiga tahun sudah sejak semua penderitaan itu berakhir. Kini, dirinya sudah berubah, perasaannya juga sudah berubah. Ya, tanpa kita sadari, banyak orang disekitar kita yang berubah, bukan? Hanya saja, kadang perubahan itu tersimpan begitu rapih, sampai-sampai kita tak mencium baunya sedikit pun.Â
   Kasus perundungan itu sudah berakhir, tak pernah diungkit maupun dibongkar kembali. Tetapi, sekalipun kasusnya sudah berakhir sejak lama, trauma itu menjalar seumur hidup. Contohnya seperti saat ini, setiap kali menghadapi tekanan, gadis itu akan merasakan perasaan tak diinginkan yang berlebihan. Tekanan sekecil apapaun itu, mentalnya pasti akan ikut terguncang.Â
   "Mengapa tak cerita ke orang tuamu? " atau "mengapa tak berbagi cerita ke sahabatmu?" begitu bukan yang ada dipikiran kalian?Â
   Si gadis itu sudah pernah mencoba memancing cerita tentang depresi kepada orang tuanya, dan hasilnya? Orang tuanya itu acuh dan malah berkata "kan gak harus bunuh diri kali, lebay banget". Cerita ke sahabat? Tak acuh sekali balasannya. Dia kira si gadis sedang becanda, ya? Kau pikir nyawa itu candaan, ya? Aku sungguh tak menyangka. Â
   Kini, kasusnya akan kusimpulkan.Â
1. Jangan pikir karena tampang polos dan sifat pendiamnya, seseorang itu benar-benar baik dan waras tentunya.Â
2. Sesungguhnya, para kriminal adalah orang-orang yang tak pernah dianggap berbahaya.Â
3. Hal-hal kecil itu takkan menjadi hal besar jika otakmu itu sedikit saja bisa dipakai.Â
 4. Depresi tak sesederhana itu.
   Tenang saja, masalah kriminal itu akan muncul pada bagian ketiga. Dua bagian ini hannyalah penggambaran bagaimana kriminalitas itu terbentuk.Â
   Dari hal-hal yang dianggap masyarakat kita sederhana, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H