Istilah "politik" bukan lagi menjadi suatu hal yang asing di dengar oleh telinga masyarakat Indonesia, bahkan isu-isu politik terus mengalir hidup berdampingan dengan sendi dan lapisan kehidupan masyarakat. Politik merupakan salah satu sendi terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkaitan dengan pengelolaan kekuasaan, kebijakan, serta hubungan antara individu, kelompok bahkan negara. J.H RAPAR (1988) menjelaskan bahwa  "politik berasal dari kata  polis yaitu negara kota sebagai bentuk utama organisasi politik, yang merupakan suatu usaha untuk mengatur dan memimpin masyarakat dengan tujuan menciptakan kebaikan bersama dan mencapai kesejahteraan seluruh warga negara dalam suatu negara (polis)".
     Saat ini Indonesia sedang mencerminkan keadaan politik yang berada di tahap pendewasaan demokrasi, sistem pemerintahan demokratis ini yang menjadi suatu tantangan untuk memberikan ruang perdebatan dan kritik yang sangat berdinamika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga tak menutup kemungkinan  hal ini melahirkan  krisis sendi moral yang menciptakan polikrisis di Indonesia, terlebih jika melihat situasi politik di Indonesia pasca PEMILU dan PILKADA 2024 menunjukkan situasi yang kompleks dan beragam, seperti adanya isu dugaan pelanggaran selama pemilu, proses hukum pasca pemilu dan tantangan besar lainnya dalam hal legitimasi, etika, dan rekonsiliasi sosial. Kurangnya akuntabilitas dalam penyelenggaraan PEMILU dan PILKADA menimbulkan skeptisisme di kalangan anak muda terhadap proses politik di Indonesia.
      Jika melihat dari sudut pandang PEMILU 2024 tahun ini,  Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan  pemilih pemula (First time voter) pada PEMILU di dominasi oleh generasi milenial dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) 2024  sebesar 68.822.389 jiwa atau sekitar 33,60 jiwa % dan pemilih generasi z berjumlah 46.800.161 pemilih atau sekitar 22,85%, generasi yang lahir pada rentan tahun  1995-2000 ini memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan masa depan bangsa. Peran generasi muda sebagai tongkat estafet penerus bangsa harus diperhatikan, terutama dalam situasi politik pasca pesta demokrasi 2024, dalam Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2021 menunjukkan penelitian ini menemukan bahwa sekitar 45% anak muda berusia 18-24 tahun mengaku mengikuti berita politik, tetapi hanya sekitar 30% yang tercatat berpartisipasi dalam PEMILU.
     Edukasi politik pada generasi muda terkhususnya Gen Z sangat perlu di perhatikan, jika Gen Z di sorot menjadi  2 garis besar yaitu mahasiswa dan pemuda putus sekolah, mahasiswa Gen Z dikenal dengan semangat inovasi, kepedulian sosial, keterampilan serta Gen Z kritis yang mumpuni dapat menjadi bekal dalam menghadapi tantangan dinamika politik yang ada, sedangkan jika dilihat dari pemuda putus sekolah di Indonesia, angka pemuda putus sekolah saat ini terus meningkat 1,5 juta anak setiap tahunnya, angka putus sekolah di Indonesia memiliki dampak yang signifikan terhadap dinamika politik dan sosial, hal ini menjadi tantangan utama yang harus di hadapi dalam upaya pemberian edukasi politik pada Gen Z, mengatasi masalah ini tidak hanya penting dalam dunia pendidikan tetapi juga untuk memastikan bahwa suara pemuda harus di dengar dalam proses politik.
