Istilah Self-harm sangat tidak asing untuk didengar pada saat ini. Perilaku melukai diri sendiri merupakan perilaku yang dilakukan dengan sengaja untuk mengatasi tekanan emosional atau rasa sakit dengan cara menyakiti atau merugikan diri sendiri, tetapi tidak bermaksud untuk melakukan bunuh diri  (Klonsky et al., 2011). Self-harm ditandai dengan berawalnya rasa emosi yang tidak stabil. Self-harm sendiri telah menjadi masalah kesehatan yang sering muncul dan memerlukan penanganan yang kuat (Edmondson et al., 2016)
Di Indonesia fenomena tindakan Self-harm sangat tinggi khususnya di kalangan remaja. Menurut data survei YouGov Omnibus pada Juni tahun 2019 menunjukkan sebanyak 36,9% orang Indonesia melakukan tindakan Self-harm yang dilakukan secara sengaja. Perilaku tersebut dilakukan pada rentang usia 18-24 tahun. Pada rentang usia ini, remaja cenderung memiliki sifat atau rasa emosional yang belum stabil. Karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Taber, 2023)
Tindakan Self-harm bermacam-macam seperti menyayat pergelangan tangan dengan cutter, pisau, menjambak rambut sendiri hingga memukul diri sendiri. Menurut Martinson (1999) ada 4 faktor yang menjadi pendorong individu melakukan Self-injury yaitu :
Faktor keluarga, keluarga merupakan lingkup terdekat bagi seseorang. Hal ini bisa berawal dari konflik atau ketidakharmonisan dalam keluarga, kurangnya dukungan emosional seperti perhatian, penghargaan hingga komunikasi yang baik. Hal tersebut mengakibatkan risiko timbulnya stress, kecemasan, depresi berat dan memicu terjadinya Self-injury
Faktor biokimia, pelaku Self-injury memiliki masalah khusus dalam sistem serotogenetik yang terdapat pada otak dan mengarah pada peningkatan impulsif dan agresif
Faktor psikologis, tekanan mental seseorang dapat mempengaruhi individu secara langsung. Berbagai alasan mengapa faktor psikologi menjadi faktor utama melakukan Self-harm yaitu kecemasan, stress berlebihan, perasaan putus asa, perasaan rendah diri dan menganggap dirinya tidak berharga serta riwayat trauma atau pengalaman negatif lainnya.
Menurut (Maidah, 2013) Self-injury atau Self-harm akan menimbulkan dampak internal atau dampak psikologis yang diantaranya adalah kepuasan diri. Dengan begitu, pelaku Self-harm akan mendapatkan kelegaan dan ketenangan. Tidak hanya itu, dampak lain dari perilaku Self-harm adalah adanya rasa candu untuk melakukannya berulang kali karena kepuasan yang didapatkan setelah melakukan Self-harm tersebut.
Dampak negatif lainnya adalah adanya luka fisik yang disebabkan dari sayatan tangan (cutting), tekanan emosional yang sangat mendalam, timbulnya gangguan kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan dan gangguan terkait trauma. Semakin sering pelaku Self-harm melakukan tindakan tersebut akan berpotensi meningkatnya siklus berbahaya dari waktu ke waktu.
Maraknya tindakan Self-harm, maka peran dan dukungan dari orang sekitar sangatlah penting. Self-harm bisa dicegah dengan menerapkan Self-love. Self-love merupakan suatu apresiasi terhadap diri sendiri yang dimana Self-love bersifat dinamis dan mendukung perubahan di tiap individu, perubahan yang dimaksud adalah perubahan pertumbuhan fisik, psikologis dan spiritual (Psy.D., 2012). Ketika Self-love telah diterapkan maka tiap individu akan menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya sehingga akan terciptanya pemikiran positif meskipun dalam kondisi marah, kecewa dan sebagainya.Â
Gambar di atas merupakan sebuah cycle untuk mengetahui bagaimana cara kita menerapkan Self-love pada diri kita. Pentingnya kemampuan ini dipengaruhi oleh empat aspek yaitu self-awareness, self-worth, self-esteem dan self-care. Keempat aspek tersebut saling berkesinambungan demi tercapainya tujuan dari Self-love.
Berikut adalah penjelasan tentang Self-love cycle :