Yogyakarta, salah satu kota besar di Indonesia yang terkenal karena pariwisata, kuliner, budaya, fasilitas pendidikan, dan masih banyak lagi julukan lain yang disandang kota ini. Sama halnya dengan kota-kota besar lainnya, Yogyakarta juga identik dengan jalanan yang sangat padat merayap oleh beragam jenis kendaraan yang membuat pejalan kaki susah menyeberang. Tidak ketinggalan hiruk pikuk wisatawan baik domestik maupun mancanegara di sepanjang trotoar Jalan Malioboro. Banyaknya wisatawan di Jogja tentu menjadikan toko pusat oleh-oleh khas Jogja kebanjiran pelanggan. Namun, semua keramaian dan kebisingan yang sudah menjadi trade mark itu kini berubah, entah sejak kapan. Yang jelas, di bulan Agustus 2024 saat saya mengunjungi Jogja untuk kesekian kalinya, saya rasa keadaan Jogja paling cocok digambarkan lewat judul film yang diproseduri oleh Ernest Prakasa dan Dipa Andika, yakni film "Agak Laen"
Kondisi Yogyakarta yang Tidak Seperti Dulu Lagi
Perjalanan yang lancar tanpa hambatan sejak dari arah Solo (exit tol Colomadu-Yogya), pemandangan toko-toko yang lengang di sepanjang jalan, pejalan kaki yang tidak perlu menunggu lama untuk menyeberang jalan karena jalanan tidak penuh dengan kendaraan, jalanan Malioboro yang kini luas sekaligus minim pengunjung sehingga tidak perlu bersenggolan dengan pejalan kaki atau pedagang kaki lima di pinggiran jalan, juga pusat oleh-oleh (teras 1 dan 2) yang tidak kalah sepinya.
Semua fenomena tersebut dikuatkan kembali dengan kondisi parkir bus di kawasan ABA (Jl. Abu Bakar Ali). Jika beberapa tahun yang lalu pengunjung selalu kesulitan atau bingung mencari bus rombongannya, bahkan tak jarang ada yang tertinggal rombongan karena saking banyaknya bus yang berjajar, kini tidak perlu risau lagi karena tempat parkir bus hanya diisi 4 bus saja, meski saya berkunjung saat weekend (bukan hari kerja). Padahal dulu, Malioboro adalah pusat keramaian yang tidak pernah sepi bahkan pada jam malam. Begitu pula dengan rukonya, banyak yang tidak buka.
Adapun yang buka, juga tidak ramai pembelinya. Keadaan ini mengingatkan saya pada keadaan pasar-pasar tradisional di daerah saya sendiri yang juga sepi pengunjung.
Efek Domino Kenakalan (Oknum) PO Bus Pariwisata
Apakah mungkin fenomena ini terjadi karena efek domino dari peristiwa kecelakaan di Subang beberapa bulan yang lalu? Kecelakaan yang terjadi pada siswa/i SMK Lingga Kencana pada tanggal 11 Mei 2024 saat melakukan study tour yang mengalami kecelakaan di jalan turunan Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat sehingga mengakibatkan meninggalnya 11 korban dari pihak siswa dan guru. Penyebab utama terjadinya kecelakaan ini dikarenakan pihak penyedia  transportasi yang nakal dengan trik menyulap bus penumpang reguler diganti dengan tampilan bus pariwisata. Tentu saja terdapat beberapa perbedaan spesifikasi antara keduanya. Peristiwa ini menjadi perbincangan nasional kala itu.
Sejak saat itu, pihak Kemendikbud (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) menghimbau semua sekolah agar kegiatan Studi Kenal Alam dan Lingkungan  (SKAL) atau biasa disebut study tour untuk sementara waktu ditiadakan terlebih dahulu serta perizinan diperketat. Kalaupun terpaksa diadakan, sebaiknya study tour dalam provinsi saja, tidak sampai antar provinsi. Pihak penyedia jasa transportasi pun menjerit dengan keadaan ini. Banyak sekolah yang membatalkan booking bus pariwisata dikarenakan kebijakan ini.
Pihak PO bus pariwisata yang benar-benar bekerja sesuai prosedur dan spesifikasi tentu ikut menjadi korban dari oknum penyedia transportasi yang tidak bertanggung jawab. Ibarat peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Hanya karena satu kenakalan dan kecerobohan pihak bus yang nakal, semua layanan penyedia transportasi ikut mati seketika. Tidak ada lagi yang booking bus untuk perjalanan jauh dan tentu menjadikan omzet (pendapatan) merosot. Padahal dulu kegiatan SKAL ini benar-benar menghidupkan banyak obyek pariwisata dan perekonomian masyarakat, tidak hanya di kota Yogyakarta.
Ekonomi yang Melemah, Benarkah? Â