     Fenomena polikrisis seperti isu politik identitas, Money politik, dan Black campaign menjadi suatu hal yang semakin mendominasi arena politik di Indonesia , bagi Gen Z yang cenderung lebih terbuka dan inklusif pasti akan terasing dari politik yang berfokus pada identitas sempit, hal ini akan membuat Gen Z tidak melihat representasi yang sesuai dengan nilai-nilai mereka  dalam politik, Money politik akan membuat mereka menjadi skeptis terhadap politisi yang mereka anggap hanya mengejar kepentingan pribadi, serta Black campaign yang sering kali menjadi alat mendiskreditkan persaingan politik di Indonesia dapat berpotensi menimbulkan sifat apatis terhadap pemuda yang merasakannya. Ketiga tantangan ini saling berkaitan dan dapat menciptakan siklus apatis yang sulit diputus. Gen Z yang seharusnya menjadi agen perubahan, bisa terjebak dalam ketidakpastian dan ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada. dalam mengatasi permasalahan tersebut, penting bagi mereka untuk mendapatkan pendidikan politik yang baik dan memahami pentingnya partisipasi aktif dalam proses demokrasi. Jika tidak, risiko kehilangan generasi ini sebagai partisipasi yang aktif dalam politik akan semakin tinggi, dan dengan itu masa depan demokrasi akan terancam.
     Dalam era reformasi yang serba cepat, Gen Z pasti akan menghadapi tantangan dalam memahami fenomena politik, mereka tumbuh di tengah arus berita yang deras, media sosial yang omnipresent dan berbagai pandangan yang sering kali bertentangan. oleh karena itu, memiliki daya kritis yang baik menjadi bekal yang sangat penting untuk dapat menavigasi dengan bijak di dunia politik. Kurangnya pendidikan dan pemahaman politik pada pemuda putus sekolah  menyebabkan rendahnya partisipasi dalam proses demokrasi, tanpa pendidikan yang cukup , pemahaman mereka tentang sistem pemerintahan  yang menjadi terbatas sehingga daya kritis dan melek politik bagi pemuda putus sekolah menjadi berkurang. Berdasarkan hasil studi "Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024" yang  dilakukan oleh APJII alias Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan bahwa adanya penetrasi bagi pengguna internet di Indonesia khususnya tahun 2024. Adapun sebelumnya dilakukan survei yang melibatkan sebanyak 8.720 responden dengan ketentuan proporsional berdasarkan 38 provinsi.
     Dari hasil studi yang dilakukan APJII ini terdapat hasil yang cukup menarik karena total penggunaan internet di Indonesia didominasi oleh pengguna yang masuk ke dalam kalangan Gen Z. Mengingat studi tersebut membedakan penggunaan internet juga berdasarkan usia pengguna, maka hasilnya Gen Z dengan rentang usia 12 sampai 27 tahun memiliki kontribusi paling banyak di awal tahun 2024 sebesar 34,4 persen. Media Sosial memainkan peran penting dalam membantu daya kritis anak muda dalam melihat fenomena politik dengan memberikan akses yang luas terhadap berbagai sumber informasi. Melalui platform ini, mereka dapat mengikuti berita terkini, analisis, dan pendapat dari berbagai pihak, yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan perspektif beragam mengenai isu-isu politik. Selain itu, sosial media juga menjadi wadah untuk diskusi dan debat, di mana anak muda dapat berinteraksi dengan teman sebaya serta individu dari latar belakang berbeda, memperkaya pemahaman mereka dan mendorong pemikiran kritis.
     Lebih jauh lagi, sosial media memfasilitasi keterlibatan anak muda dalam aktivisme, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam kampanye dan gerakan sosial yang meningkatkan kesadaran politik. Dengan adanya berbagai informasi yang tersedia, anak muda belajar untuk memverifikasi fakta dan mengkritisi informasi yang mereka terima, sehingga menumbuhkan sikap skeptis yang sehat. Komunitas yang terbentuk di sosial media juga memberikan dukungan dan ruang bagi mereka untuk berbagi pengetahuan serta solusi terkait isu-isu yang dihadapi, menjadikan sosial media sebagai alat yang kuat dalam meningkatkan daya kritis dan partisipasi aktif mereka dalam proses politik. Berkaca pada fenomena tersebut, perlunya upaya kolaboratif dari segala lapisan untuk dapat memberdayakan seluruh kelompok Gen Z untuk dapat berpartisipasi secara aktif dalam fenomena politik di Indonesia. Dengan kemampuan  ini diharapkan Gen Z dapat berperan sebagai warga negara yang aktif dan terinformasi, siap untuk berkontribusi dalam membentuk masa depan yang lebih baik melalui daya kritis yang bukan hanya sebagai alat tetapi juga sebagai senjata untuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan perubahan.
Penulis: Najwa Bella PrasetyoÂ
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H