Pendidikan inklusi merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memberikan kesempatan yang setara bagi semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, untuk belajar dalam lingkungan yang sama dengan teman sebaya mereka. Meskipun konsep ini telah diadopsi di banyak negara dan diakui sebagai langkah positif menuju kesetaraan pendidikan, namun masih terdapat berbagai tantangan yang menghambat pelaksanaannya secara efektif. Salah satu tantangan utama adalah penyangkalan yang sering dialami oleh orang tua anak berkebutuhan khusus. Penyangkalan ini sering kali muncul akibat adanya mitos dan stigma sosial yang beredar di masyarakat. Menurut penelitian oleh Sharma et al. (2012), stigma negatif terhadap anak berkebutuhan khusus dapat menyebabkan orang tua merasa tertekan dan cemas, sehingga mengarah pada penolakan terhadap kondisi tersebut.
Stigma negatif ini tidak hanya memengaruhi persepsi orang tua terhadap pendidikan inklusi, tetapi juga berpotensi mengisolasi mereka dari dukungan yang diperlukan untuk membantu anak mereka berkembang (Graham & Slee, 2008). Dalam konteks ini, penting untuk mengeksplorasi bagaimana mitos dan stigma dapat menghambat kemajuan pendidikan inklusi. Dengan memahami dinamika ini, kita dapat mengidentifikasi langkah-langkah yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif dan mendukung bagi semua anak. Melalui upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat, kita dapat mengatasi tantangan ini dan memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang kebutuhan khususnya, memiliki akses ke pendidikan yang berkualitas.
Persepsi negatif dan stigma terhadap pendidikan inklusif menjadi salah satu hambatan utama dalam pelaksanaannya. Dalam beberapa budaya, terdapat kesalahpahaman seputar disabilitas yang menyebabkan orang tua memiliki pandangan bias terhadap pendidikan inklusif. Prasangka ini menghambat dukungan mereka terhadap praktik inklusif dan kolaborasi dengan pihak sekolah (Narot & Kiettikunwong, 2024). Stigma negatif terhadap anak berkebutuhan khusus juga masih mendominasi penolakan sekolah reguler untuk menjadi sekolah inklusif. Banyak orang tua beranggapan bahwa siswa berkebutuhan khusus harus belajar di sekolah khusus (Rasmitadila et al., 2019). Kekhawatiran lain yang sering muncul adalah anggapan bahwa siswa berkebutuhan khusus akan mengganggu siswa lain, tidak mampu mengikuti pelajaran, atau tidak bisa bekerja sama dengan teman-teman mereka (Rasmitadila et al., 2019).Â
Dalam hal ini, pengalaman masa lalu juga memainkan peran penting, jika orang tua pernah menghadapi hambatan atau tantangan saat mengadvokasi inklusi anak mereka di masa lalu, mereka mungkin lebih skeptis atau menolak praktik inklusif dalam lingkungan pendidikan mereka saat ini (Narot & Kiettikunwong, 2024). Kurangnya komunikasi antara orang tua dan sekolah dapat memperburuk situasi ini. Jika persepsi orang tua tentang manajemen sekolah tidak sejalan dengan praktik inklusif yang diterapkan, ketidakpercayaan dan ketidakpuasan dapat timbul (Narot & Kiettikunwong, 2024). Selain itu, kekhawatiran orang tua terhadap kemampuan guru dalam mendukung siswa berkebutuhan khusus juga menjadi faktor penting. Meski pengalaman langsung dengan pendidikan inklusif dapat mengurangi stigma, namun penyangkalan orang tua tetap menjadi hambatan signifikan (Narot & Kiettikunwong, 2024).
Latar belakang pendidikan dan ekonomi orang tua turut memengaruhi sikap mereka. Hasil penelitian Paseka & Schwab (2020) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan, semakin positif sikap mereka terhadap siswa dengan disabilitas.
Untuk memperbaiki hal hal tersebut, Narot  & Kiettikunwong (2024) mengusulkan beberapa strategi untuk mengubah persepsi orang tua terhadap pendidikan inklusif, yang dapat membantu menciptakan kondisi yang lebih mendukung bagi siswa berkebutuhan khusus. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan:
- Peningkatan Komunikasi
Membangun saluran komunikasi yang jelas dan terbuka antara sekolah dan orang tua sangat penting. Sekolah harus secara proaktif memberikan informasi tentang kebijakan, praktik, dan tujuan pendidikan inklusif, serta upaya yang dilakukan untuk mendukung siswa berkebutuhan khusus.
- Edukasi dan Penyuluhan
Mengadakan sesi edukasi dan penyuluhan untuk orang tua tentang manfaat pendidikan inklusif dan strategi yang digunakan oleh sekolah untuk mendukung siswa dengan kebutuhan khusus. Ini dapat membantu mengurangi kesalahpahaman dan meningkatkan pemahaman orang tua tentang praktik inklusif.
- Membangun Kemitraan
Mendorong kolaborasi antara orang tua dan sekolah untuk menciptakan kemitraan yang lebih adil. Melibatkan orang tua dalam proses pengambilan keputusan dan memberikan mereka kesempatan untuk berkontribusi dalam pengembangan program pendidikan inklusif dapat meningkatkan rasa memiliki dan dukungan mereka.
- Mengatasi Stigma dan Prasangka
Mengidentifikasi dan mengatasi stigma atau prasangka yang mungkin dimiliki orang tua terhadap disabilitas dan pendidikan inklusif. Ini bisa dilakukan melalui kampanye kesadaran yang menyoroti keberhasilan siswa berkebutuhan khusus dalam lingkungan inklusif.
- Memberikan Dukungan Emosional
Menyediakan dukungan emosional bagi orang tua yang mungkin merasa cemas atau skeptis tentang pendidikan inklusif. Ini dapat mencakup kelompok dukungan atau forum di mana orang tua dapat berbagi pengalaman dan mendapatkan informasi dari orang tua lain yang telah berhasil mendukung pendidikan inklusif.
- Mendengarkan Kebutuhan Orang Tua