"Kamu pakai parfum sebotol atau gimana sih, No? Huh, ambasador parfum aja kalah sama kamu kayaknya," gerutu Kea.Â
   "Ke warung soto itu, yuk! Ayo lah, aku traktir!" Serunya dengan wajah memohon.Â
   "Hm, yaudah. Tapi, ajak Eva ya?"
   Devano terdiam sejenak, raut wajahnya seketika berubah. Laki-laki itu terdiam sejenak, lantas menatap Kea sendu.Â
   "Kea, dia udah gak ada. Kamu lupa?"Â
   Gadis itu seketika terdiam. Darah berdesir panas di tubuhnya, seluruh syarafnya kini tengah berusaha untuk membangkitkan kenyataan. Ia seharusnya sadar dan ikhlas, teman perempuannya itu sudah meninggal satu minggu yang lalu.Â
   Devano tersenyum nanar, ia menepuk pelan bahu si gadis.Â
   "Gak apa-apa, aku juga masih sering terbayang. Hm, ayo mending kita ke warung soto depan," laki-laki itu lantas menarik tangan temannya. Kea hanya diam, tak dapat memberontak. Toh, bajunya juga sekarang bukanlah baju tidur tipis. Ia masih mengenakan kaos biru dengan celana jeans selutut.Â
   "Kea jangan pergi sama Devano. Dia yang membunuhku! Cepat lari!" Tiba-tiba saja, suara seorang perempuan menyeruak di dalam lorong villa yang sepi.
   "Ck, masih penasaran saja rupanya dia."
   Kea yang mendengar suara itu seketika terdiam. Ia kenal betul suara itu, suara Eva.  Setelahnya, gadis itu dapat melihat bagaimana raut wajah si laki-laki di depannya berubah 180 derajat. Ia tersenyum hingga dua lesung pipi terlukis indah. Membungkus senyuman menyeramkan dari si empu.